SERIBU PUISI

Maaf. Maafkan aku. Ketika itu aku tak cukup berusaha. Kita cukup sama mengenal. Saling mengeja dalam satu kata. Hingga kita melisankan di bibir dan menyatukannya di hati.

Lamat-lamat kata itu layu di jiwamu. Tapi tak jua menggugurkan rasa di sana. Akhirnya kau memutar otak mencari jalan halus meniadakan rasa.

Suatu saat kau menginginkan seribu puisi dalam satu malam. Sebagai syarat kebangkitan rasa yang mulai pudar. Menantang diri dengan kemustahilan. Agar menyerah pada takdir yang kupilih.

Kita semua tahu akhir cerita ini. Aku gagal. Aku gagal pada mantra yang ke sembilan ratus sembilan puluh sembilan. Dan kemarahan langit membuat dirimu menjadi yang keseribu.

Lalu kegagalan menyusul dengan kekecewaan yang dalam. Kita terbatas lembaran kertas dalam sajak. Meski ribuan puisi kucipta dalam sekali nafas. Tetap tak akan menggantikan rasa.

Berjuta-juta syair terhembus atas namamu. Sungguh itu belum menandingi kehilangan yang amat sangat. Kaulah alasan kehadiran puisi itu. Tapi, akan mati dalam buku berdebu. Mereka tak bernyawa tanpa nafasmu.

Akulah yang menciptakan juga membunuh kata itu. Menghilangkan ruh dan menggambar jasadmu ke dalam kertas. Sampai kita terbenam dalam lembaran maha karya purba. Terpahat dalam candi kuno, menjadi cerita dan berita turun-temurun. Namun, akhirnya akan selalu sama tiap malam.

Kau. Aku. Terpisahkan oleh lembaran kertas. Bagai dongeng yang tak ingin berakhir.

Ibnu Nafisah
Kendari, 20 agt 2015

Comments

Popular posts from this blog

Di Meja Makan

PANTUN BUJANGAN

Pelabuhan