DI KERETA
(Kediri- Kertosono-Nganjuk-Caruban-Madiun-Barat-Paron-Walikukun-Sragen-Solo-Klaten-Yogyakarta.)
Aku tak ingin menggambarkan rupa kereta. Senyum masinis juga decak portir yang berkata-kata. Bahkan gerbong yang baris satu, dua, tiga..., kalo tidak salah ada lima.
Hanya ingin agar kau tahu kereta itu tak berdecit. Berjalan riang di bantalan rel dan menderit. Tapi, banyak rasa sedih dan cinta yang menjerit.
Stasiun demi stasiun yang terlewati semakin membuat kita berjarak. Sawah, lumbung, ladang dan rumah-rumah terlihat marak. Namun bukan itu alasan kesedihan yang berarak.
Kita tahu rasa ini ke mana tujuan mengada. Meski berdiri di bordes dan melepas cantolan di sana. Kau pasti mengerti arahnya.
Yang tak bisa aku pahami serta menyerah dan karam. Kala berdiri sendiri di bordes yang kelam. Lalu mengingat masa kita yang silam.
Saat itu kau meminta hilangkan jengah. Berakhir kita bergoyang lembut di tengah. Memahami nafas yang sesekali terengah.
Itu salah satu yang menyayat. Berbagai cerita tentangmu kembali tersayat. Terasa hanya luka lama kini tercatat.
Ibnu Nafisah
Kediri-Walikukun, 26 Agustus 2015
Comments
Post a Comment