Kamis

Matahari masih saja menyiratkan ketidaksadar-tahuan akan segala hal. Meski itu sesuatu yang pasti dan biasa terjadi. Seperti menatap sinar matamu yang mulai redup, apakah itu berarti kesetiaan atau keengganan saja.

Aku pernah menjadi embun di bola matamu. Meneliti dentingan lembut bulu-bulunya. Tanpa sadar embun itu serupa sungai mengalir di sela-sela wajahmu.

Menjadi sinar emas di antara bibir mu membelai ranum manisnya. Lalu kau menggigit sembilu merah semburat.

Saat aku menjadi rintik hujan meneduhkanmu dari dingin, kau menggigil dalam pelukku. Meronta ingin kau terlepas dari rinainya.

Udara yang berusaha menyentuh wajah dan kau ringkih saat bulu-bulu halus membelai pipimu.

Pernah aku menggambar sekuntum mawar di dadamu. Warnanya merah berdaun-daun menyusuri lingkar pinggangmu. Kau tertawa karena rasa geli di rahimmu.

Kita pernah mengukir ranjang menyerupai tubuhmu. Hingga aku tak bisa membedakan mana ranjang yang sebenarnya. Lalu kita hilang dalam kabut malam.

Saat pagi mengemasi dingin semalam, masih tersisa denyut kehidupan dalam nadimu di dadaku. Namun masih saja darahmu tak ku dengar desirnya.

Aku menyerupai kata yang menjadi catatan di hatimu, kini mulai tak pernah terbaca lagi. Sebaris hiasan saja di lemari buku. Dan mungkin terlupa seiring debu yang menebal.

Aku serupa kamis menjelang magrib. Menggores lembayung di cakrawala. Senja pun mulai pamit karna malam segera datang. Kita saling pandang dalam bara mentari. Lalu kau pun bergegas layaknya senja yang telah lunas masanya. Tak nampak punggung hanya siluet dalam memori kecil dalam otakku.

Comments

Popular posts from this blog

Di Meja Makan

PANTUN BUJANGAN

Pelabuhan