Udara Yang Kau Hirup
Dingin telah membuka mata dan telingamu. Bagaikan pohon menjelma ranting beku, hanya ada butiran embun di atas daun muda. Kelak kau lewati di simpang jalan, dan hanya sekedar melihat tanpa pernah menyentuh. Dia butuh belaian hanya sekedar menjatuhkan bintik beku semalam.
Kendaraan yang berjalan di atas air saat hujan turun begitu saja melewatimu. Bunyinya membentuk gelombang di atas air, kau tahu ia kedinginan di sana, namun tak kau hentikan juga derunya. Dia juga butuh kau menempati suatu ruang di duduknya, merasakan deru mesin dan air menyatu.
Gedung serta rumah yang diam itu, mereka pasrah. Hujan telah bekerja keras semalaman. Berusaha menghanyutkan lalu menenggelamkan atapnya. Selokan itu tercungkil dari tanahnya. Kini langit memulangkannya, dan kau datang melewati tanpa berkata-kata. Sebenarnya gedung dan rumah itu menanti dirimu. Menanti cetakan jejak kakimu yang pertama di lantai berlumpur. Mereka butuh kau.
Dan sepanjang jalan yang kau jalani hanya desing hujan berguruh. Sepanjang desah nafas keluar masuk di hidungmu yang lembab. Tanpa pernah bertanya jadi apa di jiwa mu nanti. Lalu kau balik mengeluarkan asap tebal yang hilang di dindin pagi. Udara itu adalah aku sebuah kata yang lama kau lupakan. Tanpa sadar selalu menyimpannya dalam-dalam di hatimu. Udara itu pun butuh nama, butuh harapan untuk bersamamu. Butuh Dibelai layaknya daun berembun, seperti ruang yang harus kau masuki dan duduk di dalamnya, seperti rumah yang butuh jamahan tanganmu. Seperti udara yang kau hirup, ia masuk ke paru-paru mu lalu keluar sebagai embun di ujung bibirmu.
Comments
Post a Comment