DIA YANG DI SANA

Lihat baik-baik. Baret biru yang bersarang di kepala. Roda kompas serta teratai yang berbunga di lengannya. Ia bukan patung. Ia bernafas seperti dirimu.

Dengarkan degup jantung itu. Berdetak  dalam seragam serta sepatu laras yang terikat kuat. Ia bukan pajangan. Ia hidup seperti manusia.

Jika kau menatap pinggang yang ramping di sana ada sepucuk senjata. Bukan untuk menakuti. Tapi, menjaga dari mereka yang berpikiran praktis. Dari kekerasan yang mungkin mendekati.

Coba sekali lagi kau pandangi. Di antara tampangnya yang cepak, di sana, ada sejumput senyum terselip. Menggariskan sederet gigi yang bersahaja. Meski sarat dengan kekakuan tapi, jauh di lubuk hati kepekaan sangat berasa.

Aku tak meminta kau memandangnya secara berlebihan. Atau menghormati dan menghargai secara tak biasa. Tapi lihatlah ia yang berdiri di sana layaknya portal perbatasan. Mengendus malam, melacak pikiran jahat di mana-mana.

Pun memintamu menyanjung setinggi langit. Cobalah melihatnya sebagai manusia biasa dengan tugas dan tanggung jawab yang tak biasa. Mereka menyamar serupa gelap. Menangkap bayang, meringkus kecurigaan yang mungkin tercium.

Lihat dan dengarkanlah hembusan nafasnya. Suatu saat hal itu akan padam. Sama seperti desah nafas di hidung semua orang. Detak jantung itu pun suatu ketika akan terhenti. Sama seperti dirimu jika waktunya akan tiba.

Maka pandangilah ia seperti memandang diri di cermin. Sapalah ia seperti seorang teman lama. Lihatlah di hatinya masih sama seperti hati semua orang. Dan juga dirimu.

Ibnu Nafisah
Kendari, 20 agt 2015

Comments

Popular posts from this blog

Di Meja Makan

PANTUN BUJANGAN

Pelabuhan