Bulutangkis
Senin malam jadwal kita kencan di lapangan. Tubuhku menyerupai raket menantang dirimu. Malam ini kita tentukan siapa yang lebih mencintai siapa. Apakah aku bertubuh kering berjaring atau dirimu seanggun dan selihai bulu angsa.
Servis pertama kulayangkan di antara jemari tanganmu. Dan kau secantik dahulu membalas genggaman itu hingga melambungkan shuttle chock di hatiku, semakin sumringah.
Awal permainan berjalan alot. Sentuhan, tangkisan, senyuman, drophshot, rangkulan, hingga smash dan ciuman bertubi-tubi kita layangkan di lapangan yang tak kenal batas.
Keringat dan debaran yang saling mengejar membuat kita lupa waktu. Yang ada hanya sesak, desak nafas kita yang saling memburu. Mengejar bulu angsa yang beredar di sekujur tubuh lapangan.
Saat wasit mulai menghentikan kita karena seri. Kau malah minta waktu tambah penentuan. Keringat yang terlanjur basah membuat mu gerah. Lalu kau membuka kaos di tubuhmu yang bersih. Dan aku tiba-tiba tersadar. Stop. Cukup di sini permainan ini. Aku mencintaimu, tapi tak secinta dirimu kepadaku.
Aku mengaku kalah di lapangan itu. Lalu aku pulang membawa kekalahan, serta sedikit kemenangan iman di dada. "Aku masih ingin kerja esok, malam ini biar sampai di sini", jerit batinku melewati ia sendiri di sana dalam desah kecewa.
Comments
Post a Comment