Mengisahkan Kedewasaan
Aku benci jika harus berada di antara mereka yang dewasa. Mereka kadang membunuh anak umur lima tahun dalam dirinya. Kejujuran dan keluguan seketika menggantung diri sendiri.
Bagaikan mobil angkot tanpa terminal, memuntahkan penumpang di sembarang tempat. Mereka memaki langit memuja harta. Melupakan keceriaan dunia dalam taman kanak-kanak.
Memasang wajah senyum ketika mencapai tujuan. Dan berubah jadi tengkorak saat kecewa menampar menghajar. Membunglon kegemaran yang tak bisa ku pahami hingga saat ini.
Aku tak ingin jadi dewasa. Tak mau mencekik kebalitaan dalam diriku. Aku mau tertawa dalam kealamiahan, tanpa takut ini itu. Berbuat seenaknya tanpa deraan etika basa basi. Aku masih ingin telanjang, berlari dalam kepolosan. Bermain tanah, air dan udara, serta memetik dedaunan di pekarangan tanpa khawatir derajat dan martabat kita hina.
Aku mau. Aku ingin. Namun akhirnya harus mengalah pada kepalsuan. Dunia ini sudah tua, malu berbuat kekanakan. Aib katanya jika harus terus dikatakan "Dia tak pernah dewasa"
Lalu akupun merana menatap kulitku mengkerut menjadi dewasa. Pikiran ku bertingkah layaknya mereka. Berkata, berjalan dan berada di antara mereka. Lalu mulai tersenyum dan tertawa seperti mereka. Dan anak itu koma, kini.
Comments
Post a Comment