Posts

Showing posts from August, 2015

SEMLOWEH

(Kata yang sering kau sebut ketika...) Semloweh Kata nyeleneh Kau ucap remeh Tubuh seksi bahenol ngoceh Cewek pakai celana gemas Liur mengalir deras Keringat terperas Bernas Ngeres Pikiran peres Mungkin sedikit ngenes Lihat bule nyeksi kenes Semloweh kau lagi berkata Mengikuti paha bermata Gemuruh dada Melanda Ibnu Nafisah Bantul, Sembungan, 31 Agustus 2015

CANDI RATU BOKO

(Suatu sore di mana cakrawala terasa memukau) Senja. Merah menyala Sinar membayang Gapura Gelayutan rona sang surya Di puncak kekaguman ini Bersimpuh keraton kini Aku berdiri Sendiri Takkan, Raga jauh Ke ruang Paseban Di Kolam langkah bersauh Dalam ceruk Goa Lanang Pula Pendopo runtuh Roh nyalang Rubuh Sintuh Dekap bayang Mata terpanah lumpuh Nikmati indah sore merembang Ibnu Nafisah Bantul, Sembungan, 31 Agustus 2015

CANDI PRAMBANAN

(Seharusnya kisah kita di baliknya) Mungkin bukan hanya Roro Jonggrang yang akan terkutuk jika mengkhianati rasa. Lalu berdiri menyendiri bagai puing-puing di Candi Prambanan. Kisah kita mungkin sudah lama menjadi buah bibir berjuta pasang mata. Hingga akhirnya hanya membeku seumpama patung Trimurti dipertapaan. Tapi sayang, kita bukanlah cerita dongeng itu. Khayalan yang akan jadi berita di malam gelap sebelum tidur. Kita yang nyata seharusnya seperti Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani di jaman dulu. Walau perang berkecamuk antara Sailendra dan Sanjaya namun kita mencinta meski itu melindur. Usah meminta seribu candi dariku. Apalah arti semua itu jika hanya sebagai puing belaka. Mintalah ciuman manja di bibirmu. Akan berikan seluruh jiwa dan raga. Akuilah berita ini yang telah menjadi prasasti sejarah. Gejolak yang terpendam lama terjarah. Serupa kepala arca hilang berdarah. Membungkam tanya, masihkah rasa datang menjajah? Ibnu Nafisah Bantul, Sembungan, 31 Agustus 2015

MAKAM RAJA KOTAGEDE

(Satu lagi saksi cinta kita yang terlelap) Aku takkan rela menguburkan cinta ini di makam. Meski hanya seorang jelata bukan seorang Raja Mataram. Akan tetap menanti dirimu layaknya beringin di gerbang itu, memendam. Biarlah Sendang Seliran Lanang mengairi jiwaku yang kosong. Berteman ikan lele bule di mata air. Kan kubasuh luka yang sempat tertoreh dan bolong. Sekokoh Gapura Paduraksa menunggu hingga datangmu mencair. Pun bukan Penambahan Senopati, Sultan Hadiwijaya atau Ki Gede Pemanahan yang kini terlelap. Aku adalah bintang yang kan terus berkilap. Meski seribu tahun tergerus cuaca layaknya Batara Kala yang kan selalu terkesiap. Kau lihat mereka yang tertidur di sana serupa purba. Mereka adalah saksi sejarah cinta masa lalu. Biarlah kisah kita menjadi petilasan di hati yang membara. Hingga suatu waktu rindu membuncah ziarahilah aku. Ibnu Nafisah Bantul, Sembungan, 30 Agustus 2015

MAKAM RAJA KOTAGEDE

(Satu lagi saksi cinta kita yang terlelap) Aku takkan rela menguburkan cinta ini di makam. Meski hanya seorang jelata bukan seorang Raja Mataram. Akan tetap menanti dirimu layaknya beringin di gerbang itu, memendam. Biarlah Sendang Seliran Lanang mengairi jiwaku yang kosong. Berteman ikan lele bule di mata air. Kan kubasuh luka yang sempat tertoreh dan bolong. Sekokoh Gapura Paduraksa menunggu hingga datangmu mencair. Pun bukan Penambahan Senopati, Sultan Hadiwijaya atau Ki Gede Pemanahan yang kini terlelap. Aku adalah bintang yang kan terus berkilap. Meski seribu tahun tergerus cuaca layaknya Batara Kala yang kan selalu terkesiap. Kau lihat mereka yang tertidur di sana serupa purba. Mereka adalah saksi sejarah cinta masa lalu. Biarlah kisah kita menjadi petilasan di hati yang membara. Hingga suatu waktu rindu membuncah ziarahilah aku. Ibnu Nafisah Bantul, Sembungan, 30 Agustus 2015

KEMATIAN

(Hari yang segera tiba) Makam; Tempat malam Segenap hidup menyelam Ketika pagi tertidur karam Kita tak bisa memilih Kapan harus kembali Pun berdalih Pergi Atau; Melangkah merantau Lari dan meracau Hindari mati datang mengacau Ketika waktu telah merenggang Hari itu melenggang Tunggang langgang Datang! Ibnu Nafisah Bantul, Sembungan, 29 Agustus 2015

MALIOBORO

Apakah kita harus mengeja kata ramai. Sementara ada nestapa bertahta santai. Di sepanjang jalan di kotamu yang damai. Huruf-huruf seakan nyangkut ditenggorokan. Angklung jalanan menambah desakan. Angkringan nangkring tertata rapi. Mata tak cukup dua untuk membaca orang menepi. Tapi kemana dirimu menghilang? Benar, kadang kita merasa sepi di antara keramaian. Meski andong, ribuan toko, dan penjual bersarang. Bahkan gemulai tarian itu tak mudah terpalingkan. Berkali-kali tanda jalanan itu ku eja. Benarkah ini jalan Malioboro, tempat segala keriuhan bertapa. Hanya bisa membaca namun tak bisa merasa. Aku satu dari seribu yang ironis di kota ini. Berjalan di bawah bayang kerinduan hati. Mencari potongan puzzle yang kosong kini. Kita ngamen di pinggiran jalan besar itu. Aura hingar bingar menusuk hasratku. Tapi jauh di ujung sana selalu nemu beku. Ibnu Nafisah Sagan, 29 Agustus 2015

LOST IN YOGYA

(Hari di mana waktu terasa panjang) Google Oom google Ooh.., Oom google Dimanakah dirimu Oom google? Utara, timur, selatan, barat Tak tahu pusat, Kota pesat, Tersesat. Hilang. Arah hilang. Gelisah, Mengaung, membayang Sedih, lucu, geli melanglang Hanya keliling berputar saja. Mengorek dan bertanya, Aku tertawa; Hahaha... Ibnu Nafisah Bantul, Sembungan, 28 Agustus 2015

PANTAI SIUNG-WEDIOMBO

(Mereka; karang+ombak semakna kita) Karang. Terhampar melaut Berdiri menghadang gelombang Menerjang deburan rasa terpaut Segala cinta yang ada Pecah, patah, rubuh Buih melanda; Runtuh Lara; Meronta, mengoyak. Segala rindu lama, Seketika datang,tenggelam, terkuak Kita yang tak sama Tak pernah seirama Mengaung seumpama; Gema Ibnu Nafisah Bantul, Sembungan, 28 Agustus 2015

SERIBU PANTAI

(Berharap datang dan melupakan, nyatanya engkau adalah ia) Aku tak tahu kau atau ombak yang berdiri di depanku. Bergelombang air wajah dan rambut terurai bah pasir biru. Menatap debaran-deburan menerjang hati yang berdiri kaku. Matamu bagai karang di tengah laut, menghujam. Bibir itu adalah cekungan di tepi pantai, meredam. Suara itu kupikir riuh-piuh antara angin dan air, menjeram. Hadirnya dirimu di antara Pantai Jogan dan Nglambor hanya memecahkan rasa. Cinta dan kerinduan sekelebat mengarungi kata. Bertebaran di langit udara yang selama ini terbaca. Ke mana pun mata memandang senyummu terbentang di samudera. Dari jauh menggulung lalu peluk erat, kaki didera. Kau segalanya penuhi jiwa dan sekelumit indra. Kan kubawa engkau; wahai angin, bebatuan, serta karang dan pasir. Juga laut, gelombang, buih dan juga diri yang selama ini menaksir. Tapi kau hanya diam bagai ribuan pantai menunggu dan berdesir. Ibnu Nafisah Bantul, Sembungan, 27 Agustus 2015

JEJAK DI KOTA GERABAH

Aku, Dan kau Ibarat kota mencengkau Aku meluk kau menjangkau Walau dekapan seperti jerat Kala lengan berserat Jejak menggurat Erat Waktu Seumpama sabtu Berjalan secepat hantu Bergelinding berjalan serupa batu Kita, Berpanggut saja Biarkan kala melata Memaksa peluk terurai belaka Jangan panggil namaku pulang Telah kuraih, sayang Yogya membayang Nyalang Kita, Mulai jelajah Jalan jalan dijajah Meski asing datang menggerabah Ibnu Nafisah Bantul, Sembungan, 27 Agustus 2015

KEDIRI

(Kata yang tak ingin tersebut, setelah beranjak pergi) Selamat tinggal Kediri. Melepasku dengan tangan melambai di hati. Lalu kita saling pandang mengeluarkan bermacam rasa sendiri. Totok Kerot ingin menyalami, terurung oleh lengan yang terkulai. Syodanco Soepridjadi pun seakan memeluk, terhenti oleh keris dan samurai. Hanya Mayor Bismo yang berdiri di atas alun-alun, dengan seragam emas yang terpakai. Selamat tinggal jejak di angan. Debu masa purba di kotamu melekat bagai bayangan. Di waktu aku tiba kembali aku berlari seriang menjangan. Dan kan kusapa kalian yang belum sempat tersalam. Karena terusir bathara kala sepagi tadi di makam. Tunggulah sesaat, dan kita sama kembali terselam. Memaknai sekelumit cerita di jalan Dhoho. Atau tertawa riang dengan nasi pecel di depan toko. Dan selebihnya Tuhan akan selalu memberi sejumput ridho. Selamat tinggal Kediri! Inilah kalimat yang tak ingin terucap di diri. Melepas rasa kita lari berdiri. Ibnu Nafisah Kediri, 26 Agustus 2015

PETILASAN DJOYOBOYO

Sejak lama aku menunggu kasihku. Pergi hilang serupa bayang enggan menemu. Lenyap bagai muksa Sang Prabu. Inilah petilasan tempat terakhir kita berjumpa. Sebuah kata terucap pada gerbang jiwa. Dan aku tetap tak mengerti bagai aksara kuno jawa. Kata-kata yang terdengar hanya hening. Sejuk dan lengang bagai Sendang Tirto Kamandanu yang bening. Lalu langkah berjarak tak lagi sedekat Mahkota dan kening. Pundakmu lenyap ditelan batang pepohonan teduh. Hamparan sayur meladang tenggelamkan tubuh. Hanya tinggal diri melangkah dan rubuh. Menunggu kendi, dupa, kembali menyala. Layaknya bunga berwarna dalam sajen tertata. Aku masih di sini menanti engkau, cinta. Ibnu Nafisah Kediri, 26 Agustus 2015

DI KERETA

(Kediri- Kertosono-Nganjuk-Caruban-Madiun-Barat-Paron-Walikukun-Sragen-Solo-Klaten-Yogyakarta.) Aku tak ingin menggambarkan rupa kereta. Senyum masinis juga decak portir yang berkata-kata. Bahkan gerbong yang baris satu, dua, tiga..., kalo tidak salah ada lima. Hanya ingin agar kau tahu kereta itu tak berdecit. Berjalan riang di bantalan rel dan menderit. Tapi, banyak rasa sedih dan cinta yang menjerit. Stasiun demi stasiun yang terlewati semakin membuat kita berjarak. Sawah, lumbung, ladang dan rumah-rumah terlihat marak. Namun bukan itu alasan kesedihan yang berarak. Kita tahu rasa ini ke mana tujuan mengada. Meski berdiri di bordes dan melepas cantolan di sana. Kau pasti mengerti arahnya. Yang tak bisa aku pahami serta menyerah dan karam. Kala berdiri sendiri di bordes yang kelam. Lalu mengingat masa kita yang silam. Saat itu kau meminta hilangkan jengah. Berakhir kita bergoyang lembut di tengah. Memahami nafas yang sesekali terengah. Itu salah satu yang menyayat. Berbagai ce

BUKU, PESTA DAN CINTA

Aku habiskan hari-hari sekolahku di antara ladang tebu. Baunya yang manis beterbangan bagai debu. Dan masa itu kutulis dalam sebuah buku. Masa kanak-kanak itu telah lama berkelana. Menyusuri sudut kota ini hingga luka dan lupa. Kebahagiaan pun datang dan pergi bagai pesta. Dari jalan ini hingga tempat yang tak terjamah oleh kota. Telah terukir sebuah prasasti kisah tentang kita. Suka duka bercampur angin cinta. Kemudian aku datang lagi untuk menagih rasa. Di sekolah yang dulu menggila. Dan kenangan tentang kita yang terlanjur mereda. Ibnu Nafisah Kediri, 25 Agustus 2015

STASIUN

Di sinilah gerbang Antara yang pergi, yang datang Seperti pertama kali cinta terucap Seperti itu pula rasanya terhisap Kita membeli tiket seperti penonton Sekaligus pemain dalam peron Lalu kereta kita bergerak Dan sama tersentak Kita tertinggal sesuatu Pada balok rel hitam itu Sehelai kertas di sana Juga dirimu kemana Netra kita bertemu Saling pandang agak lama kau di stasiun bersemu Aku di kereta merana Inikah arti sebuah stasiun Tempat hati berlabuh Lalu sepi dan pensiun Ketika waktu pun rapuh Ibnu Nafisah Kediri, 25 Agustus 2015

NEGERI BERANGIN

Semalam lelah menapak di kota ini. Dan aku bagai layangan putus dan tiba-tiba terhembus di Negeri berangin. Ketika bayang hinggap di pepohonan terasa siut mendera. Dingin itu bukan dari kibaran umbul-umbul. Atau lampu-lampu yang bergoyang dengan warna-warni bintang, sisa-sisa tujuh belasan. Dingin itu berasal dari keterasingan. Menempel pada daun yang bergoyang, ranting yang berbisik serta jalan-jalan yang penuh kendaraan raksasa. Mereka mengusik indraku. Manusia yang tak tahu namanya. Gedung yang ingin selalu dikenal. Lorong dan gang yang mau saja dijejaki tanpa mau terlewati. Hingga subuh kini angin masih membuat jiwaku kedinginan. Adzan yang entah di mana dan mau ke mana, menyambangi tidur. Menarik ujung telinga dan menyentil sukma. Dan akhirnya memilih menjadi udara memenuhi sudut kota. Bergelantungan diboncengan motor. Dengan mengibarkan kaki dan tangan serta mata yang tak hentinya berkedip. Ibnu Nafisah Kediri, 25 Agustus 2015

KAMPUNG HALAMAN (Membaca sisi lain dari Sijati)

Banyak kenangan yang tak mudah ditepiskan. Banyak cerita yang tak memenuhi pustakaan. Dan berita yang tak sempat dibicarakan. Tanpa sadar kita melewati duka di lapangan Gogorante ini. Tempat bekas luka terjambak sekali. Terbawa angin dingin kembali. Lalu kerajaan Gudang Garam bermegah-megah sepanjang mata. Serasa kita hanya tembakau berserak semata. Menunggu menjadi asap belaka. Disegala jalan penuh dengan genangan. Air otakmu berkecamuk hebat tentang masa sekolahan. Kisah manis tentang Irene dan Elvina berluapan. Dan pagi ini kita merayapi Simpang Lima Gumul. Hanya sekadar menerka jumlah simpang yang bergumul. Dan aku membawa sebuah diantaranya dalam potret tak berjudul. Ibnu Nafisah Kediri, 25 Agustus 2015

BEGADANG MENGHADANG DAN MERADANG

Kamar menemukan diri dengan kepala setengah telanjang. Dan setengahnya lagi ditarik ranjang. Kedinginan memaksa agar segera sadar dari waktu yang menerjang. Jam di dinding berdetak keras dan menabrak bola mata hingga hancur. Rasa kaget yang menerjang tiba-tiba mengucur. Kesiangan selalu saja jadi nakal dan mimpi menggoda bagai pelacur. Segelas Susu dan sepiring dadar melarikan dirinya sebelum sempat terkejar. Air pun yang membanjiri pancuran kali ini tak sudi menghajar. Hanya wajah sedih menyetor diri pada cipratan dan merasa ini tak wajar. Jalan-jalan segera menjadi jarak yang membentang. Memisahkan waktu dan tempat bagai bulan dan bintang. Lalu keterlambatan menampar kantor yang merentang. Sampai kapan pengalaman harus terus menemani. Menghardik begadang dengan lantang dan berani. Menyuruhnya tuk' pulang dan segera istirahat di malam dini. Dan jika esok pagi sekumpulan malam masih saja berkabut di dalam kamar. Bantal dan selimut masih saja merayu dan melamar. Mungkin masa la

DHUHA

Dua saja; Menyembah, Hati menyerah Diri saja; Menyendiri, Dia Maha Pemberi Syukur saja; Tepekur, Nafas masih terukur Ibnu Nafisah Kendari, 23 Agustus 2015

TENTANG HARI ULANG TAHUN

Aku paling benci dengan hari ulang tahun. Hari di mana kita diingatkan akan ketuaan. Dan aku sangat mencintai kemudaan. Usia belia, masa kekanakan. Memuji kulit kencang dan paha putih yang mulus. Aku memuja mereka semua. Di acara peringatan itu. Penuh dengan mereka yang bersifat munafik. Ingin meniup lilin namun tak ingin lilin berbentuk angka. Takut dengan kenyataan. Sepasang muda-mudi yang baru seminggu pacaranpun demikian. Saling memberi surprise di hari jadi masing-masing. Namun baru beberapa tahun nikah sudah lupa hari. Mereka yang suka memberi sesuatu sama saja. Ingin sesuatu pula di hari itu. Namun ketika dilupakan mereka juga pura-pura lupa kapan hari itu ada. Tidak menginginkan surprise dari teman dan keluarga secara berlebihan. Jika tidak dilaksanakan akan marah. Saat dikerjain karena hari itu tiba, ia juga marah karena "keterlaluan," katanya. Sebagian besar hanya pemborosan. Mereka yang berduit menghamburkan. Memesan tempat makan semahal-mahalnya. Semegah ser

MARAH?

Tidak. Aku tidak akan marah. Jangan pernah menganggap dan berpikir demikian. Aku adalah orang yang terlatih dan telah digembleng untuk melewati kata yang satu ini. Sudah menjadi kodratnya bila hal yang tidak menyenangkan selalu membuat marah. Tapi aku dipersiapkan untuk tidak bisa marah. Aku telah melewati hari-hari keras. Bagai batu di lautan ditempa ombak dan angin pantai. Bah gunung Semeru diterjang badai pasir dan bau belerang. Seumpama sungai, sudah bosan digerus aliran yang beriak. Dilempari kotoran serta sampah yang tak terpakai. Akulah hutan juga stepa dan sabana di mana kaki lelahmu melangkah. Menjatuhkan keringat, bahkan pikiran tak tentu. Sekali-kali membuang bawaan yang tak lagi terpakai. Tapi, apa aku pernah mengeluh ketika itu? Tidak. Aku sudah berada ditingkat paling atas di hatiku. Sederajat udara dan tanah. Kau kotori lalu cemari, tanpa pernah berpikir tentang dampak semua itu. Namun kau liat, aku tak bergeming. Hanya terbatuk saat asap rokok penuhi udara dan jadi

AKU, KAU DAN BANG RHOMA

Semalam telah kulanggari satu lagi perjanjian dengan bang Rhoma. Ketika sebelumnya telah berjanji tidak akan menyentuh miras. Lalu mabok asmara bersamamu. Namun kali ini aku begadang, tak bisa tidur karena otakku selalu mengingat tentang dirimu. Bang Rhom, maafkanlah aku yang tak pernah sungguh menepati janji. Sehingga kita tak bisa lagi lari pagi karena kesiangan. Dan ketika mendengar alunan pianomu barulah aku tersadar dari mimpi panjang tentang dia, pujaan hati. Saat terbangun sesiang itu, tiba-tiba saja rasa rindu merayap dari bawah ranjang. Mengingat mimpi semalam sayup-sayup nyaris terlupa. Sementara lagu "Bujangan" dari tetangga sebelah satu-satu masuk ke kamar. Uh! Bersiaplah kita ngedangdut hari ini, sayangku. Ibnu Nafisah Kendari, 22 Agustus 2015

MAKAN SIANG

Hari ini aku makan siang di tempat pertama kali kita bertemu. Aku memesan seperti apa yang kau pesan saat itu. "Dada ayam panggang." Dan tak lupa meminta potongan jeruk nipis, meski tak pernah tersedia. Sama seperti dulu. Kau duduk tepat dihadapanku. Mengunyah dengan lahap, lalu tersenyum saat ada sebutir nasi di ujung bibir. "Enak!", komenmu saat itu. Menurutku wajahmu lebih enak lagi. Tapi cuma disimpan dalam lapisan daging bakar itu. Agar kau tak tahu berbunganya hati ini. Selesai makan. Aku meninggalkan dirimu begitu saja. Dan dari belakang pundakku masih kulihat bayang kita sedang menikmati makan siang berdua. Tanpa kita yang nyata. Ibnu Nafisah 21 agt 2015

MENTARI YANG BERLONCATAN

Terbangun di saat seribu dewa sudah hilang di udara. Kabut kahyangan menyerah pada sang mentari. Dan bidadari telah terbang bebas, setelah semalaman bersarang di pohon itu. Masih saja wajahmu menjadi migrain di beberapa bagian kepala. Berlompatan mencari lubang di sana. Ingin menelpon, rasa-rasanya tangan terkepal kebas menulis huruf namamu. Atau menulis sepucuk surat saja. Agar kita bisa berkasih-kasihan di tiap kalimatnya. Ah, ini cara kuno. Anak jaman sekarang mana ada yang kenal surat-menyurat. Kemudian hape itu kupijit-pijit hingga memunculkan wajahmu. Secara ajaib. Bin salabin alakadabra, sms dari yang dirindukan muncul. "Selamat, cinta pagi!" Sebaris sms yang sengaja kau balik atau memang begitulah caramu mengartikan rasa di hati. Seperti saat marah kalimat yang sering kau katakan, "Aku rapopo!" Lama kelamaan kita saling mengenal. Atau yang sebenarnya aku cukup mengenal sifat yang satu ini. Dan apakah kali ini berarti kita berada dalam situasi yang sa

JANGAN PERNAH TINGGALKAN

Jika kau meninggalkan senjata pada seorang prajurit Maka musuh lari menjerit Seandainya kau meninggalkan tembok dalam jejak tanah Seseorang pasti meranah Bila kau meninggalkan pejuang di hutan Kemungkinan besar ia jadi militan Seumpama kau meninggalkan pena pada seorang penyair Sejuta puisi akan mencair Dan, jika suatu waktu kau pergi meninggalkan aku Seketika jasad kaku-beku Ibnu Nafisah Kendari, 21 agt 2015

DIA YANG DI SANA

Lihat baik-baik. Baret biru yang bersarang di kepala. Roda kompas serta teratai yang berbunga di lengannya. Ia bukan patung. Ia bernafas seperti dirimu. Dengarkan degup jantung itu. Berdetak  dalam seragam serta sepatu laras yang terikat kuat. Ia bukan pajangan. Ia hidup seperti manusia. Jika kau menatap pinggang yang ramping di sana ada sepucuk senjata. Bukan untuk menakuti. Tapi, menjaga dari mereka yang berpikiran praktis. Dari kekerasan yang mungkin mendekati. Coba sekali lagi kau pandangi. Di antara tampangnya yang cepak, di sana, ada sejumput senyum terselip. Menggariskan sederet gigi yang bersahaja. Meski sarat dengan kekakuan tapi, jauh di lubuk hati kepekaan sangat berasa. Aku tak meminta kau memandangnya secara berlebihan. Atau menghormati dan menghargai secara tak biasa. Tapi lihatlah ia yang berdiri di sana layaknya portal perbatasan. Mengendus malam, melacak pikiran jahat di mana-mana. Pun memintamu menyanjung setinggi langit. Cobalah melihatnya sebagai manusia biasa

SERIBU PUISI

Maaf. Maafkan aku. Ketika itu aku tak cukup berusaha. Kita cukup sama mengenal. Saling mengeja dalam satu kata. Hingga kita melisankan di bibir dan menyatukannya di hati. Lamat-lamat kata itu layu di jiwamu. Tapi tak jua menggugurkan rasa di sana. Akhirnya kau memutar otak mencari jalan halus meniadakan rasa. Suatu saat kau menginginkan seribu puisi dalam satu malam. Sebagai syarat kebangkitan rasa yang mulai pudar. Menantang diri dengan kemustahilan. Agar menyerah pada takdir yang kupilih. Kita semua tahu akhir cerita ini. Aku gagal. Aku gagal pada mantra yang ke sembilan ratus sembilan puluh sembilan. Dan kemarahan langit membuat dirimu menjadi yang keseribu. Lalu kegagalan menyusul dengan kekecewaan yang dalam. Kita terbatas lembaran kertas dalam sajak. Meski ribuan puisi kucipta dalam sekali nafas. Tetap tak akan menggantikan rasa. Berjuta-juta syair terhembus atas namamu. Sungguh itu belum menandingi kehilangan yang amat sangat. Kaulah alasan kehadiran puisi itu. Tapi, akan m

HANYA SEBUAH BUKU

Kau lihat, buku yang tebal dan tak ingin kau baca lagi. Itu adalah aku yang sekarang. Berhalaman banyaknya lembar kertas di sana merupakan catatan perjalanan hidup kita. Dulu kau menuliskan namamu di sana. Menceritakan kisahmu. Suka duka serta segala yang tak ingin kau katakan. Kadang kertas-kertas itu sebagian robek dengan sengaja. Dan ditetesi air mata, hingga permukaannya basah. Dan tintanya pun meluber,keluar dari kertasnya. Kadang pula buku itu kau jadikan teman di saat sepi. Menuliskan resep masakan dari Oom Google, atau sekadar sebagai pengingat saat menentukan tanggal dan catatan kecil dari otakmu yang telah over memori. Aku masih ingat saat kau sedih atau sedang tak ingin diintip apa yang sedang tergores di sana. Buku itu selalu kau jadikan tameng di dada atau wajahmu. Dan aku hanya bisa mencium bau parfum dan wanginya shampo yang kau pakai. Kini buku itu hanya menjadi barang usang. Sebagian covernya berwarna kecoklatan. Sebagian halamannya penuh coretan. Dan sebagian isi

PUSKESMAS

Ada suara tangis Di malam bengis Bukan angin bersiul Atau asap gelap ngepul Jerit itu rakitan Dinding dan pesakitan Kendari, 18 agustus 2015

Jenguk

Badan bagai ranjang Terbalut sarung bagai seprai Panas dingin merajang Di netramu terpancar redup Menatap langit-langit Seakan mencari celah hidup Ada senyum sedikit tawa Ada infus dan para perawat Dan kutinggalkan sederet asa

Penyair Kacangan (kpd:Sijati)

Siang itu kau datang Di rumah yang hanya enam kali enam meter Flu pun telah matang Dan aku tak butuh penyair tapi suster Kicauan demi kicauan terhembus Seirama kacang di toples Meski isi di toples habis Tapi ku yakin itu tidak buatmu puas "Karyamu ini bukan puisi tapi prosa" "Lihat saja rimanya lari sana sini" "Terkadang kejujuranmu tak berasa" "Dan maknanya terlalu dini" Lalu kau sodorkan karyamu Mirip penyair "SS" tapi ini picisan Dengan bangga keakuanmu Dan akupun seketika mimisan Sekarang aku lebih butuh suster Tolonglah seorang dokter Atau sekaligus psikiater Dan mungkin setisu plester Lalu kau pun kaget Melonjak bagai kacang terbuka kulit Ingus mengucur tergencet Membanjiri karyamu; julit Julit : Mau jujur tapi sulit

Menjelang Maghrib

Ada suara memanggil Di lubuk hati Di udara menggigil Matahari mulai mati Jam enam kurang lima menit Gelegarnya semakin syahdu Seiring lembayung genit Burung balik mengadu Ada rindu bertalu Di sana ; kenangan purba Lama sekali telah lalu Tak ingin terlupa Ketika menjelang maghrib tiba Suara itu selalu datang "Nak, ayo wudhu, kita salat berjamaah" Kata bapakku terbayang Dan kini seperti saat itu Kala senja merah bata Dan adzan-udara menyatu Suara itu membara

LDR (Lelah Dihantui Resah)

Sayang maafkanlah aku kali ini. Karena semalam (malam minggu) aku tak mengunjungi mu di tempat biasa kita bertemu - di warnet atau dimana kita bisa ber skype-ria. Tak menelponmu atau mengsmsmu karena memang pulsaku lagi down. Bahkan tidak mencarimu di Line atau Bbm karena jaringan memang lagi sakit. Tapi, jangan salahkan pulsa atau jaringan yang lagi flu, tapi salahkanlah aku yang tidak cukup berusaha mencarimu melalui surat atau telepati. Salahkanlah aku saja. Karena tak bisa menolak ajakan temanmu yang pernah kau kenalkan padaku saat itu. Semalam kami menghabiskan malam berdua. Membicarakan tentang dirimu. Membahas segala kebaikanmu karena telah mempertemukan kami. Sayang cinta kita memang terlalu kuat untuk terhalang selat sunda. Bahkan pengunungan di pulau jawa belum bisa memutuskan rasa yang kemarin kita rintis. Namun, semalam debaran yang begitu kuat telah menghancurkan gardu listrik antara kau dan aku. Sekota Kendari tiba-tiba redup-padam saat ia mengungkapkan rasanya padaku

Balada Fitnes

Sejujurnya kaulah otot yang bergelantungan di dadaku. Meski tak pernah kau sadari ternyata kita sedekat itu. Akulah yang membentuk mu di Gym tempo hari. Saat itu mata kita saling kontak. Kau mengenakan pakaian super seksi ala instruktur senam aerobik. Parasmu segar bah apel yang baru keluar dari kulkas. Ada bintik-bintik air di sana. Sejak saat itu ku ingin kau berada di dada, bahu, paha dan lenganku. Ku ingin selalu merasakan keringat hangat menyentuh kulit. Hembusan desah nafas yang lelah kepayahan demi semburat tendon kasihmu. Kini nyawamu berdetak seirama denyut jantungku. Darahmu berdesir senada aliran nadiku. Dagingmu semerah-sesegar tawaku. Tapi kau belum juga menyadari. Kita setubuh-seragawi, satu keringat, satu dekapan, dan satu khayal. Namun sayang sekali kita tak satu visi. Kau memberi udara segar saat hampa udara mendera. Membasahi kerongkongan ketika dahaga. Kaulah gainner berprotein tinggi itu. Yang selalu mengembangkan dan memberi makan tubuhku. Membentuk raga ini s

Peretas Sistem

Pernah sekali kau berhasil ku jebol. Sistem keamanan yang telah terakit dengan teliti-akurat begitu saja berantakan. Mulanya namamu menjadi sandi dipikiran. Lalu wajahmu menawarkan sebuah aplikasi cinta terupdate. Konten datamu bekerja seperti virus. Mengenali objek lalu mengikat objek tersebut. Suatu saat antivirusku terupgrade membuat otakku bekerja lebih cepat. Dan facebookmu seakan menyadarkan status perasaanku padamu. Hingga akhirnya alamat email dan nomor hapemu berhasil kukenal. Menjadi celah kedekatan kita pada awalnya. Akhirnya status di sana berubah, dari teman menjadi berpacaran, lalu entah mengapa menjadi menikah dengan.... Dan tanpa kau sadari akulah satu-satunya nama yang menjadi buah bibir di setiap status mu. Bukan karena aku yang mengetikkannya secara sengaja, namun, karena hatimu telah ku retas melalui virus data yang kukirim balik di setiap aktivitas online mu.

Tempat Pelelangan Ikan (TPI)

Masing-masing kepala dihargai dengan uang. Dan masing-masing daging ditandai dengan darah. Para penjual bertanya "Ikan atau lewat" sedang penjagal berkila "Dadu atau belah". Dan aku berseru"Aku memilih" Amis dan keringat berceceran. Darah dan becek menjadi kaos kaki, dan sepatu. Di sana, ada laut yang kehilangan ikan-ikan. Mereka tak lagi berwarna biru. Tapi merah dibanjiri rasa. Masih kudengar suara laut dari tatapan kosong serupa hantu. Aku menanduk-nanduk kepalanya, mencium bau laut, karang, serta kebahagiaan sang nelayan. Orang dan ikan saling kelahi. Saling memperebutkan harga. Penjual menawarkan suara dan ikan-ikan menjual harga diri. Aku tak tahu siapa yang lebih memiliki hak atas diri siapa. Ikan yang menghidupi mereka atau penjual yang mengangkangi. Atau akulah yang sang pemilih.

Bulutangkis

Senin malam jadwal kita kencan di lapangan. Tubuhku menyerupai raket menantang dirimu. Malam ini kita tentukan siapa yang lebih mencintai siapa. Apakah aku bertubuh kering berjaring atau dirimu seanggun dan selihai bulu angsa. Servis pertama kulayangkan di antara jemari tanganmu. Dan kau secantik dahulu membalas genggaman itu hingga melambungkan shuttle chock di hatiku, semakin sumringah. Awal permainan berjalan alot. Sentuhan, tangkisan, senyuman, drophshot, rangkulan, hingga smash dan ciuman bertubi-tubi kita layangkan di lapangan yang tak kenal batas. Keringat dan debaran yang saling mengejar membuat kita lupa waktu. Yang ada hanya sesak, desak nafas kita yang saling memburu. Mengejar bulu angsa yang beredar di sekujur tubuh lapangan. Saat wasit mulai menghentikan kita karena seri. Kau malah minta waktu tambah penentuan. Keringat yang terlanjur basah membuat mu gerah. Lalu kau membuka kaos di tubuhmu yang bersih. Dan aku tiba-tiba tersadar. Stop. Cukup di sini permainan ini. Aku

Cerita Si Ikan

Sepagi ini ikan itu telah menjual dirinya. Suara genit serta paha yang terbuka membuat iri ibu-ibu muda di kompleks. Dan bapak-bapak mudah tergoda, "Ma, pilih yang masih belia, paha putih dan dada montok" bisik seorang bapak dari dalam kamarnya yang lelap. Si ibu muda yang masih berbau amis dan daster bersisik mendekat. Melongok pada mereka bertubuh bersih dan sintal. Diremasnya beberapa payudara di keranjang, memastikan apa mereka terbuat dari silikon atau daging mentah. "Ini masih baru, masih perawan, usianya pun cukup belia, cocok buat bapak-bapak dan anak-anak muda", komentar penjual ikan itu, sambil melirik mata merah si ibu yang kurang tidur semalaman karena menyusui. Bau parfum menyengat yang keluar dari ikan itu mendadak membuat si ibu kaget. Karena baunya sama dengan bau kemeja suaminya. Mata merah itu semakin merah menyalah. Tanpa tawar-menawar ia membelinya. Sesampainya di dapur, si ibu muda yang berkulit layu dan berwajah asin mendamprat habis si ika

Ciuman Sang Embun

Entah harus dari mana  menggambarkan dirimu. Karena asap rokok yang menguap di atas kepalaku saja sudah cukup mengingatkan pada mu. Ketika itu bibir merahmu juga menyemburkan asap yang sama. Wajahmu seperti kabut di waktu pagi. Dingin berembun di titik bibir yang terbuka. Ingin ku hirup kabut itu sedalam nafasku, melumatnya sehangat mentari menyentuh kuntum bunga. Tanpa bekas dan tandas hingga berasa hangat di ujung perih. Berkali-kali asap itu menimpah wajahku. Dan wajahmu hilang dalam bayang. Kau segaris siluet mentari pertama. Membentukmu menyerupai khayalan nakal di otakku. Dan lidahmu menjulur gemas, membasahi sepasang daging di sana. Aku tahu, Kau tak nyata saat ini. Karena asap yg ku hirup telah membutakan indraku. Membius rinduku akan otak yang tak berdaya pada hasrat. Kau begitu jelas sekaligus begitu abstrak. Wajahmu hanya nyata dalam pikiran. Namun menghilang seketika dalam udara kosong. Dan ketika aku ingin melihat dirimu lagi, ku hembuskan berbatang-batang rokok di uju

Perempuan ku

Di tubuhku kini ada gambar tatto. Sekuntum bunga dengan warna cerah. Bunga itu nampak berseri di dada dekat hatiku. Itulah bunga yang pernah kita tanam saat hujan di malam yang binal. Suatu waktu kau mengukir patung. Wajahnya mirip denganmu. Aku letakkan ia di atas langit-langit kamarku. Agar malam tiba kita bisa saling pandang dalam lelap. Di tepian kos kaki olah raga ini juga kau sulam namamu. Katamu "Agar tetap ingat diriku di saat kau sibuk dengan hobimu", dan nyatanya aku memakainya saat dingin merayap di atas ranjang. Dengan begitu kau menghangatiku. Pernah sekali kita kompak dalam pakaian. Baju jersey merah MU itu adalah kenangan yang melekat erat seperti keringat dan kulitku saat lelah bermain footsal. Ingin sekali ku save adengan di mana sebintik bulu mata lepas dari kelopaknya. Dengan lembut kau katakan "tutup matamu dan ucapkan permintaan mu", aku melakukannya demi buatmu senang. Kini setelah semua bau tubuhmu tertinggal di atas ranjang. Jeritan ramb

Al Fatihah

Dua Saf Mati pagi Dingin termaaf Langkah kaki Hening saraf Ru'ku sekali lagi

Di Pusat Malam

Selalu ada kalimat-tanya. Pada diri yang mengkultuskan gelap sebagai candu. Pelarian terakhir dari segala. Akan hal ikhwal kejadian. Aku hadapkan diri menatap lekat wajah Mu, demi sebuah jawaban. Seperti biasa kita selalu memaknainya sepihak. Lalu kesimpulan membias. Masih dengan pertanyaan yang sama. Kali ini jawaban hanya hening. Ketika ku pertanyakan harta, Kau beri istri dan anak, Kau berikan rindu, juga Kau beri kertas serta pensil. Dan aku menulis mereka di sana sebagai sajak tak tergapai. Ada saja ingin kutanyakan. Dan selalu saja ada jawaban meski tak Kau jawab. Kau beri hidup, lalu Kau beri hasrat. Kemudian Kau beri dosa, dan terjawab sudah. Penyesalan. Saat jawaban tak jua terpuaskan. Aku menyerupai istri-istri yang biasa. Melayani diriku sendiri. Menanyakan kabar terupdate hari ini. Lalu aku tertawa bersama tawaku. Mengomel bersama tangisku. Aku juga menyerupai anak-anak. Menghentikan tangis dan menetek senafsu lapar. Kemudian aku tertidur. Senyenyak setenang bayi gemuk

Mengisahkan Kedewasaan

Aku benci jika harus berada di antara mereka yang dewasa. Mereka kadang membunuh anak umur lima tahun dalam dirinya. Kejujuran dan keluguan seketika menggantung diri sendiri. Bagaikan mobil angkot tanpa terminal, memuntahkan penumpang di sembarang tempat. Mereka memaki langit memuja harta. Melupakan keceriaan dunia dalam taman kanak-kanak. Memasang wajah senyum ketika mencapai tujuan. Dan berubah jadi tengkorak saat kecewa menampar menghajar. Membunglon kegemaran yang tak bisa ku pahami hingga saat ini. Aku tak ingin jadi dewasa. Tak mau mencekik kebalitaan dalam diriku. Aku mau tertawa dalam kealamiahan, tanpa takut ini itu. Berbuat seenaknya tanpa deraan etika basa basi. Aku masih ingin telanjang, berlari dalam kepolosan. Bermain tanah, air dan udara, serta memetik dedaunan di pekarangan tanpa khawatir derajat dan martabat kita hina. Aku mau. Aku ingin. Namun akhirnya harus mengalah pada kepalsuan. Dunia ini sudah tua, malu berbuat kekanakan. Aib katanya jika harus terus dikataka

Hujan Pujaan Angin

Dengan malu-malu hujan melentikkan rintiknya. Masih saja ia tersenyum dalam hijab awan. Bukan dari bibirnya yang ranum, namun pada desaunya terpancar. Satu-satu telapak kakinya menyentuh bumi. Udara hening pada kening pepohonan. Ujung kainnya menyapu segala permukaan. Diciumnya dedaun-rerumputan serta bunga lalang. Tiba-tiba tanah membuncah serupa Petrikor. Jubah langit seketika mengepung dengan aroma masa lalu. Cadar alam menghalangi pandang dari keperawanan rintik. Angin berkesiut pada wangi setelah langkah sang hujan. Dicium-hirup dalam-dalam, sedalam rindunya pada senyuman pertama sang perawan. Ia terlena sekejap akan masa di mana hujan malu memandangnya. Karena kemarau begitu menggoda. Kini saatnya ia bermandi dingin dalam aroma hujan yang telah lama dinantikan. Angin termangu memuja hujan.

Serupa Ruh

Aku adalah sebagian dahan yang telah memasuki teras rumahmu. Seseorang yang merasa terganggu membuangnya di atas rumput. Tapi aku tumbuh dan berbunga di halamanmu. Aku juga yang merayap di tembok rumahmu. Memeluk erat dingin di sana. Dan seseorang yang diam-diam menarik dedaun itu dan dengannya mengundang api. Namun besok aku akan meranggas lagi di pikiran mu. Bau asap bekas pohon yang kau bakar itu akan menempel pada pakaian serta hidungmu yang mungil. Merasuki paru-paru mu yang hangat. Membuat dadamu naik turun tak beratur. Kau mencariku di segala tanah, segala rasa, tapi, kau kehilangan. Dan aku mendapati dirimu terbangun dalam kata tanya. Berusaha menulis diriku dalam sajak. Menghidupkan lagi bunga-bunga puisi tanpa judul. Kau terbiasa menciumku di pucuk pohon yang berbunga cerah. Tapi sayang kau tak mudah mengenalku. Tak bisa membaca mencerna bahasa. Atau mengagumi keindahanku meski kau memetik harumnya. Aku adalah ruh dalam dadamu, juga dalam hijaunya pohon hatimu. Aku serup

Menunggu Siuman

Monitor merekam angka. Kulihat detak jantung mu di sana. Dadamu seirama nyenyak lagu nina bobo. Dan kau menghilang meski kulihat kau tertidur. Banyak suara di luar. Nyamuk dan dingin berkomentar tentang kesehatanmu. Tapi, ku yakin mereka sama sakitnya dengan dirimu. Hanya saja mereka sadar dalam sakit. Tembok-tembok ini telah banyak merekam kisah duka kukira. Karena tangis dan sesak terekam pada permukaannya yang kusam. Lihatlah lantai yang tak putih lagi. Ada tetesan darah dan air mata. Ketika kau siuman nanti, ciuman itu akan terasa di ubun ujung matamu. Karena telah kutanamkan doa mujarab di sana. Sekembang harapan dan seikat cinta dariku. Kutahu tidurmu akan panjang malam ini. Karena tidurku tak sepanjang dirimu. Bahkan nyamuk sekalipun segan membangunkan, sebab akulah satpamnya malam ini. Ketika nanti kau terbangun, ada seseorang yang akan tersenyum. Mengucapkan "Selamat bangun dari tidur lelap", meski ia sendiri berada di ambang lelah. Lelah tersenyum dengan harapa

Kppn

Ini kantor penuh daya Ngeliat ngerayap Kukenal wajah Datang dan pergi Laptop menjerit Tangan kaki Ah, kubawa juga ia Lupa kan perih

Subuh

Lapak mata mekar Tika hulu adzan nyekar Desisnya, Layang serupa ruh Jam lima Bunuh bulan separuh Dan mata mekar Adzan nyekar Tersaruk pula Mati dalam ru'ku Ku seret saja Tubuh beku

Dingin

Sungai cair ; Wajah air Dekap muai ; Beku nuai Dua hati ; Cinta lari

Dingin

Sungai cair ; Wajah air Dekap muai ; Beku nuai Dua hati ; Cinta lari

Minggu

Aku senang berada di antara masalah dan mencari solusi di antara polusi. Seperti sore ini ketika motor itu penuh dosa ku bawa ke tempat ibadah terdekat. Agar segala dosanya lunas terbayar. Kala ku bercermin, nampak seorang lelaki keji disana, dengan kumis dan rambut gondrong di beberapa bagian. Senyumnya akan membuat seorang anak menangis di pangkuan ibunya. Orang itupun harus ke tempat ibadah menyucikan kenajisan di sana. Lihat pakaian ini begitu bau dan kotor. Sudah seminggu ini tersentuh kejahatan. Ayolah, kita takkan ke mana-mana dengan baju itu. Dia butuh tempat berdoa. Saat tiba di rumah siang ini. Aura jahat sudah mengusik setiap indraku. Di langit-langit ada laba sedang berjudi. Jendela ini tercetak sidik jari pencuri semalam. Kau takkan percaya, darah serangga di lantai putih, mmmm, sesuatu yang berbau kriminal. Dan kau liat ranjang ini, mereka melakukan persetubuhan liar dengan guling. Seseorang harus mendoakan rumah ini agar kembali suci. Dan saat aku keluar dari semua m

Sehitam Malam

Luka yang berdarah Mengalir nanah Jerit yang membahana Terdengar merana Ranjang sepi Menjengkau tepi Malam pun merintih Bulan memutih Di bukit nan jauh Hati terjatuh Siang merenung Malam meraung Entah hantu atau cinta Datang serupa jelaga Di langit sehitam Di dada mencekam Biarkan menempuh Hati melepuh Dosa terkenang Jiwa melayang Lalu terpapar Mati terkapar Antara setan menjerit Dan pintu menderit

Sabtu

Hari di mana kita pernah berjanji, tentang masa depan yang akan kita lukis di atas tembok putih rumah kita. Saat angin malam mengusir ragu dari kerut di sudut matamu, menjadikannya sinar pengharapan. Dan dua sudut bibirmu melebar malu akan kemulukannya. Sebelumnya ada kebohongan terangkai. Pra waktu mempertemukan kita, telah kusiasati pesan singkat itu. Ku katakan tentang ajakan menonton sebuah film romantis. Tak kau duga akan apa yang terkatakan pada telinga mu yang mungil. Sebuah kata tentang "Cinta" Detak jantung mu berdebar tak menentu. Membadai di samudera tak bernama, dengan kedalaman rasa yang tak pasti. Semula ku rasa kau menajamkan wajah hingga terasa kecut di dada. Namun seperti yang tak ku duga pula kau memberi senyum itu. Kita sama bersinarnya bulan di langit. Tak ada ragu setebal awan di sana. Hatimu telah menjadi batu pualam bersinar keperakan di atas permukaan sungai dengan bulan yang kita beri kasih. Di hari di mana kita ikrarkan Kata-kata pusaka. Angin b

Prajurit Piket

Laras hitam terjaga di lantai diselimuti keheningan Bedil terikat tegang di dada Baret biru itu termangu diam di puncaknya Sementara portal menatap penuh awas Jalan ini dulunya semak belukar baret baret di wajah menebasnya dengan rentetan peluru Gedung ini dulunya gundukan tanah "loreng pelopor" meratakannya dengan sangkur Halaman ini dulunya medan laga tangan tangan terlatih membuatnya jadi kolam darah Parkiran ini dulunya hutan belantara namun pasukan menyamar hilang di baliknya Untuk semua yang telah diperjuangkan Mereka yang tinggal tengkorak Darah yang telah kering Untuk setiap jengkal tanah yg dibebaskan Cinta yang terkoyak pd merah putih Serangam yang berpeluh darah keringat Untuk tangan tangan yang teracung dan bibir berkata merdeka Untuk semua ; Semua pasukan pengabdi Mereka menidurkan baret di kepala Menenangkan bedil di dada Melekatkan seragam di badan Membaringkan laras di lantai Serta merindukan gerbang di perbatasan Mungkin tubuh itu tak se

Di Sari Laut

Di atas meja merah ini terhampar makan malam kita : segelas tanya dan sepiring jawaban. Kau makan dengan lahap, sekali kunyah 2  pertanyaan terlontar dari bibirmu yang agak berminyak. Dengan enggan ku gigit sebatang jawaban. Dan kau balas gemas. Seperti menyuruhku memakan sebanyak mungkin jawaban di sana. Kita masih di meja yang sama mengunyah makan malam kita yang telat datangnya. Kau masih duduk di depanku seakan takut tak ku habiskan piring jawaban itu. Seekor ikan menunggu kukunyah namun tak jua ku lakukan. Wajahmu menunggu jawaban namun tak jua ku layani. Sayur serta nasi itupun masih menunggu giliran yang tak mudah terjamah dari tanganku yang kaku. Mulut mu yang kukenal sebelum berminyak siap menyantap sebuah pertanyaan, tapi aku sudah hilang selera kali ini. Ku tinggalkan dirimu dengan semeja pertanyaan serta jawaban yang mudah kau tebak. Aku pergi bukan karena tak bisa menjawab atau tak nafsu pada menu makan malam kali ini. Tapi, kita telah memesannya berulang-ulang kali. H

Jumat

Di jalan yang pernah kita lalui ada lubang besar kini. Katanya pelebaran jalan sudah mencapai tempat kita berdiri saat itu,  semua berubah tapi hanya satu yang akan tetap tinggal. Aku menghirup debu kenangan dari jalan itu. Jalan di mana rumah-rumah iri melihat jemari kita saling bertaut. Jendelanya terbuka lebar mengamati kita mendendangkan dunia yang indah saat itu. Serta Pintu-pintunya tersenyum risih. Pada pohon tua yang berbonggol di sisi jalan, di batangnya masih ada inisial nama kita dan juga tanda hati lengkap dengan tanda panahnya. Kini telah rata dengan tanah. Seiring hilangnya cerita kita yang berangsur memudar di beberapa bagian. Namun yang jelas bagianku masih nampak utuh kisahnya. Ingatkah kau masjid yang kita datangi saat itu. Kini aku di sana menunaikan shalat Jumat. Masih jernih dalam ingatan saat kau dan aku panik sekaligus geli menangkap basah anak yang berniat mengambil sendal favorit mu. Atau memang salah memakai sandal saja saat itu. Seperti aku yang salah mem

Kamis

Matahari masih saja menyiratkan ketidaksadar-tahuan akan segala hal. Meski itu sesuatu yang pasti dan biasa terjadi. Seperti menatap sinar matamu yang mulai redup, apakah itu berarti kesetiaan atau keengganan saja. Aku pernah menjadi embun di bola matamu. Meneliti dentingan lembut bulu-bulunya. Tanpa sadar embun itu serupa sungai mengalir di sela-sela wajahmu. Menjadi sinar emas di antara bibir mu membelai ranum manisnya. Lalu kau menggigit sembilu merah semburat. Saat aku menjadi rintik hujan meneduhkanmu dari dingin, kau menggigil dalam pelukku. Meronta ingin kau terlepas dari rinainya. Udara yang berusaha menyentuh wajah dan kau ringkih saat bulu-bulu halus membelai pipimu. Pernah aku menggambar sekuntum mawar di dadamu. Warnanya merah berdaun-daun menyusuri lingkar pinggangmu. Kau tertawa karena rasa geli di rahimmu. Kita pernah mengukir ranjang menyerupai tubuhmu. Hingga aku tak bisa membedakan mana ranjang yang sebenarnya. Lalu kita hilang dalam kabut malam. Saat pagi meng

Anak Yang Hilang

Anak hilang. Ia lepas bebas. Ia hanya layangan di langit. Menunggu udara membawanya ke tempat yang tak bernama. Rumahnya adalah udara. Segala alam yang menghembuskan namanya. Segala air yang memercikan dukanya. Segala debu yang menertawakan tubuhnya. Kepala yang lelah itu terlelap pada ranjang rumput dimana kau bisa terlelap. Berbaring dimana kau nyenyak bisa bermimpi. Namun ia akan mengigau menyebut namamu saat malam hening. Makanan yang biasa kau makan adalah makanan dimana ia mencarinya di persimpangan jalan. Deretan peluh luruh menjadi makanan pokoknya. Berbulir-bulir biji keringat adalah alasan kenyangnya hari ini. Nafasnya yang berbaris satu-satu adalah semangatnya, ia pilin dari hari ke hari tanpa pernah keluh. Saat irama hidup tak lagi senada, nafas itu ditariknya lebih dalam. Dan lebih dalam lagi. Hidup baginya hanya rentetan nama-nama hari di kalendermu. Tak ada yang berwarna disana. Hanya ada pagi dan malam. Selebihnya mereka sebut denyut kehidupan di dunia yang hilang.

Sang Penyair

Aku tersenyum saat kau katakan "Tolong jangan simpan di hati apa yang ku ucapkan", dan senyum itu bertambah lebar. Aku terbakar senyum karena apa yang kau katakan merupakan puisi dalam hatiku. Kata-kata yang berkibar dari bibirmu telah mengisi lembaran buku di jiwaku. Tak tahukah kau sepahit apapun kalimat  yang telah kau lukiskan hanya akan menambah sapuan warna dalam galeri buku sajak hidupku. Semakin kau membakar daun di bawah pohon kering itu hanya akan menambah larik-larik sajak dalam pustaka kenangan. Bagi ku hidup ini adalah puisi. Suka duka yang berhasil menamai hari-hari ku adalah syair. Keberhasilan serta jatuh bangunnya cerita keseharian ku adalah sajak. Tak tahukah kau adalah aku yang selalu menuliskan bait-bait pahit dan manis dalam kitab indah itu. Dan lalu aku menolak saat kau memberiku gelar, "Sang Penyair". Karena aku hanya barisan kata yang kau baca saat membuka buku sajak ini. Lalu aku kembali tersenyum,"Kau adalah inspirasi puisi ku pagi

Tembok Tua Hatiku (Bt:ma2)

Ada suara sedih yang keluar dari dalam tembok rumahku pagi ini. Ia berasal dari kulit cat yang mengelupas karena didera situasi. Matanya begitu tangis, bibirnya berucap sepi, langkahnya tersendat tertahan di setiap dimensi ruang kamarku. Hari-hari yang ia jalani begitu pedih. Menempel pada pikiran yang beredar di udara. Ia semacam bom waktu bagi rumah. Selalu menghitung mundur kekurangan dari kelebihan yang nampak adanya. Lama kelamaan tembok itu tak lagi putih tapi kelabu. Tersamarkan oleh duka derita kelembaban. Pagi ini kukuas ia dengan pandangan baru di permukaannya. Ku coba memberinya warna baru pada wajahnya yang kusam. Beberapa sapuan membuat ia lebih segar namun penuh tanda tanya dalam pikiran. Apa yang ia pikirkan akhirnya? Ia tembok tempat ku berlindung dari panas dan hujan, tempat sandaran saat aku remuk. Kini mengelupas dan resah. Apakah ia akan seperti tembok yang kokoh buatku atau sebagai pencetus segala gejala. Masih dengan kuas di tangan dan warna kesukaanku dipikira

Berita Kehilangan

Kata-kata menerobos pintu mataku pagi itu. Saat sebuah sepeda berlengan melemparkan setumpuk kabar yang langsung jatuh di kepalaku. Judul teranyar memberontak di sana "Dicari Seorang Suami...." Kutelusuri bait perbait larik perlarik, sejuta kata acak beterbangan bagai burung tanpa sayap. Paruhnya kecil tajam melukai retina mataku. Semakin dalam aku, terluka dalam darah. Ku ulangi kalimat itu "Dicari Seorang Suami Yang Telah Pergi..." Kalimat itu belum juga buatku sadar. Istri siapakah yang merasa kehilangan suami? Apakah anak itu kehilangan seseorang? Tidak. Anak itu takkan pernah kehilangan. Hanya saja belum menemukan sebuah kata pertamanya yang akan ia rindukan setelah kata "Ibu". Kemana perginya laki-laki bangsat itu. Tidak sayangkah ia pada darah dagingnya, pada istri yang menunggu dengan semangkuk sayur bening di ranjangnya. Pada jeritan tengah malam buta atau di subuh berkabut. Pada kata pertama yang akan diucapkan anak semerah dan segemuk itu. Pa

Kamar

Kau kembali di kata itu. Meletakkan segala penat di kata itu, bukan hanya sekali. Namun, sebagaimana puisi kau baca lalu kau katakan "ah, ini terlalu singkat", maka kau baca dan baca lagi hingga tak terasa kata itu menjadikan dirimu candu. Saat kata kerja yang kau gunakan sepulang dari kantor berubah menjadi kata sifat. Saat itu kau mencari alasan agar kau kembali menekuni buku yang kemarin. Buku puisi karya Aan Mansyur, "Melihat Api Bekerja", teronggok di matamu. Sementara mimpi mu mengemasi kata itu dalam-dalam. Kau ingin melihat api bekerja, namun sekarang matamu sedang mengunyah bantal dan selimut. Karna kata  mulai bermain dalam puisi hidupmu. Memaksa seluruh tubuh bahkan alam semesta tunduk pada kata . Kata di mana segala rasa berpendar menjadi angka nol. Dunia serasa gelap. Hanya kata itu yang kau lihat. Sementara seisi jiwa mati dalam kata, terbuai, terpukau pada ketangguhannya. Ku rasa kita sama setuju. Kata itu berubah menjadi segala yang kita inginkan.

Udara Yang Kau Hirup

Dingin telah membuka mata dan telingamu. Bagaikan pohon menjelma ranting beku, hanya ada butiran embun di atas daun muda. Kelak kau lewati di simpang jalan, dan hanya sekedar melihat tanpa pernah menyentuh. Dia butuh belaian hanya sekedar menjatuhkan bintik beku semalam. Kendaraan yang berjalan di atas air saat hujan turun begitu saja melewatimu. Bunyinya membentuk gelombang di atas air, kau tahu ia kedinginan di sana, namun tak kau hentikan juga derunya. Dia juga butuh kau menempati suatu ruang di duduknya, merasakan deru mesin dan air menyatu. Gedung serta rumah yang diam itu, mereka pasrah. Hujan telah bekerja keras semalaman. Berusaha menghanyutkan lalu menenggelamkan atapnya. Selokan itu tercungkil dari tanahnya. Kini langit memulangkannya, dan kau datang melewati tanpa berkata-kata. Sebenarnya gedung dan rumah itu menanti dirimu. Menanti cetakan jejak kakimu yang pertama di lantai berlumpur. Mereka butuh kau. Dan sepanjang jalan yang kau jalani hanya desing hujan berguruh. Sep

Anak-Anakmu Bukanlah Anak-Anakmu

Anak-Anakmu adalah rintihan langit yang jatuh kepangkuanmu. Mereka tumbuh menjadi pohon berdaun hijau di rumahmu. Hingga suatu saat mereka akan mengisi sebagian kisah hidupmu dalam sajak hati. Anak-Anak ini adalah anak hujan yang berjatuhan di wajahmu yang belia. Mereka akan akan mengalir di rumahmu sebagai sungai. Lalu suatu saat mereka pun akan menuju ke laut maha luas. Jalan setapak yang kau babat itu menumbuhkan kenangan. Ia akan menjadi jalan raya dengan kendaraan yang akan melewati halaman rumahmu. Dan suatu saat jalan itu pun menatap lambaian tangan dan menghapus air mata yang tiba-tiba menggenang Juga kamboja berbunga merah ini. Ia adalah anakmu yang kau sirami saat pagi. Daunnya yang cokelat akan mengisi teras rumahmu. Hingga saat nanti ia akan berbunga dan berbiji. Dan biji itu akan terbang ke udara. Rumah yang kau diami akan menjadi buku puisi. Banyak lembaran tercatat dan sebagian masih kosong. Karena sebagian dari mereka akan mengisinya dengan tawa serta sebagian denga

Kepada Yang Ingin Jadi Penyair (Bt:sejati)

Kepada kata yang kau torehkan pada kertas, yang hanya menggariskan sebuah kalimat tanya, dan sederet kata benda. Pada hasratmu yang kian membabibu pada harapan cemas buku kumal yang kau anggap sebagai kitab. Renungkanlah kata per kata, kalimat per kalimat yang nantinya kau jadikan pakaian bacaan di saat senggang. Akan dunia luas terbentang abjad dan aksara. Beribu bahasa tercetak di langit dan toh akan hilang seperti awan yang tersapu angin. Nantinya hanya impian bersikeras melumpuhkan nada-nada cerita dalam tiap lembar koran dan majalah. Kata temanmu "bagai windows yang hanya hidup tapi tidak play on, perlu restart" sedikit listrik kejut mungkin biar lebih segar, lebih penuh wawasan, lebih hidup, tidak vakum, cenderung pasif Kita letakkan saja sebuah tokoh pada pedoman kesepahaman lalu kita ikuti denyut nadinya. Kita raba aliran darah bergetar penuhi jantung buku, ulang demi perulangan sehingga menjadi roh yang tak terpisahkan. Lihat dan rekam makna tiap bait dan larik it