MARAH?

Tidak. Aku tidak akan marah. Jangan pernah menganggap dan berpikir demikian. Aku adalah orang yang terlatih dan telah digembleng untuk melewati kata yang satu ini. Sudah menjadi kodratnya bila hal yang tidak menyenangkan selalu membuat marah. Tapi aku dipersiapkan untuk tidak bisa marah.

Aku telah melewati hari-hari keras. Bagai batu di lautan ditempa ombak dan angin pantai. Bah gunung Semeru diterjang badai pasir dan bau belerang.

Seumpama sungai, sudah bosan digerus aliran yang beriak. Dilempari kotoran serta sampah yang tak terpakai.

Akulah hutan juga stepa dan sabana di mana kaki lelahmu melangkah. Menjatuhkan keringat, bahkan pikiran tak tentu. Sekali-kali membuang bawaan yang tak lagi terpakai. Tapi, apa aku pernah mengeluh ketika itu?

Tidak. Aku sudah berada ditingkat paling atas di hatiku. Sederajat udara dan tanah. Kau kotori lalu cemari, tanpa pernah berpikir tentang dampak semua itu. Namun kau liat, aku tak bergeming. Hanya terbatuk saat asap rokok penuhi udara dan jadi tandus oleh ulahmu.

Mungkin jika kaki-kaki itu merayap di batang leher ini. Aku tetap diam. Bukan tak bisa melawan, namun aku lebih memilih demikian. Aku lebih memilih menjadi air. Air mata. Kau beri racun di dalamnya agar semua ikan mati tak bernafas. Belum puas dengan itu segala bom dilibatkan. Tapi lihat, apa aku marah? Aku hanya diam dan menunggu kau mengeluh.

Saat aku benar-benar marah. Maka di situlah kau akan mulai heran dan bertanya-tanya. Ada apa semua ini?
Karena ada tawa yang bergetar dari balik langit menumbangkan rumah dan pepohonan. Ada senyum membanjiri segala permukaan. Ada dekapan hangat sepanas mentari. Bahkan kata-kata hening yang keluar dari bibirku hanya buatmu kedinginan.

Aku tak akan marah. Bertindak dan berlakulah sesuka hatimu. Jika itu baik aku mendukung dan jika akan menyakiti, aku melihat dan terdiam.

Sekali lagi, AKU TAK AKAN MARAH, padamu, kekasih hatiku.

Ibnu Nafisah
Kendari, 22 Agustus 2015

Comments

Popular posts from this blog

Di Meja Makan

PANTUN BUJANGAN

Pelabuhan