Posts

Showing posts from 2015

RAVANA

PUISI PATIDUSA TANGGA ********************** RAVANA (Trilogi Ramayana) Gerhana matahari penuhi tawang Prabhu Dasamukha melaga Berkereta kencana Menerjang Delapan ekor kuda terpecut Debu garang terbangan Kebengisan sambut Pertarungan Alengka membara kalap amuk Perang ini berkecamuk Demi cinta Sita Dasagriva pun hunus senjata Dibunuh atau merana Sebuah pilihan Rintihan Seketika Taman Asoka mewangi Teringat sang Dewi Memohon janji Suci Sanggupkah Dasakanta hidup terluka Ditinggal mati sendiri Hingga terlupa Menyendiri Tidak, Itu bukan akhirnya Tiada bisa pisahkan Seribu rasa Berkejaran Sang Brahmana setengah Rakshasa Modar melayang nyawa Ditembus Brahmastra Rama Demi kekasih hati sejatinya Rela kalah mengalah Jadi resi Abadi Ibnu Nafisah Kendari, 12 Desember 2015 ----------------------- Catatan Kaki : Dasamukha : Bermuka sepuluh Dasagriva : Berleher sepuluh Dasakanta : Berkerongkongan sepuluh Tawang : Ruang di antara langit dan bumi

RAMABHADRA

PUISI PATIDUSA ORIGINAL ************************ RAMABHADRA (Trilogi Ramayana) Akulah sang raja cinta Kuagungkan kau Sita Sebagai ratu Yayiku Tidaklah Tiada dua Di kerajaan hati Engkau ranjang surga sejati Tempat menidurkan segala jiwa Tujuan berpulang raga Kita sepasang Sebayang Pula; Akulah awatara Turun menjelma dunia Demi melihat kau bahagia Tak akan pernah meragu Pada kasihmu merayu Wahai bidari Dewiku Akhirnya Semua berbeda Agar langit menyadari Bahwa engkaulah maha  suci Tak termakan api terbakar Diterima bumi berakar Meski pisah Resah Rela Pasti pasrah Pun terbayar sudah Pertempuran kemenangan lawan angkara Ibnu Nafisah Kendari, 24 Desember 2015 ----------------------- Catatan Kaki : Awatara : Avatara atau avatar, Inkarnasi dari Tuhan Yang Maha Esa maupun manifestasinya. Ramabhadra : Rama Yayi : Dinda

ENTAHLAH

ENTAHLAH (Sebuah kerinduan) Entahlah Aku merindukan kemarau Angin mengendus hembus menderau Awan gemawan nan rupawan Menaungi arungi gadis menawan Dikecupnya bibir merah rekah Sepasang mata matari rebah Seakan hangat tersengat manja Di sela senyum candu bagai ganja Termabuk-mabuk pesona Bahkan jika tawamu menggema bak senja Oh ... Entahlah Ketika hujan menghujam Desir rindu serasa sewindu merejam Bayang terbawa pada padang panjang Seribu ilalang belalang melanglang Aroma bukit mendekap kulit Sungguh wajahmu terbabas sulit Tak satupun derai rintik menitik Memudartukarkan dara cantik Kini semakin menggelitik Jiwa hatiku terbuai cinta gemericik Ibnu Nafisah Kendari, 20 Desember 2015 ----------------------- Catatan Kaki : Terbabas : Hanyut dan kehilangan arah (karena diserang ombak, angin ribut), terkatung-katung

BINTANG

PUISI PATIDUSA TANGGA ********************** BINTANG Bila aku bumantara; rumah Kaulah sang bintang Bersinar ramah Melintang Pun seekor jantan menjangan Luas padang angan Kau pepohonan Menyejukkan Jika lelah berlari mengejar Kan kupandang langit Senyummu terpancar Berbait-bait Seluas tawang jembar anggara Pendar secantik angkasa Akulah rembulan Seperjalanan Saat sesat hilang rimba Engkau adalah Limpapas Penuntun cinta Kompas Ibnu Nafisah Kendari, 08 Desember 2015 ----------------------- Catatan Kaki : Bumantara : Angkasa Tawang : Ruang di antara langit dan bumi Menjangan : Rusa Jembar : Luas, lebar, lapang dada (hati) Anggara : Liar, buas Limpapas : Kupu-kupu yang besar

REMBULAN

PUISI PATIDUSA BIAS ******************* REMBULAN Bulan Aku berjalan Terang gelap hidup Cerah segenap luka redup Tunjuk arah  'tuk kembali Berpendar dalam hati Tidak sekali Berkali Pandu Tuntun aku Bagai gelombang perak Menerobos desir jiwa bergerak Tak ingin pula tersentuh Sebelum petang setubuh Memanggil rindu Dahulu Duet Kitalah siluet Di padang perbukitan Akulah serigala lolongan jeritan Bak burung hantui malam Menanti engkau karam Saresmi raga Purba Ibnu Nafisah Kendari, 08 Desember 2015

HALIMUN

PUISI PATIDUSA ORIGINAL ************************ HALIMUN Akulah sang pagi buta Pohon berdiri gigil Gelap meronta Menengil Bintang Masih melintang Sisa malam menggantung Tak ingin pergi bergelantung Kubiarkan kau serapat kabut Meniup jadi biut Terdekap sekap Lelap Embun Seindah halimun Cumbui penat pekat Rasuki sukma haus lekat Kaulah pakaian sutra semburat Sentuh damaikan jiwa Samarkan gurat Sahaja Ilam-ilam Dirimu bersemayam Seperti sebam terselam Kita berpagut berpaut mendekam Ibnu Nafisah Kendari, 08 Desember 2015 ----------------------- Catatan Kaki : Sebam : Berwarna biru atau kelabu, tidak jernih atau tidak terang warnanya, suram. Ilam-ilam : Tampak suram (kelam), tidak nyata kelihatan (karena jauh dan sebagainya). Halimun : Kabut Biut : Tidak mau sembuh-sembuh (tentang penyakit). Menengil : Menyembul (menonjol) sedikit.

BUMI

PUISI PATIDUSA TANGGA ********************** BUMI Tersemai benih di dada Aksara titipkan rasa Ingin kutuai Membuai Kaulah hamparan luas terbentang Di tubuhmu terlentang Sepetak harapan Ratapan Engkau rahim benih kusemaikan Tempat tunas tetumbuhan Resah dedukaan Pepohonan Cengkung tampung gelisah laut Udara yang kalut Ribuan cinta Memuja Sekembalinya diri pada lahat Pulang berangkulan rekat Tertidur direbahku Dalammu Ibnu Nafisah Kendari, 08 Desember 2015

API

PUISI PATIDUSA TANGGA ********************************** API Aku terbakar liar cintamu Dijilati gelora menderu Hasrat meremas Memanas Akulah kayu yang bergeletak Ilalang berasap lesap Bara retak Tercecap Minyak undang hadirmu tersulut Sejumput gairah tersundut Panggang rasa Menyala-nyala Kitalah pijar karena tergesek Lelah  melalak ringsek Gejolak berdebar Berkobar Ibnu Nafisah Kendari, 07 Desember 2015 ----------------------- Catatan Kaki : Ringsek : Rusak dan pesut Melalak : Terbakar, meletup Lesap : Hilang

BATU

PUISI PATIDUSA TANGGA ********************************** BATU Takkan habis sabar menggebu Meski diterpa hujan Ditiup debu Berlumutan Takkan musnah dimakan waktu Hari kian berlalu Rasa sama Mencinta Bertahun dihempas sang badai Usia dirampas ternodai Hati kembali Lagi Beribu jarak kita terpisah Beratus kali kesah Atma membeku Menyatu Ibnu Nafisah Kendari, 08 Desember 2015

UDARA

PUISI PATIDUSA CEMARA ********************** UDARA Sesak Aku tanpamu Tercekat hampa mendesak Raung meriung gagu meragu Kubiar Engkau ikhtiar Setiap sudut hati Membuka diri untuk terasuki Mata Takkan nyata Tapi hadirmu berasa Saat hirup hidup berada Lepas Aku lekas Di ruang berongga Kaulah zat penuhi kosongnya Ibnu Nafisah Kendari, 07 Desember 2015 ----------------------- Catatan Kaki : Meriung : berkumpul

AIR

PUISI PATIDUSA TANGGA ********************** AIR Akulah geronggang tempatmu beredar Aliri aliran kerokong Jadi penyegar Keroncong Daku dahaga kering merindu Tandus ingin mengadu Kau candu Buatku Pun sebagai cangkir kelompang Menanti engkau ada Kosong meradang Mengada Ibnu Nafisah Kendari, 08 Desember 2015 ----------------------- Geronggang : Lubang di dalam, rongga (di dalam kayu, batu dsb) Kelompang : Kosong

TANAH

PUISI PATIDUSA BIAS ******************* TANAH Kembali Tempat tergali Pun kan pergi Menemui cintanya di hati Bila nanti tiba waktu Ajal sebagai penentu Kita bercakap Berdekap Tubuhmu Timbuni rubuhku Peluk berpagut desak Akhiri jeritan dunia sesak Ruang kosong tak isi Hadirmu, diri mengisi Menyatu padu Beradu Bertunas Kan menetas Kisah jadi asmara Bumi serapat tanah menyapa Ibnu Nafisah Kendari, 06 Desember 2015

CAHAYA

PUISI PATIDUSA TANGGA ********************** CAHAYA Hadirmu lahir saat purnama Pendar nelusuk atma Terangi kecewa Gulana Diciumi dedaun tanah angkasa Terobos semburat maya Satu fatamorgana Sempurna Pelukan malam kian erat Desah risau menjerat Bekui barat Karat Lindap bekap kau menerangi Siluet pohonan gerayangi Perbukitan jelajahi Terambahi Aku menanti  aksara pelita Terbang seindah jelita Sorot seluruh Luruh Kau bagai kilatan binar Akulah gelap samar Menunggumu sabar Bersinar Ibnu Nafisah Kendari, 06 Desember 2015

CINTA

(Kata yang kau ucapkan ketika rintik mencium tanah) Hujan kaulah kekasih hati Basahi tanah jiwa kering berahi Gemerencik air pada daun jendela Adalah rayumu yang binal meraja Engkau jilati segala bumi keringan Mengangkangi desah pohonan Puaskan dahaga nafsuh meranggas Akan kerontang tandus mengganas Tubuh kita terbalut angin dingin Saresmi bertelanjang di udara berangin Kita adalah petir juga halilintar bahana Awan kelabu lalu derai rinai melanda Napas juga dekap saling buru rebas-rebas Berpagut bergelinjangan jadi deras Kitalah kamasutra di saluran berarus jeram Bergelora berlonjak-lonjak pada sungai deram Hingga satu kenyut lainnya denyut Tinggal tetes sepi pada daun hanyut Ibnu Nafisah Kendari, 03 Desember 2015 ------------------------ Catatan Kaki : Kenyut : Mengisap (puting susu, dot dsb), menyusu, menetek Deram : Tiruan bunyi besar dan kuat seperti bunyi aum harimau (guruh, gendang besar dan sebagainya) Rebas-rebas : (hujan), rintik-rintik, gerimis Sare

PETRICHOR

(Namamu ketika hujan) Kau adalah hujan bagi kemarau di waktu subuh Basahi seluk, peluk tubuh yang kan rubuh Teteskan setitik cinta di tubir bibir Membekap, dekap hasrat yang kian melipir Engkau pula rinai tersemai dalam alam kasihku Basahi seluruh, luruhkan jiwa jemawa nan ragu Pun bunga terlanjur layu, rayu jadi mekar Menunaskan pucuk kuncup semesta sekar Akhirnya kita lahir sebagai ricik yang gemercik Kitalah air mencair, gemerencik sukmamu kian rintik Lalu terbuai dalam alunan lamunan desau gemuruh merisau Lunas tuntaskan persetubuhan tanah pada hujan yang menderau Ibnu Nafisah Kendari, 01 Desember 2015 ------------------------ Catatan Kaki : Gemerencik : Berbunyi seperti bunyi percikan air pada kaca Ricik : Tiruan bunyi hujan yang dibawa angin Petrichor : Aroma hujan pada tanah kering Derau : Tiruan gemuruh hujan di bawa angin Gemercik : Berbunyi seperti bunyi air yang jatuh menimpa genangan air.

HUJAN

Beribu rasa yang tercurah Berkejaran dalam kelenjar darah Satu persatu meresap mengecap dahaga Mencumbui sewindu rindu dibenak telaga Lumat segala pegunungan segara resah Puaskan binal luruhkan banal kelesah Tanah tubuhku berpagutsahutan erangan serangan merintik Menuntaskan tunas cintanya yang dulu tak lagi menitik Membuyarkan lagi kelabu paling deru Birunya langit pun cemburu saling buru Kitalah dua hati kasmaran dalam asmara Bergejolak melonjak menciptacipratkan aksara Meski tersadar bersandar pada cinta kian kelu beku Namun raga ragam jiwaku telah lama damba raba rebahmu Ibnu Nafisah Kendari, 30 November 2015 ------------------------ Catatan Kaki : Kelesah : Gelisah Segara : Laut (an) Binal : Liar Banal : Kasar

SINONGGI

(Engkaulah nikmat yang tak kan pergi ) Ingin kusuapi dahaga rasa lapar akan dirimu. Atau sekedar mengunyah sayur hijau dari paras yang penuh kesegaran. Bahkan denting suara lirih sekalipun kini serupa ikan yang berenang dalam mangkok. Mungkin kau pikir aku gila saat ini. Karena semakin kau berucap rasa kenyang akan semakin terlempar pada piring-piring sagu yang kau sendok. Kita semeja. Pandangan itu membuat jiwa bernyanyi lagu kasmaran. Sayang, tambahkan lagi kuah ikan itu ke dalam hati yang kering ini. Oh, betul saja. Ini kenikmatan kecil yang kau sajikan padaku. Sepiring makanan daerah yang kau beri cinta di dalamnya. Dan rasanya semegah ciuman terkasih pada kinasih. Kaulah rasa lapar sekaligus kelapangan jiwa. Dahaga juga keceriaan kesegaran dunia. Dan biarkan kita habiskan berjam-jam dalam meja cintamu. Ibnu Nafisah Kendari, 22 November 2015 ----------------------- Catatan Kaki : Sinonggi : Kuliner khas Kendari

SAJAK RINDU

#Puisi_Cinta_Sendu(Antologi Puisi Penerbit Mazaya Publishing House), terimakasih bukunya sudah tiba, puisi saya tercetak dengan indah di dalamnya, hehehe ... PUISI PATIDUSA BIAS ******************* SAJAK RINDU (Terinspirasi oleh: Lagu Rindu ;Kerispatih) Bintang Malam penuhi Kirana rindu belintang Menggelimantang rasa sendu hati Ingin lukis langit namamu Pada dingin bumantara Erat pelukku Se-udara Angkasa Tahukah engkau Siapa sang pemuja Berdiri kaku ingin menjangkau Embun kelam itu; aku Bermimpi belai kenya Meski beku Olehnya Sajak Cinta melonjak Tercipta buat dikau Belahan jiwa kian memukau Ibnu Nafisah Kendari, 22 September 2015 ------------------------ Catatan Kaki: Kirana : Sinar Belintang : Terletak melintang Menggelimantang : Memancar Bumantara : Angkasa Kenya : Gadis

SENJA PANTAI AKKARENA

#Puisi_Munajat_Sunyi(Antologi Puisi Penerbit LovRinz Publishing, Karya saya tercetak manis di dalamnya hehehe .... SENJA PANTAI AKKARENA Katakan padaku, wahai laut Riak gejolak pasir mengumpat Senja di dermaga kayu terbaut Matahari sewarna jingga merapat Kita seperti anak belia berenang Terapung saling mengagumi rindu Bercerita pada mereka yang terkenang Mengabadikan angin menderu Kita masih terlalu muda Mudah kecewa pada samudera Lain waktu memuja dunia Tabik dada idealis pada laut meraja Lupa, kitalah asin dalam keterasingan Tergaram dibumbui lika-liku kehidupan Sedang air laut tetaplah lautan Meski menolak menjadi asin dalam pengasingan Wahai anak laut yang koyak Oleh pasangan surut cinta Tetaplah senja 'Kan padam di tengah cakrawala Tetap 'kan bara esok memancarkan cahaya yang sama, setia Ibnu Nafisah Makassar, 06 September 2015 -------------------------- Catatan Kaki : Tabik : (ungkapan untuk memberi) salam, selamat

MAIR

PUISI PATIDUSA TANGGA ********************** Kau datang pagi menyamai Bangkit lalu luruhkan Kembali membuai Menidurkan Bermadah tentang amal ibadah Dosa dulu tengadah Waktu melepuh Rapuh "Selamat tinggal," kaku tercecap Namun tak terucap Nyawa pulang Hilang Jasad ini kini muksa Tiada lagi Rukhsah Segala cerita Derita Tangis duka tak perlu Lampias kata kelu Berakhir kisah Pisah Semua akan sampai muara Berliku hingga samudera Sebelum wafat Taubat Ibnu Nafisah Kendari, 28 November 2015 ----------------------- Catatan Kaki : Lampias : Lancar, deras mengalir Rukhsah : Kemudahan yang diberikan Allah swt karena sesuatu sebab tidak melaksanakan ibadah wajib Mair : Maut, Kematian Bermadah : Memuji-muji, mengucapkan syair (sajak) sebagai pujian Muksa : Tingkatan hidup lepas dari keduniawian

CANDI RATU BOKO #2

PUISI PATIDUSA ORIGINAL ************************ (Petilasan kita terkubur di sana) Kini hanya puing belaka Gapura kokoh berdiri Gelebah melata Sendiri Abhayagiriwihara Kutinggalkan padamu Puncak kedamaian semata Memuja-muji cinta yang jemu Ketika senja pun karam Akulah Rakai Panangkaran Bagai pualam Kasmaran Renjana Kenangan purba Terjebak ribuan silam Masing-masing dari kita tenggelam Tersirat ceruk Wadon Lanang Sampai kini burai Sejarah panjang Berai Jerembun Luka berembun Lalu prasasti tertimbun Wiraga moksa hati merabun Ibnu Nafisah Kendari, 28 November 2015 ----------------------- Catatan Kaki : Jerembun : Keliatan atau muncul dengan tiba-tiba Abhayagiriwihara : Wihara di atas bukit yang penuh kedamaian, berada di situs Ratu Boko Rakai Panangkaran : Raja Mataram yang hidup pada tahun 746-784 Masehi Goa Wadon, Goa Lanang : Wadon wanita, Lanang Pria, berada dalam situs Ratu Boko Moksa : Tingkatan hidup lepas dari keduniawian Prasasti : Piagam dari

PSEUDO

PUISI PATIDUSA TANGGA ********************** Cinta hadir sebagai bayang Merona, gelap hilang Akhir senja Sirna Dirimu pun hanya jejak Di langit menapak Ketika pagi Pergi Engkau  pula surya mengawan Sembunyi balik awan Sinar pupus Hapus Kau duniaku masa dahulu Waktu telah lalu Kenangan purba Terlupa Masa yang telah pergi Rasa lenyap asa Tinggallah diri Damba Ibnu Nafisah Kendari, 27 November 2015 ----------------------- Catatan Kaki : Pseudo : Semu, Bayang, Palsu

SALAT

PUISI PATIDUSA CEMARA ********************** Subuh Tubuh seluruh Ruku sujud rubuh Bangun separuh bangkit luruh Siang Dosa terbayang Dzikir kata nyalang Tubi doa talu melayang Lembayung Sore mendayung Tauhid jalan terhuyung Tertatih gerak sukma layung Tiga Magrib merangka Amal hisab neraca Lewati petang lalui raga Malam Sebelum makam Sadar diri dalam Ibadah jaga hati tenteram Ibnu Nafisah Kendari, 27 November 2015 ----------------------- Catatan Kaki : Nyalang : Terbuka lebar, tajam Layung : Warna kuning kemerahan-merahan di langit pada saat matahari akan terbenam Hisab : Hitungan, perhitungan

DEDAR #1

(Ketika hati terasa panas) Siang itu matahari kalap. Matanya nanar natap. Tembusi  Hati yang ratap. Aku dikejar rasa bahang. Turuti jiwa beringsang. Demi sebuah cinta yang melayang. Amarah layaknya bara. Saling panggang di hati nara. Lalu jadi debu di udara. Di sinilah aku berteduh. Pohon rindang tempatku mengeluh. Yang daunnya serupa kubah galuh. Memanggil jiwa haus cinta-Mu. Seumpama air tetesi rinduku. Obati dahaga kian meramu. Ibnu Nafisah Kendari, 18 September 2015 ------------------------ Catatan Kaki: Dedar : Panas (suhu tubuh) Bahang : Panas dari api/suhu tubuh Beringsang : Panas Nara : Orang/manusia Galuh : Perak, ratna(intan) sebagai sebutan putri anak raja

DEDAR #2

(Memilih untuk tidak jadi api) Jika menjadi api, kau adalah abu di puing berdebu Seumpama asap aku kan meniup pelan-pelan bara dalam hatimu Kan bakar segala harap juga asa Andai ilalang kering pun diriku, hawalah udara beringsang yang berkobar Lidah obornya menari-nari bersama amarah Seketika kita hanyalah gunung gundul menyala-nyala Bila tabung gas serupa tabiat, niscaya dirimu sewaktu-waktu meledak bagai bencana Hanguskan segala rupa dalam hidup dan jiwa Jadi serpihan luka pula duka Jikalau memang memilih kobaran yang tak padam Semburan panas tiada redam Jadilah vulkanik, cairkan diri sendiri lalu mati dan karam Sayang, Aku hanyalah suluh sekadar penerang Bukan gejolak babi buta selalu menyerang Aku pun karang, berlubang demi ombak beriak Merandu, demi kemarau menyesak Malam, demi bulan meruak Ibnu Nafisah Kendari, 26 November 2015 ------------------------ Ruak : Terbuka, menjadi lebar Beringsang : panas Suluh : Cahaya, penerang Dedar : Berasa panas (suhu tub

RAGA

(Menunggu roh untuk menghuninya) Aku ingin menjadi atapmu sekali ini Meneduhkan dari badai kemarau panjang Agar reranting tak mudah gugur melayang Bahkan ubin sebagai pijakan hati serana Menemani langkah demi langkah jejak hidup kelana Atau sekedar jadi dinding di antara matahari Hijab penutup mata dari pandangan hari Akulah pintu berdaun lebar nan ruak Tempat segala cerita menunggu terbuka untuk dikuak Seumpama jendela kusam Aku mengkultus jemari halus melunakkan jeram Bahkan jika kursi di teras kita kosong Menanti engkau letakkan secangkir asa selongsong Sembari songsong anak kita berbunga di halaman Ibnu Nafisah Kendari, 24 November 2015 ----------------------- Catatan Kaki : Ruak : Terbuka, menjadi lebar Selongsong : Selubung, sarung Serana : Merana Kultus : penghormatan berlebihan terhadap orang, paham atau benda

GERHA

PUISI PATIDUSA BIAS ******************** (Rumah untuk kembali) Lagi Pagi pergi Kereta rel besi Di titian siang henti Sebentar stasiun sore merayapi Akulah peron menanti Malam terlewati Hari Rumah Tempatku kembali Meniti  lelah resah Adalah engkau pujaan hati Menyambut duka segala gundah Pun rindu mendesah Juga kelesah Gelisah Pelasah Kau jamah Benarkan letak kerah Setelah seharian daku lasah Wahai dikau garwa padmi Hanya dirimulah cinta Jiwa saresmi Bersemi Ibnu Nafisah Kendari, 24 November 2015 ----------------------- Catatan Kaki : Kelesah : Gelisah Pelasah : Pakaian rumah sehari-hari Lasah : Bekerja membanting tulang Garwa Padmi : Istri, Permainsuri Gerha : Istri, permainsuri Saresmi : Setubuh

RUMAH

PUISI PATIDUSA TANGGA ********************** (Kau yang tak berada di sana) Tempat teduh tidurkan lelah Tenangkan gelombang resah Redup redam Malam Atap damai jauhkan gelisah Dahaga pun sirna Pupus kelesah Bahagia Ke mana kau gerha Dulu datang menggoda Kini serana Meraja Seumpama samudera luas bentang Tanpa kapal terlentang Lari menggelandang Gerentang Tiada penghuni melepas hasrat Ramu jelaga kelam Lukis karat Belam Ibnu Nafisah Kendari, 24 November 2015 ------------------------ Catatan Kaki : Kelesah : Gelisah Serana : Merana Gerentang : Berdentang-dentang Belam : menjejalkan Gerha : Istri, permainsuri

MASYGUL

PUISI PATIDUSA BIAS ******************* Rumah Pintu jendela Kubuka sepi menjamah Udara terpa wajah kecewa Bayang dirimu lekas lepas Berlari pergi lenyap Terasa limpas Senyap Teriak Amarah kesal Bagai ombak beriak Penuhi ruang kalbu sesal Initah arti kata sunyi Detak jam berbunyi Cicak sembunyi Bernyanyi Dinding Ubin membeku Serupa hantu merinding Terpeluk dada hampa memaku Akhirnya diri susah resah Karena hati koyak Jiwa gelisah Goyak Ibnu Nafisah Kendari, 24 November 2015 ------------------------ Catatan Kaki : Goyak : Mengguncang, menggoyang(kan) Limpas : Tertuangi, terlampaui Masygul : Bersusah hati karena sesuatu sebab

MOLULO #2

PUISI PATIDUSA CEMARA ********************** Hei ... Genggam jemari Gong belum selesai Petang baru mulai hari Putar Buat bundaran Muda mudi melingkar Tari adat tanda persahabatan Hentak Kaki rempak Seirama alunan lagu Habiskan malam tinggalkan ragu Hei ... Jangan sedih Tempo takkan usai Mari bergoyang hingga letih Kenal Saling sapa Jodoh mungkin berawal Pun pererat rasa bersaudara Ibnu Nafisah Kendari, 22 November 2015 ----------------------- Catatan Kaki : Molulo : Tari adat suku Tolaki (Kendari, Sultra)

KENDARI BEACH #3

(Kisah kita karam di sana) Dahulu, kita sepasang bayang kala senja tiba. Paras manismu menunjuk ke cakrawala. Sementara angin sibuk mendamaikan cinta nan gelora. Kita pernah melempar kerikil di teluk yang tenang. Akulah laut dan kau ikan kecil yang berenang manja . Diam-diam terhanyut di asinnya petang. Dan kini, siluetmu bak gelombang tak terjamah. Tenggelam hingga ke dasar angkara. Ah, pantai ini pun sesak oleh mereka yang mencinta. Ibnu Nafisah Kendari, 22 November 2015

PANTAI NAMBO

PATIDUSA BIAS ************** Gadisku Berombak tenang Dalam gelombang candu Terurai pasir nan panjang Kita pernah habiskan malam Ketika bibir ranum Belai temaram Mengulum Mendesah Kala kujamah Laut nan biru Teriak angin pun deru Pada pantai cumbui tubuh Saat bulan saresmi Gemintang rubuh Sunyi Oh ... Teluk permai Desirmu jadi roh Jiwa tenteram dan damai Ibnu Nafisah Kendari, 22 November 2015 ------------------------ Catatan Kaki : Saresmi : Setubuh Pantai Nambo : Pantai di Kendari (Sultra)

DUA SEJOLI

Kita sepasang Seindah sendang dan kau air yang memaknainya  Adalah gelas berisi Selalu ingin menjadi cairan di dalamnya Pun gunung menjulang Terkadang ada sungai memeluk punggungnya Lalu dibibir manis itu Pulalah aku kan jadi merahnya Bahkan pada langit maha luas Awan gemawan titipkan semburat cintanya Ibnu Nafisah Kendari, 22 November 2015

HANYA BERPANDANGAN

Sinar senja cium netraku Mata berpagut mesra; indah Serupa lembayung rindu Pun bayang ukir saresmi Atma ucap sejuta hasrat Langit gejolak  membumi Aksara-akal bergumul dahsyat Tak kuasa palingkan sukma Lalu darah berdesir isyarat Kau berkedip alam rubuh jadi puing Tinggallah siluet kalap Hilang sadar terperangkap Kita berpandang penuh diam Tenggelam daku di samudera Hanyut rasa hati terdalam Ibnu Nafisah Kendari, 21 November 2015 ------------------------ Catatan Kaki : Saresmi : Setubuh Atma : jiwa

I AM TOLAKINESE

PATIDUSA BIAS ************** Kendari Aku mencintaimu Sepanjang teluk mengitari Lima lingkar kota menjamu Gunung lipir baris angkasa Bak tembok raksasa Berdiri tugu Bersatu Oheo Tari lulo Bergoyang senikmat sinonggi Berparas manis Anawai Ngguluri Aku pula sang anakia Berdiri layaknya pria Genggam negeri Sendiri Anandonia Gagah rupawan Sambut wisata dunia Luale tersenyum indah menawan Aku bangga jadi tolaki Seperti sejatinya lelaki Berpegang kata Kalosara Ibnu Nafisah Kendari, 21 November 2015 ------------------------ Catatan Kaki : Lima lingkar kota : 1. Lingkar Mandonga 2. Lingkar Poasia (tank) 3. Lingkar Kambu 4. Lingkar Lepo-Lepo (pesawat) 5. Lingkar Baruga (Simpang siur) Tugu : Tugu Persatuan Oheo-Anawai Ngguluri : Cerita rakyat Lulo (Malulo) : Tarian persahabatan Sinonggi : Kuliner daerah Anakia : Bangsawan Anandonia : Pemuda (Abang) Luale : Pemudi (None) Tolaki : Suku di Kendari Kalosara : Lambang pemersatu dan perdamaian yang sangat sakral d

ZAHIRNYA SEKUNTUM BUNGA

PATIDUSA BIAS ************** IzMha Setanggi puspa Senyum merah mekar Kelopak nan indah begar Hiasi taman bak permata Ditiup angin merona Tari menawan Rupawan Bunga Kembang berkah Ia pula himanga Hadiah sang terkasih rekah Wahai puspita nan jelita Parasmu elok tertata Takdir derita Melata Semangat Kibar mewangi Tak jua rengat Meski pupus tetap berpelangi Kini engkau lahir kembali Zahir hari ini Semoga ceria Bahagia Ibnu Nafisah Kendari, 20 November 2015 ----------------------- Catatan Kaki : Zahir : Lahir Himanga : Balasan terhadap pemberian mas kawin pada adat Halmahera Melata : Akar, pangkal Rengat : Retak bergaris hampir pecah Setanggi : Kemenyan berbau wangi

RIBANG

(Rindu yang membuncah) Inilah aku yang sekarang Bercoreng nista dunia Kepala sujud pada-Mu Namun hati dan pikiran entah ke mana Cinta- Ke mana cinta kemarin Yang datang menggebu memburu belai-Mu Menyembah layaknya ilalang inginkan hujan Rindu- Bagai mata pedang nancap di jiwa termalu Inikah rasanya jauh dari Sang Khalik Gejolak resah bercabang kesah Datang silih berganti bak ribuan anak panah berkejaran Ya Allah ... Tuhan sesembahanku Beri aku setitik hidayah Hingga wajah hati berpaling pada-Mu LAGI- Seperti janji yang pernah terbersit saat keakuanku meminta hidup di dunia-Mu Hidup-matiku miliki Engkau Ya Rabb ... Ibnu Nafisah Kendari, 20 November 2015 ------------------------ Catatan Kaki : Ribang : Rindu

KELUARGA

(Bersama dalam suka dan duka) Kita adalah sepasang. Kau asap dan aku api yang membakar. Lalu abu beterbangan di pangkuanmu. Dan kau berkata, "jangan menangis Nak, air susu ibu sudah kering biar kita tunggu hujan saja." Ketika hujan datang. Kita adalah sepasang. Kau daun dan aku batang. Kemudian tunas keluar dari sela-sela hijaumu. Lagi-lagi kau berkata, "tidurlah Nak, esok adalah matahari pertama. Ia akan menghangati seluruh hidupmu." Ibnu Nafisah Kendari, 30 Oktober 2015

INGIN

Ingin membisikkan hujan pada telingamu yang indah. Agar kau bermimpi dengan senyuman tentang cinta. Antara tanah dan air menjadikannya lembab. Ingin mengecupkan kata hijau pada bibirmu yang manja. Agar kelak kau terbangun di jiwa yang segar tentang kita. Antara kau dan aku terlelap menjadikannya satu. Ibnu Nafisah Kendari, 30 Oktober 2015

BULAN OKTOBER

Bulan Oktober Tak ada yang lebih panjang dari kemarau bulan Oktober. Ditariknya mentari dari Timur ke Barat. Tak ada yang lebih pandai dari tanah bulan Oktober. Disembunyikan rindu dalam tandus hasratnya. Dan tak ada yang lebih berani dari pohon bulan Oktober. Dibiarkan daun jatuh dan kering agar cintanya sampai hingga musim berganti. Ibnu Nafisah Kendari, 30 Oktober 2015

SEKETIKA SEBELUM HUJAN

Baru kali ini aku tersenyum melihat mendung. Wajahmu sebaris awan putih bercampur kelabu. Rasa teduh yang lama kita rindukan. Baru kali ini bibirmu bersemu manis. Deretan pepohonan menanti cinta yang hampir terkatakan. Namun tak jua terucapkan. Mungkin menunggu gerimis di jalan berdebu. Baru kali ini rasa semakin tak tertahankan. Ingin kupeluk punggung gunung dan meneriakkan sekencang, sebesar rindu yang termiliki. Baru kali ini terasa menyenangkan. Ketika kau akan berbalik memeluk udara hangat jiwaku. Dan selama itu aku pun terus menunggu. Riak-riak air mata bahagia dari paras yang syahdu. Ibnu Nafisah Kendari, 31 Oktober 2015

DI MASJID

PUISI HAIKU ------------ Hati berdoa Tes_ air mata netes Jiwa kemarau Ibnu Nafisah Kendari, 02 November 2015

TERSELAP

PATIDUSA ORIGINAL ******************* Desir darah aliri sukma Jiwa tangis gering Sebongkah hampa Kering Debu Mungkin abu Setitik zahra belaka Semesta luas tak hingga Siapa sangka hanya buih Bergerak di laut Maha puih Paut Roh Sekeping jasad Duniaku hina, oh ... Apa terkejar di jagad ? Bukankah hidup puja Ia Puji dalam dada Sembah Dia Saja Daku Lalu lupa Terlena fana liku Sesat pun sesak terasa Hanya air mata sesal Kian usik kesal Pada diri Peri Ibnu Nafisah Kendari, 02 November 2015 ------------------------ Catatan Kaki : Terselap : Tiba-tiba terlupa akan dirinya, tidak sadar Gering : Sakit Peri : Hal, sifat, keadaan Puih : Lapuk atau buruk (tentang kayu dan sebagainya)

MAMA

#RA_Event_Puisi_Wanita Judul : MAMA (Sang wanita sejati) Karya : Ibnu Nafisah Aku besar di dada ibu Lahir dari rahim kelabu Seperti bayi manja menyusu Bergelantungan segala rindu Tak bosan panjatkan doa Segala hasrat juga cinta Bunda, nama seluruh dewi Beredar dengan sayap surgawi Terpeluk erat di hati Pun kenangan hidup sejati Kendari, 05 November 2015 ----------------------- BIODATA PENULIS    Menjadi seorang penulis adalah cita-cita dari seorang Ibnu Nafisah. Pria yang hobi membaca dan menulis ini lahir di Kendari, 11 Desember 1981. Lelaki yang pernah mengecap dunia kemahasiswaan ini akhirnya lulus pada tahun 2006 di fakultas Ekonomi. Dan sekarang memilih menetap pada akun blog d4nosaurus@gmail.com.

UMI

Kaulah punggung gunung jiwa Tempat tumbuh rumput asa Bersemayam pula pepohonan cinta Meski daku menganak-sungai Lembahmu pun terjurai Ketika kerontang melanda ngarai Dibelai pula angin seindah jemari Lahirkan semangat hidup mandiri Hingga akar kuat berdiri Engkau terbitkan matahari di hati Bendung desau hujan yang merintangi Dalam akal pikiran beri pelangi Ibu, engakulah langit hidup Tanah segala mahluk Juga air peneduh Dekaplah sepi batangku Cium pula pucuk-pucuk dedaun Hingga damai resah-rindu Ibnu Nafisah Kendari, 05 November 2015 ------------------------

TULANG RUSUK

Ku pilih kau sebagai tulang rusuk Kala itu segenap hasrat merasuk Saat tersemat di rongga dada Baru tersadar bengkok terasa Darah berdesir meracau Sesak mendera kacau Seperti kaca lemah Dipaksa kan pecah Serupa jiwa goyah Sekali hentak patah Hingga larut doa kudus Menunggu hatimu lurus Ibnu Nafisah Kendari, 06 November 2015

PANTUN BUJANGAN

PATIDUSA CEMARA ***************** Sriti Terbang tinggi Senjakala balik lagi Berburu mangsa di kali Lelaki Hidup menyendiri Berkawan rindu sepi Menari bergoyang pun sendiri Bunga Mekar mewangi Disiram air sebelanga Segar subur seindah pelangi Wanita Senyum sembunyi Rindu tak mengapa Asal jangan tinggalkan sunyi Gunung Sungai mengalir Pepohon rimbun senandung Menyanyikan lagu alam semilir Bung Minum air Tak jua kembung Dunia pria layaknya penyair Ibnu Nafisah Kendari, 06 November 2015

PANTUN MUDA-MUDI

PATIDUSA CEMARA ***************** Kolaborasi : Chelsy Ohchecy dan Ibnu Nafisah Matahari Langit rembulan Nona manis menyendiri Siapa engkau termenung gerangan Kembang Semerbak harumnya Setaman mahkota jingga Abang rupawan kenapa bertanya? Buaya Kumbang laba-laba Jika sendiri berbahaya Olehnya itu Abang bertanya Manis-manis Gula jawa Abang jangan menggoda Eneng hanya duduk saja Cendawan Benalu lumut Wahai eneng perawan Hati-hati kesambet setan imut Batik Corak berakar Serabut tidaklah tunggal Muka imut rayuan pandai Madura-Kendari, 06 November 2015

ADA APA DENGANKU

Ada apa denganku Berlari tanpa pernah sampai Kejar tak jua gapai Sejatinya Engkau sedekat nadi leher Sealiran urat darah Sedetak jantung gelorah Ada apa denganku Menyembah ketika hati cedera Penuh luka dan duka Sementara bayang-Mu Peluk erat tubuh ini Merasuk hingga jiwa kini Ada apa ... Ada apa denganku Tak bisa membaca cinta Lalu terlupa dalam dunia hina Napas Kau tiupkan Raga sempurnakan Masih jua jadi manusia bodoh Ibnu Nafisah Kendari, 07 November 2015

SEBUAH KADO BUAT

SEBUAH KADO BUAT ..., ( Mba Nina faisal) Ada bunga yang baru mekar Wanginya beraroma segar Juga burung bersahutan Di tingkap ranting pepohonan Dialah kembang yang berwarna Juga suara mencicit pada daunnya Serupa kupu-kupu terbang Memetik angkasa melayang Senyum alam begitu menggoda Berbisik mesra dalam jiwa Oh, inikah hadiah itu ... Engkau janjikan pada hambamu Sebuah nikmat hidup Tak kunjung redup Kemegahan dunia Tepat di hari lahir anak manusia Ibnu Nafisah Kendari, 08 November 2015

CIUMAN MAHA KASIH

Di langit suara-Mu mesra Bisikan nyanyian asmara Belai sayang Kekasih Bagi jiwa kinasih Pada pucuk pohon yang harum Pula tiupkan buah ranum Hanya untuk perindu hati Persembahan sejati Senjakala merona Malam bertabur doa Jua kepada tercinta Tanpa batas semesta Inikah  rasa itu? Gejolak dalam dada Semakin indah di kalbu Bergelora bak ciuman pertama Ibnu Nafisah Kendari, 08 November 2015 ------------------------ Catatan Kaki : Kinasih: Sangat dikasihi

HADIAH BUAT BUNDA

Hari ini tak pernah salah Kemarin dan besok sama saja Namun hari ini berkah Tepat satu waktu di senjakala Bertahun-tahun lalu Berpuluh-puluh  bulan dahulu Telah mekar setangkai bunga Dengan kelopak cantik menganga Wanginya masih tersimpan di dada Cintanya pun tersemat di jiwa Ia satu terbaik yang pernah ada Dan kini puspa itu kembali rekah Seperti awal kemunculannya Binar warna sungguh indah Bunda, selamat hari kelahiran Tepat di hari ini Kembang itu bermunculan Dan membagi aromanya lagi Engakulah rangkaian puspita Dalam khitbah seekor kumbang Kan kupersembahkan ikebana Sebagai kado cinta pada sang Inang Sebuah hadiah di hari ini Sebentuk rasa hati Seikat kata padamu "Bunda, I Luv U" Ibnu Nafisah Kendari, 08 November 2015

BERANGSANG

Amarah. Seperti api membakar. Akulah kayu. Berderak. Berasap. Mengeluarkan hawa panas yang akan memuak seisi udara. Cinta? Itu hal lain. Benar kata orang. Benci adalah kata di antaranya. Ada jiwa cemburu, memburu dalam dendam. Ketika ilalang kering membara. Musim kemaraulah penyebabnya. Dan kau menyulut lara belaka. Buat kita jadi debu dan abu semata. Ibnu Nafisah Kendari, 08 November 2015

BILAKAH TERULANG

Sobat Langit biru Masih sama berjabat Kau dan aku mengharu-biru Tangan Bahkan hati Seperti dua angan Kejar saling sapa, menanti Kawan Ingatlah hari Di mana awan- Juga pelangi pun menari Jemari Seperti mentari bergandeng saling dekap Bersuka penuh canda menyinari Bila ... Waktu mengulang Kita cipta masa Rasa rindu kan jelang Ibnu Nafisah Kendari, 08 November 2015

CELOTEHKU

PATIDUSA CEMARA **************** Ribang Pada bulan Setali tiga uang Rindu akan Patidusa, ajengan Candu Berbotol keajekan Seperti kangen randu Pun impikan air hujan Ganal Rasa padamu Seperti rendy kukenal Pukau mata pembaca tetamu Seumpama Mba khayla Tegas layaknya bara Bakar semangat pecinta kata Punakawan Mas usang Selalu hadir menawan Bentuk jiwa aksara juang Ibnu Bukan siapa-siapa Tanpa mereka, patidusa Aku mah apa, atu Ibnu Nafisah Kendari, 09 November 2015 ------------------------ Catatan Kaki : Ribang : Rindu Ajek : Tetap teratur, tidak berubah Ajengan : Orang terkemuka Punakawan : Pelayan atau pengawal raja Ganal : Seperti

PERSAHABATAN II

Bulan memiliki bintang. Angkasa kalam tempat jiwa membentang. Seranum taman seribu keheningan. Menyatu alam. Kesyahduhan. Dan kamu? Masih ada aku. Meski kita tak seindah purnama dengan sinarnya. Namun hati kita seirama senja empunya rona. Seindah sore karam. Secantik malam redam. Tangan kita berjabat. Genggam jagad. Bibir berucap santun. Selayak gelap sapa terang runtun. Jasad tak pernah abadi. Seumpama dunia bernadi. Tapi persahabatan selalu sejati. Ganal mentari akan pagi. Sobat. Kaulah kerabat. Mendamaikan laku dan pikiran. Menentramkan raga dan pandangan. Lalu terkulai di bawah langit pekan. Hitung gemintang berserakan. Ibnu Nafisah Kendari, 09 November 2015 ------------------------ Catatan Kaki : Ganal : Seperti Kalam : Perkataan, kata (terutama bagi Allah)

DEFILE

PATIDUSA CEMARA ***************** Langkah Berderap serempak Seragam lekat merekah Kaki laju laras rampak Bedil Dekap dada Tegap nan kamil Hentak udara gegap gempita Baret Melintang kiri Wajah segagah kadet Baris serupa awan pelangi Parade Pasukan epik Seindah pawai brigade Resimen bergerak nan apik Langit Gemuruh bahana Bumi beriak sengit Tanah diterjang angkatan bersenjata Ibnu Nafisah Kendari, 11 November 2015 ------------------------ Catatan Kaki : Defile : Perarakan barisan, parade Kamil : Sempurna Kadet : Taruna Brigade : Satuan berseragam dengan tugas khusus Resimen : Pasukan tentara yang terdiri atas beberapa batalion yang dikepalai oleh perwira menengah. Bahana : Bunyi, suara, berkumandang, gema

SENANDUNG ANAK JALANAN

#Event_Kolaborasi_Tarpen2 Tema  : Anak Jalanan Judul  : Senandung Anak Jalanan Karya : Senja Barat dan Ibnu Nafisah Kami adalah gumpalan asap di atas jalanan Mengais rezeki dalam ruang dan gerak di keramaian Bergelut debu campur keringat Diterpa terik kepapaan Tak ada keluh pada kesah Walau hati meringis Kami pula nyanyian nelangsa Kumpulan tangis dari jerit nestapa Tawar gelisah sodorkan tangan menadah Suguhkan karya melalui kata dan nada Sungguh ini bukan kehendak jiwa muda kami Berjibaku dengan kerasnya hidup Demi sesuap nasi dan segunung harapan Bukan tentang indahnya sekolah pun taman bermain Lebih dari itu, kami kenyang akan pengalaman pahit Sakit, luka jua keadaan menghimpit Banten-Kendari, 10 November 2015

TERATAI

(Sebuah cinta yang kusematkan) Dari lumpur Mahkota mekar siap tempur Lahir dari rawa Korbankan darah dan jiwa Wahai padma Kembang suci bela bangsa Tancap kuat mengakar Merasuk sukma semangat membakar Wangi lotus merekah Bangkit gelora muda pantang menyerah Demi keharuman seroja Penjaga sejati abdi negara Ibnu Nafisah Kendari, 13 November 2015

ALMALIK

Tuhan Raga ini hanya setetes mani Awalnya Roh ini hanya sebayang noktah Jadinya Kau beri setitik tanah Akhirnya Tuhan Dunia pula terminal Tubuh bak debu Terbangan dalam roda fana Tuhan Aku tahu takdirku Hidup- Memuja-muji Engkau belaka Namun Kaki kadang terseok; Dosa Akal tak sampai; Jua Tuhan Ampuni jiwa kotor ini Kuatkan Iman yang mudah goyah kini Hapuskan Lumpur dalam rohani Biarkan Tangan basuh kasih-Mu Tuhan Bawa aku bersama-Mu Ibnu Nafisah Kendari, 19 November 2015

SIBAK

(Kata yang kau pilih) Kita seperti malam Selalu  ada bulan-bintang namun tak jua menyatu Beredar di tempat tak terduga lalu karam Pun siang Mencari teduh pada ruang lain Salah satu diantara kita jadi layang yang lain bayang Dan mereka takkan pernah sampai pada sama satu subuh yang senja Kan jadi langit menyendiri jauh sepi dan sendiri Ibnu Nafisah Kendari, 19 November 2015

KATA HATI MATI RASA

PATIDUSA CEMARA ***************** Kata Adalah kisah Terukir hilang cinta Atau karang  diterjang resah Hati ... Apatah ini Tiada gelombang lagi Ingin (melaut) kau pergi Mati Asmara henti Tulang berlayar putih Inilah  riak berai kasih Rasa ... Apatah kita Sesal pantai lahir Ah, kapalku hanyut berakhir Ibnu Nafisah Kendari, 18 November 2015

ASKAR TAK DIKENAL

PATIDUSA TANGGA ***************** Apa yang harus dibangga Setetes darah keringat Seonggok raga Semangat Seuntai teratai lumpur penat Tak dikenal gerombong Rasa hebat Sombong Bagai bintang langit gelap Indah tak dekap Penuh sinar Pendar Siapa mereka selalu benci Siapa kita menyanyangi Tak suci Sudi Biarlah kami begini adanya Menjaga tentram dunia Buat sentosa Bahagia Meski hujat rasa salah Didorong pada diri Terima risalah Sendiri Ibnu Nafisah Kendari, 19 November 2015 ------------------------ Catatan Kaki : Askar : Pasukan Gerombong : Pasukan

KEMBANG YANG LAYU

Bunga yang sempat kupetik, kini terkulai layu di jambangan Wanginya telah lama hilang Udara buai jatuh persatu daunnya Kelopak merah perlahan hitam Ranting tak setegar kemarin Ingin kesegaran Tapi sayang buang segala kenang Ia adalah puspa awal dan akhir hidupku Tinggallah diri masa lalu Kala ingin pergi tapi tak jua pergi Aku tunggu seseorang lempar jauh dari mata Hingga pecah dinding Tapi satu pintaku Jangan sampai jiwa ini melihat Jika itu terjadi Aku tak tahu apakah harus senang atau sedih karenanya Ibnu Nafisah Kendari, 17 November 2015

MUNAJAT GELAP

Di remang Pada dinding beku Hamparan tidur berbunga mimpi Kau kecup kening Ceritakan kisah serupa doa Hingga malam berlayar Dari luar sadar Dikau katakan, "tidurlah sayangku" Kita berpeluk Lama- Selimut kasih masih berpagut Lalu gelap enggan pergi Dan tak rela dijemput pagi Namun Engkau telah jauh Mengendap dalam tabir dada Ibnu Nafisah Kendari, 17 November 2015

MAHERAT

(Jika raga dan roh sudah tak sudi) Akhirnya aku tak ingin ucap selamat tinggal. Hanya lalu tanpa kata di saat dirimu tertidur. Seperti daun kering di ranting kemudian tanggal. Seumpama burung kecil di sarang pergi dan kabur. Jadi angin diam-diam telusuk-raung sesela ruang. Ia hendak pergi tanpa kata di ujung lorong. Langkah semati mungkin berjuang. Beringsut dari senyap ke sepi yang melolong. Bila mungkin cekik suara sendiri. Hingga bisu geletak bungkam. Agar dia tak tahu ke mana arah udara gegas lari. Lahan sangat perlahan waktu hilang dan karam. Ibnu Nafisah Kendari, 18 November 2015 ----------------------- Catatan Kaki : Maherat : Pergi (melarikan diri), hilang

BAHAGIA itu SEDERHANA

Bahagia yang kuinginkan cukup sederhana Serupa sajak hujan pada tanah merubah tandus jadi tunas Bahagia yang kuinginkan sangat sederhana Layaknya syair embun pada bunga dijilat mentari pagi jadi mekar Bahagia yang kupinta seharusnya sederhana Seumpama nyanyian sang kekasih rindukan tunas cinta di bibir merah yang mekar Ibnu Nafisah Kendari, 17 November 2015

HADIAH BUAT BUNDA

Hari ini tak pernah salah Kemarin dan besok sama saja Namun hari ini berkah Tepat satu waktu di senja kala Bertahun-tahun lalu Berpuluh-puluh  bulan dahulu Telah mekar setangkai bunga Dengan kelopak cantik menganga Wanginya masih tersimpan di dada Cintanya pun tersemat di jiwa Ia satu terbaik yang pernah ada Dan kini puspa itu kembali rekah Seperti awal kemunculannya Binar warna sungguh indah Bunda, selamat hari kelahiran Tepat di hari ini Kembang itu bermunculan Dan membagi aromanya lagi Engakulah rangkaian puspita Dalam khitbah seekor kumbang Kan kupersembahkan ikebana Sebagai kado cinta pada sang Inang Sebuah hadiah di hari ini Sebentuk rasa hati Seikat kata padamu "Bunda, I Luv U" Ibnu Nafisah Kendari, 08 November 2015

SIREP

PATIDUSA BIAS ************** (Saat senyap menyapa, malam bisikan mantra tidur) Rumah Jendela pintu Resah saling jamah Pun kaki beranjak berlalu Di teras suara hilang Jejak rumput sirna Otak bayang Maya Suara Raung gema Sesak napas hampa Ruang dua kali tiga Tubuh gulat lantai putih Guling ranjang letih Teriak nyenyat Kenyat Diri Tiada petandang Cium bibir sendiri Kamar berulah serupa radang Ibnu Nafisah Kendari, 29 Oktober 2015 ---------------------- Catatan Kaki : Nyenyat: Sunyi senyap, hening Kenyat: Berdenyut Sirep: Sunyi senyap

MANTRA CINTA

Kau adalah hantu Dipikiran malam dingin Datang tiup udara beku Pulalah setan Bisikan kata rindu Di dada kelu Rasa takut kehilangan Jijik ditinggal pergi Hampa sepi berkepanjangan Wajah manis Gelantungan layaknya jelaga Akulah laba-laba rumah tua Rangkai cinta Sulam harap Pada tembok ratap Dan tiap sesajiku Terucap mantra "Aku cinta padamu" Ibnu Nafisah Kendari, 29 Oktober 2015

28 Oktober

PATIDUSA BIAS ************** Langit Merah putih Lambai kepak jengit Robek udara tisik kantih Di bumi pemuda-pemudi belia Tanam sumpah darah Satu tanah Indonesia Mayapada Gejolak muda Gema padu nusantara Rekat seluruh jiwa  bangsa Ikat bahasa aksara negeri Dari sabang merauke Jati diri Komunike Bendera Kian kibar Tantang segala dera Demi ibu pertiwi akbar Ibnu Nafisah Kendari, 28 Oktober 2015 ---------------------- Catatan Kaki : Jengit : Bergerak-gerak turun naik atau maju mundur. Kantih : Benang tenun Komunike : Pengumuman atau pemberitahuan resmi dari pemerintah

Jika

#Event_Motivasi_PSM Jika memang harus Hidup Hiduplah seperti ilalang Meski tanah tandus tak jua putus harapan Jika memang harus Mati Matilah seperti kupu-kupu Meski singkat namun cukup warnai keindahan dunia Ibnu Nafisah Kendari, 28 Oktober 2015

SEJATINYA

Sejatinya adalah tanah yang pandai menyimpan duka atas segala air mata sang pepohon. Menimbun daun dalam belainya yang gugur oleh kecewa. Disandarkannya akar resah dipelukannya penuh hangat. Sejatinya adalah api yang membakar amarah di puncak-puncak kecemburuan sang pengunungan. Akan rindu hujan yang tak kunjung tersampaikan pada ilalang. Hingga beribu kata tanpa maaf terangkai di langit-langit kabut berasap. Sejatinya adalah angin yang pandai memainkan drama ketakutan dan kesakitan lalu membunuh keduanya dalam derita pada bencana yang menjadi buah bibir umat manusia. Sejatinya adalah bumi yang bijak bersemayam dalam doa-doa terdalam. Memanjatkan kidung kedamaian melalui laut yang maha luas serta langit yang maha jembar. Tak pernah henti berharap melalui tangan-tangan tak kasat mata hingga menjadikannya ibu bagi seluruh cinta di kehidupan. Ibnu Nafisah Kendari, 24 Oktober 2015

SABAR

(Seharusnya itu yang kulakukan pada cintaku) Memang kiranya harus lebih sabar menanti hujan, layaknya jati meranggas menunggu belaian air dari sesela jemari lembutnya. Memang perlu lebih sabar menanti hati berubah, seperti kapuk merandu buahkan asa ditiap ranting cintanya. Ibnu Nafisah Kendari, 24 Oktober 2015

HARUSKAH?

Haruskah aku menjadi tanah; menahan jerit panas di atas debu terkepul. Sementara kerongkongan kering tandus membisikkan namamu; air. Haruskah aku menjadi ranggas; menanti kepastian awan menggugurkan tangis cintanya. Sementara hati jerit mendambakan peluk-cium-belaimu; hujan. Ibnu Nafisah Kendari, 24 Oktober 2015

CINTA MUSIM PANAS

Telah kugugurkan daun hijau serta kata-kata rayuan dari tangkai bibirku yang gersang. Demi melihat senyum di wajah manismu wahai dara kemarau. Pun telah terperas keringat jua rindu dari lembah-lembah mata air yang kering di dada lapang. Hanya untuk senandung asa yang kian runtuh, wahai dewi kekeringan. Namun kita sama termangu dalam diam. Bukan karna ini berjalan berkepanjangan. Tapi, darah sudah menguap meninggalkan aliran di nadi dan urat hidupnya. Sepi menandus-tandaskan ingauan tentang cerita cinta kita yang hampir kandas wahai dinda kerontang. Ibnu Nafisah Kendari, 24 Oktober 2015

KATURANGGAN

PATIDUSA CEMARA ***************** Bongoh Seperti rembulan Bulat penuh kokoh Puas rasa luas pandangan Piongeh Satu asmara Kekasih merebah leyeh Puspita nan mewangi semata Ndumenake Seumpama aubade Memuaskan telinga pagi Hingga embun kejaran entropi Sumeh Menggoda sepian Asmaranada pun cengeh Seindah tarian semerdu nyanyian Merakati Menarik hati Layaknya sekuntum mawar Putik bibir merah tertawar Jatmika Sabar membelam Bintang bersinar jiwa Puspa seliar secantik malam Susila Semerbak bunga Penuh keikhlasan pasrah Pada embun mengecup gairah Kewes Hangatkan rasa Kembang terangkai luwes Pun maknai aksara renjana Ibnu Nafisah Kendari, 25 Oktober 2015 ********************** Catatan Kaki : Katuranggan : Penilaian tentang wanita Entropi : Keseimbangan termodinamis mengenai perubahan energi Leyeh : Berbaring untuk melepaskan lelah Aubade : Nyanyian cinta pada pagi hari Cengeh : Manja, centil, genit Renjana : Rasa hati yang kuat (rindu, cinta kasih, bir

TAMAN PAHLAWAN

#PUISI_PATIDUSA_BIAS Bedil Mimis lengkap Semangat pun andil Terjejak pada musim merayap Lentum bahana pekak sukma Menakuti seisi mayapada Suaramu hilang Menjalang Peluru ... Tembus kepala Kau tertawa menderu Menyambut akhir, maut melanda Satu-satu jungkal jatuh gugur Hujan darah melebur Medan gempur Tempur Pesara Kini berada Hanya diam berdiri Kenang kedigdayaan pahlawan negeri *** Catatan Kaki : Mimis : Peluru (senjata api) Lentum : Tiruan bunyi meriam Bahana : Gema / suara nyaring Menjalang : Keliaran / kebuasan Pesara : Makam Kedigdayaan : Perihal kuat dan sakti Ibnu Nafisah Kendari, 08 Oktober 2015m

PERANG

PATIDUSA BIAS *************** Lembah Senjata rebah Lereng bukit terjal Pucuk muda gairah jajal Baris laras lipir Penanggungan Sembunyi balik semak Tempuhi pegunungan Tanjak Baret Sebiru dongker Bedil sanding bayonet Penuhi ruang dalam bungker Nanti lawan juga musuh Siap sedia rebak Taksir perusuh Tembak Ilalang Mata nyalang Tembus gelap bayang Sinar malam liar jalang Tunggu jerit darah kucur Saat kepala hancur Satu lebur Tempur Ibnu Nafisah Kendari, 16 Oktober 2015 ---------------------- Catatan Kaki: Penanggungan : Nama gunung di Jatim Biru Dongker : Warna baret Brimob

RESIMEN PELOPOR

(Hantu yang bersenyawa dengan hutan) Jika suatu saat kau tersesat dalam hutan Tak ada jalan keluar Segalanya hanya semak belukar Mungkin ketika itu tanpa sengaja Sepasang mata menangkup bayang Baris pasukan bergerilya Senjata penuh amunisi Penyamaran layaknya setan Lengkap dengan ransel penyaruan Tak perlu gentar Juga gugup dalam sunyi Bahkan mencoba sembunyi Mereka hanyalah ilalang Ranting dan juga dahan bergoyang Tertiup angin sepoi Jejak laras pada tanah basah Daun muda yang terkoyak Dan suara derap langkah Itupula penghuni rimba Atau bahkan nyanyian burung Karena riak air pada sungai merana Akhirnya terdengar teriakan senjata Tak perlu risau Mereka pun angin mendesau Atau mungkin saja hantu Melipir bukit merayap pepohonan Demi menjaga keamanan lelapmu *** Ibnu Nafisah Kendari, 10 Oktober 2015 Catatan Kaki: Mendesau : Tiruan bunyi dedaunan yang tertimpa hujan lebat Penyaruan : Penyamaran Resimen Pelopor : Pasukan elit Brimob

VETERAN

#LOMBA_PATIDUSA_01 Judul     :  VETERAN(Semangat yang tak pernah pudar) Tema     :  Perjuangan Bangsa Karya    : Ibnu Nafisah Format : Patidusa Bias Darah Semangat memerah Tubuh keringat bersimbah Mata bedil siap mengarah Hujan peluru bagai air Menerjang raga mencair Tercipta syair Mengalir Perang! Kita serang Angkat senjata garang Pedang, bambu, bahkan parang Inilah hari kita tunggu Tumpas hempaskan belenggu Padamkan rindu Menggebu Sekarang ... Diri terpaku Sangkala mengikis tulang Terkenang terbawa mimpi selalu Serdadu yang gagah berani Kini tinggal nyali Berlalu pergi Sunyi *** Catatan Kaki: Veteran : Orang yang secara aktif pernah ikut berperang dalam membela negara. Sangkala : Waktu Ibnu Nafisah Kendari, 09 Oktober 2015

ASAP KEMATIAN

Hari itu air mata tak lagi berlinang. Seperti mata air yang kering di dasar lembah. Luka hati semakin bergelimang. Sepilu jeritan sungai kerontang di bebatuan merebah. Kaki mungil ini terus saja menangis. Mencari ibunya yang terbakar di atas gunung. Serupa pohon, rumahnya membara meringis. Dan ia hanya dapati asap dipunggung ayahnya yang semakin menggulung. Hari itu air mata tak cukup memadamkan. Kabut berputar terhirup sesak mengerikan. Langkah terhenti pada satu waktu kematian. Hingga tangan tak lagi bergerak sekadar menutup hidung di liang kuburan. Bangkai anak-anak daun menjadi abu. Dibelai manja semesra tangan sang bunda dalam tanah gambut. Sembari mendengarkan dongeng sang buya tentang pangeran debu. Beristana tabun-menabun di negeri awan bergelayut. Sampai ia tertidur pulas hari itu. Dan air matanya tetap kering. Bibirnya membiru. Dukanya dari jauh begitu menyayat nyaring. Ibnu Nafisah Kendari, 17 Oktober 2015 ---------------------- Catatan Kaki: Tabun-menabun : Membubu

LANTUN KERING

Daun kering yang beterbangan adalah nyanyian kemarau. Ditabunya gendang angin pada giring-giring. Agar hujan menari di atas tanah rantau. Dan pepohonan lafalkan notasi syair ranting kering. Demi untukmu sang dewi air yang bersolek di atas awan. Tengoklah sebentar di bumi gersang. Tempat panas dan hangat berkawan. Tanah serta debu bercampur kasang. Apakah langit sudah murka pada lagu kami? Merinai kebakaran juga penebang liar? Penambangan bebas merajalela tanpa henti. Lalu senandung rindu akan hijaunya dunia tak lagi tersiar. Kemana lagi harus menembang. Menyerukan hati yang bimbang. Akan negeri kerontang kian mengambang. Terpeluk getun rasa gelebah semakin mengembang. Kiranya Tuan mau memberi angin. Sepercik sepoi belaian nyiur pada jiwa dahaga. Atau sekadar embun penyejuk sejenak rasa dingin. Tenangkan nurani, teruslah menari dan bernyanyi meski diam dalam telaga. Ibnu Nafisah Kendari, 18 Oktober 2015 ---------------------- Catatan Kaki: Merinai : Bernyanyi kecil Getun : Kec

PANEN

(Menanam Keserakahan, Memanen Kesengsaraan) Tanah terpijak; debu Beterbangan di langit biru Dahaga menagih; air Menguap bah awaair Udara berbisik; panas Pepohon tumbang meranggas Sekumpulan bangkai; mati Di jiwa dan hati Anak-anak menimba; lumpur Air mata tercampur Ke mana gunung; gundul Umbul mengalir mandul Hutan tertambang; liar Tandus Keliar Inikah buah dari keserakahan; dosa Tersemai seidah puisi tertuai sebebas prosa Ibnu Nafisah Kendari, 18 Oktober 2015 ---------------------- Catatan Kaki : Awaair : Penghilang air Umbul : Mata air Keliar : Berjalan kemana-mana, bertualang

SANG KHADAM

SANG KHADAM ------------ Ibnu Nafisah Di malam bulan kemarau Langit melantur dan meracau Sebuah piala berisi anggur Tercecap bibir sang penganggur Di tengah-tengah hari Lidahnya melafalkan hati Langkahnya sempoyongan Kian mabok keranjingan Ketika jatuh tersungkur Bangun berdiri duduk melantur Berkasih-kasihan pada Sang Kekasih Yang diajaknya tembok pengasih Ia hanyalah musafir di bumi ini Berkelana tanpa batas hingga mati Hijrah dari debu ke debu Hingga terpanggil menjadi abu Kendari, 18 Oktober 2015 ____________________ Catatan Kaki : Khadam : Pelayan, orang gajian

INGIN

Tak ingin cinta Seperti rindu kemarau pada hujan; Meranggas semata Tak ingin cinta Seperti amarah ombak pada karang; Lubang belaka Tak ingin cinta Seperti cemburu angin pada langit; Siut melanda Dan tak ingin cinta Seperti dusta rembulan pada bumi; Topeng sahaja Kuingin cinta bahagia Seperti embun; Menyejukkan damai pepohonan nan rimbun Ibnu Nafisah Kendari, 19 Oktober 2015

CINTAILAH

Cintailah tanpa syarat: Seperti siang mencintai terang Dan menerima malam dengan gelap Demi senja dan subuh yang berkejaran di antara keduanya Cintailah sepenuh jiwa: Seumpama ilalang kepada tanah; Tancapkan akar sekuat-semampu Lalu beri subur, hidup juga harapan Namun Cintailah Dia: Ganal kayu pada api; rela terbakar jadi debu Demi kehangatan malam yang beku Pun batu pada air; sabar menanti Hingga cadas berongga meski perih Ibnu Nafisah Kendari, 20 Oktober 2015 ---------------------- Catatan Kaki: Ganal : Seperti

MISTERI FILANTROPI

PATIDUSA CEMARA ***************** Cinta Lari tangkap Hilang jauh menggenta Datang duga pergi terperangkap Rindu Bebas melagu Kibas sayang merandu Tiup sepoi hati mengganggu Sesal Jadi gasal Gilir rasa kesal Sepi tukar ribang ganjal Ibnu Nafisah Kendari, 20 Oktober 2015 ---------------------- Catatan Kaki : Gasal : Ganjil Menggenta : Menyerupai genta Filantropi : Cinta kasih antara sesama manusia Ribang : Rindu

PETANG

Lamat-lamat buya merona lantunkan kidung cinta Di senjakala ujung magrib Suaranya guruh sukma Terbias bunda langit merebah Letakkan wajah lembayung Antara hijab sang layung Anak-anak mambang kuning mengawang Lebarkan sajadah di cakrawala Barisan bintang meniti bumantara Dari jauh tunggang gunung bersahut Memanggil gelap dalam kibaran sarung Dan biarkan kepalanya larung Hingga cadar malam merapal doa Dari jauh sayup-sayup terdengar Bulan tersangkut di tawang merua Ibnu Nafisah Kendari, 21 Oktober 2015 ---------------------- Catatan Kaki : Layung : Warna kuning kemerah-merahan di langit pada saat matahari mulai terbenam Mambang Kuning : Layung Tunggang Gunung : Petang hari ketika matahari di atas punggung gunung Bumantara : Langit Tawang : Langit Larung : Hanyut Merua : Melebar, meluas Buya : Ayah

ENTAHLAH

ENTAHLAH Entah apa namanya Rasa gelitik ketika sinar mata kita bersahut Seumpama sungai deras arusnya, kitapun hanyut Entah apa namanya Dada sungkur menohok pabila hati tak lagi sejalan Seperti gunung menjulang namun tak jua kaki hendak dolan Entahlah, apa namanya Karena sampai kini gelora yang sama masih membuncah Sekata laut beriak mengombang-ambingkan perancah Entahlah, apa ... Engkau sajalah yang beri nama sesuai aliran darah, pikiran, dan jiwa Andai kata cinta adalah buih tentu sudah hilang di laut tak bernama Ibnu Nafisah Kendari, 21 Oktober 2015 ---------------------- Catatan Kaki: Membuncah : Mengeruhkan, menggelisahkan Perancah : Bambu atau kayu yang didirikan sebagai penopang Dolan : Pergi bersenang-senang

RIBANG

#PUISI_KOLABORASI RIBANG (Sebuah kata yang ingin tersampaikan) Karya : Ibnu Nafisah dan Senja Barat Awan berarak di wajah rindu Kangen akan senyum paras Wahai permainsuri pujaan hati Sungguh aku terbunuh sepi Lembayung sewarna sendu Alam sadar panggil namamu Seumpama kemarau resahkan hujan Dan siang risaukan malam Sementara sangkala serupa dahaga Berkejaran ingin terpuaskan Sungguh inikah kabut asmara? Setiap saat datang mendera Penuhi relung air telaga Rasa ini ... Lebih dingin dari gumpalan salju Oh ..., dewi sang rembulan Melambai indah bisikan kerinduan Lihatlah pantulan cinta pada jiwa yg bening Terpancar jelas walau hanya dalam hening belaka Inboxfb, 21 Oktober 2015 ---------------------- Catatan Kaki : Ribang : Rindu

CINTA TAK BERTUAN

#PUISI_KOLABORASI Judul : CINTA TAK BERTUAN Karya : Zee Qarisa dan Ibnu Nafisah Terkekang rantai rindu Terpanggang sekam cemburu Lidah api terbakar memburu Bahkan jarak semakin bisu Serupa gunung bertahta sendu Terdiam, gamang pada ragu Sungguh hati teriak namamu Keheningan pun terjawab gagu Rasa cinta diterpa badai kelu Kau serupa tembok yang tinggi Gejolak ini bagai partisi Semakin terkejar pun pergi Siapakah pemilik lara kini Berjalan sepi sendiri Tanpa sandaran jiwa di sisi Jakarta-Kendari, 23 Oktober 2015

RENJANA

(Sesuatu yang berbau cinta) Wanita yang kupuja berada di sana. Telunjuk itu menerawang saja. Selarik awan melintas di langit. Kepalamu bergoyang jengit*. Kerudungnya berkibar mengawang. Senyum itu seindah embun pagi. Pelan-pelan menguap di celah tawang**. Namun sejuk nian di pucuk hati. Wanita yang kunanti berada di sini. Setumpuk telapak membelai dada. Memandang engkau yang kini di hati. Dan hanya tertunduk malu penuh cinta. Catatan Kaki: *bergerak maju mundur **ruang antara langit dan bumi Ibnu Nafisah Kendari, 22 September 2015

GELEBAH

PUISI PATIDUSA *************** (Rasa yang datang seiring kepergian) Langit Udara pecah Saat kau bangkit Menelapakkan kaki dan kesah Debu membekas di lantai Menuliskan namamu; gelebah* Kupungut sehelai Gelisah Kirana** Adalah engkau Dari pohon merana Timbul tenggelam hati rancau*** Tengok cermin wajah sepi Tak ada jiwa Hilang seisi Sukma Puisi Berulang terbaca Bersuara serupa partisi Dan berlalu tanpa kata Catatan Kaki: *rindu, gelisah, sedih **sinar ***tidak tentram Ibnu Nafisah Kendari, 23 September 2015

LARAP*

(Ketika jodoh melariskan  rasa) Cintamu takkan puas. Saat kau beri terasa kurang. Bukannya berjiwa buas. Tapi, sungguh rindu seumpama murang**. Ketika meriam meledak. Gemuruh rasa di dada. Dunia hanya dirimu, yg lain memekak. Membahana sejuta tresna. Senyum itu kuanggap ancaman. Serangan bagi hati yang rawan. Mudah terluka dan merasa. Meski sembunyi dalam hijab belaka. Tak perlu berkata-kata. Ataupun bertatap wajah. Jika tabu jadi dosa. Cukup suara adzan di mana hati telah dirajah. Catatan Kaki: *laku/laris **tali api pada meriam Ibnu Nafisah Kendari, 23 September 2015

RAMAYANA

(Kisah cinta yang tak sempurna) Mungkin akulah tokoh yang tak pernah dianggap. Ketika layar terkembang dan gamelan bertalu. Hanya berada di cahaya yang lindap*. Ketika para wayang berlakon, aku mulai menyaru**. Mungkin akulah jua yang akan menghentikan pagelaran seni. Ketika Rama menolak Shinta di sisinya setelah berhasil diselamatkan Hanoman. Cinta? Cuih! Cinta tak akan bersyarat dibakar api seperti ini. Cintanya palsu tidak tulus dan arogan. Adalah Rahwana yang tak pernah diagungkan. Namun cinta sang Dasamuka ini tak pernah dipandang oleh Dewi Shinta. Apakah cintanya pada Rama yang membutakan. Atau Dewi yang satu ini hanya melihat ketampanan semata. Akulah yang tokoh yang akan terus berdiri di belakang panggung. Dengan kepala yang semakin banyak. Dan senjata perang di belakang punggung. Akulah yang segera menghentikan omong kosong ini dan bila perlu berlinyak***. Dan kau, Dewiku, luruskanlah hatimu. Setelah pertarungan ini berakhir. Masih ada urusan pelik antara kau dan aku. Itu

MALAM PEMBUNUHAN

(Ketika kau berniat menghabisi nyawaku melalui sepi) Malam seperti ini Sepi  nyapa Serangga nyepi Ranjang nyala Bakar pula ngantuk Dan bentar terantuk Malam seperti ini Kau serupa bayang Berkejaran mimpi Sesat gentayangan Dalam pikiran Masih juga binal Berlari keliaran Ngigau banal* Malam seperti ini Kau serupa setan Datang dan pergi Tembus anginan Tak puas itu Kau bunuh aku Dalam gelap Jasad senyap Catatan Kaki: *kasar Ibnu Nafisah Kendari, 23 September 2015

QURBAN

PUISI PATIDUSA *************** (Al-Wala'* dan Al-baro'** Nabi Ibrahim As.) Loyalitas Tak berbatas Hinggapi denyut nadi Ikhlas terima titah mati Kesetiaan kau hirup pendam Tanpa rasa dendam Beri tunjuk Tunduk Tolak Segala kafir Bersihkan segenap akhlak Hingga berlalu serupa musafir Karena ketauhitan butuh qurban Bukan kata-kata semata Meski sorban*** Nyala Membara Sebagai api Beri darah luka Tetap di jalan ilahi Catatan Kaki: *kesetiaan/loyalitas **antiloyalitas ***kayu bakar Ibnu Nafisah Kendari, 24 September 2015

TRESNO KARO KOWE

Katakanlah cinta padaku Seperti kita lakukan dahulu 'Tika kerling mata saling puja Saat kita sama-sama rasa Masa dulu awal mula hati Umbar segala aksara Asmara  itu lagi Hanya untukku saja Kita memang bukan alay Umur pun sepanjang galai* Sudah dewasa untuk beginian Jadi usah malu santai nian Jika suatu hari kau tersadar Dan ingin terulang getar Tariklah napas hirup dan lepas Lalu sms ini, "aku tresno karo kowe, mas!" *perahu perang yang berukuran panjang Ibnu Nafisah Kendari, 25 September 2015

TANGAN

PUISI PATIDUSA *************** (Sebuah kehangatan yang telah pergi) Udara Menisik tulang Darahku beku jua Hampir sesak saat pulang Di rumah mencari tangan Yang biasa mereluk* Sehangat lengan Memeluk Atau .... Serupa dekapan Kata manja meracau Pun sekedar belai usapan Yang kudapat hanya ruang Udara hampa kosong Tak ber-urang** Melompong Mana? Entah mana Mungkin mencari tubuh .... Lainnya yang sama rapuh Catatan Kaki: *melekuk **orang Ibnu Nafisah Kendari, 25 September 2015

GAGAT RAHINA

PUISI PATIDUSA *************** GAGAT RAHINA(1) (Jiwa yang gagal menemukan subuh) Muksa(2) Kembali meranjang Gemerisik desak aura Antara napas buru panjang Lamat-lamat halimun tetamu jendela Udara beku tusuk Sesela raga Susuk(3) Entah Adzan / dingin Pun tubuh ejawantah Gidik kuduk diempas angin Dunia gelap serasa mati Subuh tersibak tiba Perlahan hati Nyala Nyawa Banyangi hidup Lari kejar bahana(4) Telanjur pagi baskara(5) susup Catatan Kaki: 1. menjelang pagi 2. terpisahnya raga dan roh 3. tusuk/pasak 4. bunyi/suara/kumandang 5. matahari Ibnu Nafisah Kendari, 26 September 2015

SENU

(Bukan samsak yang bisa kau peluk) Jangan panggil lagi aku Senu Tamparan kemarin masih ngilu Pekikan pun menggema Sibuk ngelap darah pula Apakah dinding ini buta Hingga tak bisa melihat air mata Atau bahkan tuli Tak mampu mendengar jeli Jerit di ranjang membinal Teriak injak jadi banal Malaikat atau setan tak kenal Serupa pelik kian bebal Cukup sudah ini berawal Kita ulangi dari pangkal Kau datang penuh cinta Lalu pergi tinggalkan luka Semalam kau memanggilku Senu Senyum gemas merayu Esok tanganmu menempel di pipi Rambut lengan cekam jemari Jangan panggil lagi aku Senu Serta kata-kata asmara mendayu Luluri segenap bibir birahi 'Tika puas tak layaknya ta*i Ibnu Nafisah Kendari, 27 September 2015

BRIGADE MOBIL

PUISI PATIDUSA *************** (Serupa lotus yang mekar di jiwa pembela bangsa) Lumpur Tempatmu berpangkal Hitam legam berpupur Menyaru dalam rawa berasal Lahir dari tanah kotor Namun semangat juang Ganal motor Pejuang Padma Adalah engkau Mekar serupa surya Merah putih kelopak memukau Seumpama darah marun membusa Tak henti bergejolak Demi bangsa Bergolak Tunjung Pula namamu Jiwa tak berujung Menjaga negara sebagai pengampu Wahai dikau sang seroja Dadamu segala cinta Menempa cita Sentosa Tanganmu Kau genggam Semangat patriot beradu Pembela segenap nusantara berderam Catatan Kaki: Lotus, Padma, Tunjung, Seroja : Teratai Ganal : Serupa Pengampu : Orang yang menjaga keselamatan orang lain Berderam : Bunyi tiruan seperti auman harimau Ibnu Nafisah Kendari, 03 Oktober 2015

BULAN PENUH

PUISI PATIDUSA *************** (Ketika amarah senapas nafsu) Bulan Purnama merah Menata langit mengawan Gejolak desir darah membuncah Seketika belati cium leher Malam pun bersaksi Bintang bergeser Sangsi Pekik Bahana meringkik Usir gelap sepi Sinar perak jadi api Ramai tangan mencari badan Wajah hangus gelagapan Tanah pekuburan Kelaparan Dan ... Kala esok Nyawa berseduh sedan Hanya bangkai tak bersosok Ibnu Nafisah Kendari, 28 September 2015

GARWA PADMI

PUISI PATIDUSA *************** (Kisah buat isteriku seorang) Istriku Duduklah sebentar Sini di hatiku Biarkan malam dingin menghantar Dan bulan bintang mengasihi Tentang permainsuri abadi Sang Yayi Pengabdi Kisah Pendamping wanita Yang pandai indah Dalam biduk rumah tangga Berpegang teguh pada gemi bertutur serupa wedi Menghargai suami Gumati Rayi Kekasih setiaku Tetaplah menepi Ingatlah cerita ini selalu Meski purnama tenggelam benam Langit terasa kelam Darah kaku Beku Catatan Kaki: Garwa padmi : permainsuri Yayi : adinda dari kata Rayi Gemi : memegang teguh segala sesuatu Wedi : tutur kata yg baik Gumati : memahami yg disukai suami Rayi : adinda Ibnu Nafisah Kendari, 29 September 2015

ANUMERTA

PUISI PATIDUSA *************** Hening Derita merayap Sinar perak bening Menyusup rimbun bambu senyap Masih juga kau meradang Membawa perih luka Darah menghadang Lara Peluru Kini bersarang Di dada beku Tempat terakhir segala perang Berpeluk bedil gelap mendera Sesak napas terputus Maut tiba Mampus Ibnu Nafisah Kendari, 04 Oktober 2015

GUGURNYA SANG PEJUANG

PUISI PATIDUSA *************** Subuh jadi sebisu cekam Serangan terus berdentum Gelegar bungkam Lentum Mayat Pisah terburai Terpercik darah menyayat Seketika teriak badan terkulai Anyir mengudara senapas mesiu Puing bangkai tinggal Nyawa baliu Tanggal Nama Hilang pergi Kalut peluk merana Keringat menguap pun mati Pagi itu kau pulang Dog tag utuh Tanpa tubuh ; Melayang Catatan Kaki : Lentum : Tiruan bunyi meriam Baliu : Memenggal kepala (pedalaman Kalimantan) Dog tag : Kalung prajurit Ibnu Nafisah Kendari, 04 Oktober 2015

BERKARU

PUISI PATIDUSA *************** (Pantai yang tak santai) Tubir Aku berdiri Menatap ombak mencibir Di atas cadas bergerigi Deburan hempas segala laut Juga hati kalut Diterpa udara Lara Burung Terbang seangkasa Menerjang angin beliung Seakan kuat menahan derita Pantai, gelombang, gunung, samudera Segala jiwa mendera Membalut pikiran; Berantakan Catatan Kaki : Berkaru : Pikiran kalut Ibnu Nafisah Kendari, 04 Oktober 2015

KEMUNCA

PUISI PATIDUSA *************** (Ketika waktu itu tiba) Tergurat jelas di wajah Segala siksa mengawas Menyilet merajah Menendas 'Tika Maut berkawan Nyawa layang seketika Teriak sekali akhir kebebasan Bila lepas dari dunia Meronta hentak sesal Mati sedia Kekal Toh! Hidup bersia Selayaknya seorang bebotoh  Karna beban derita 'nusia Terima sajalah sebagai anugerah Damai abadi memgarah Lalu nyerah Pasrah *** Catatan Kaki : Kemunca : akhir Menendas : memenggal kepala Bebotoh : bajingan, penjahat, penjudi Ibnu Nafisah Kendari, 06 Oktober 2015

SENA MULIH

(Ketika pulang tak lagi sama) Masihkah kau mengenali wajah ini? Bunga kecilku yang manis Lelaki yang berjalan terseok Meniti kampung lama terlupa Saat tulang tak lagi meruok Membawa segala luka Torehan baret di kulit dan daging Semakin rapuh nan ceking Ini bukan penyakit, sayang Hanya sebuah kenangan panjang Bahkan langit pun tak ingin menyapa Lalu berlari di bawah tatapnya Bila tidak beribu cebikan mendera Inilah hasil kemenangan Sebuah kebanggaan Ribuan peluru menembus Tak jua mampus Aku serahkan tubuh ini pada derita Tapi kalian menyerahkan nyawa Pun meringis ketakutan Hanya menawar kematian Masihkah kau mengenali wajah ini? Bunga kecilku yang manis Lelaki dulu kau kenal Sebagai hibat terhebat Yang dahulu bagal Kini hanya bayang berkelebat Masihkah kau mengenali wajah ini? Bunga kecilku yang manis Ah, setan pun tak tahu siapa diri ini Berdiri di antara hidup dan mati *** Catatan Kaki : Sena : prajurit Mulih : pulang (jawa) Meruok : berbuih, membua

SERDADU

(Semangat juang yang tak pernah mati) Musim gugur datang seperti badai Daun meranggas menerjang Segenap debu membangkai Kering tandus menjerang Terdengar sesak napasmu ... Tapi, laras itu tetap menjejak Tapaki jalan tak bertuan Bah angin menanjak Derap kaki masih berdendang Sementara terik bernyanyi Keringat menelentang Temani sesetia bedil sunyi Masih kudengar desahmu ... Kala tekad menghutan Wajah pun menyaru Semangat ganal militan Catatan Kaki : Menjerang : memanaskan Menelentang : terbaring, telentang Menyaru : menyamar Ganal : seperti Ibnu Nafisah Kendari, 05 Oktober 2015

KETIKA PAYUNG TIDAK TERKEMBANG

Angin hari itu membatu Hanya bayangmu datang menemani Semakin beku Sementara awan menggumpal Menderu-deru di telinga Mencekik maki merapal Tolong! Teriakku pada diri sendiri Suara melonglong Sementara parasut bisu Tangan tercekik payung kuncup Jiwa semati tugu Angin hari itu membatu Hanya bayangmu datang menemani Semakin beku Ibnu Nafisah Kendari, 08 Oktober 2015

TANAH TERSIRAT

(Janji yang tak sampai) Langit cerah Mentari bersinar Kemarau merekah Kasihku... Bunga Oktober merayu Bermekaran di bukit hati Tempat kita mengadu Masih ingatkah ikrar Terucap sebelum pergi Sebagai janji sakral Pohon ini jadi saksi Daun berguguran Menunggu hujan Dunia telah memisah Kesepian dan rindu membatasi Lalu jarak melintasi Kasihku... Masih teringat kaul dari bibirmu Menjelang Fregat berlayar Akan setia menunggu Adakah diri derita Bahkan cinta Dulu kembali Ah, kini hanya menangisi Namamu pun terpampang Pada pesara abadi *** Catatan Kaki: Pesara : Makam Fregat : kapal perang Ibnu Nafisah Kendari, 07 Oktober 2015

TAMAN PAHLAWAN

#PUISI_PATIDUSA_BIAS Bedil Mimis lengkap Semangat pun andil Terjejak pada musim merayap Lentum bahana pekak sukma Menakuti seisi mayapada Suaramu hilang Menjalang Peluru ... Tembus kepala Kau tertawa menderu Menyambut akhir, maut melanda Satu-satu jungkal jatuh gugur Hujan darah melebur Medan gempur Tempur Pesara Kini berada Hanya diam berdiri Kenang kedigdayaan pahlawan negeri *** Catatan Kaki : Mimis : Peluru (senjata api) Lentum : Tiruan bunyi meriam Bahana : Gema / suara nyaring Menjalang : Keliaran / kebuasan Pesara : Makam Kedigdayaan : Perihal kuat dan sakti Ibnu Nafisah Kendari, 08 Oktober 2015

INDONESIA HARI INI TIDAK BOLEH CENGENG!

INDONESIA HARI INI TIDAK BOLEH CENGENG! Pemuda yang berkeringat ... Meneteskan luka ... Sesekali menghirup duka ... Kalian jangan cengeng! Bila nusantara bukan lagi surga Katakanlah derita Apakah asap, korupsi, ketidakadilan Kalian jangan cengeng! Ayo singsingkan lengan baju Tunjukkan otot segarmu Keluarlah dari kenyamanan nurani Suarakan kebenaran dengan berani Ini negeri merdeka bung! Bukan milik segelintir orang kaya Bukan milik para penjajah berdasi Bukan, bukan, bukan mereka Pemuda engkaulah tonggak sejarah Penentu hari depan Jangan biarkan kekayaan dijarah Bila nanti negara ini bergejolak Maka dari lidahmulah itu Ketika harapan bermunculan Pun dari tangan dan buah pikiranmu Indonesia kau tidak boleh cengeng! Ribuan pemuda bersarang di bahumu Mengokohkan pondasi bangsa Demi kejayaan negara Dan ... Jika nanti ibu pertiwi meminta usia Dengan lantang wahai satria Katakan, "Aku siap!" Ayo! Pemuda, hari ini kalian tidak boleh cengeng! Usap se

YELLA

PUISI PATIDUSA *************** YELLA! (Sebuah kata bagi mereka yang terus berjuang) Jejak Kakimu menggelandang Telusuri kantor berundak Hanya kata, 'tidak' menghadang Ijasah sarjana tercetak rapi Kau apit kepak Terbawa tercari Sepak Hari Semakin panas Lowongan kerja menjari Guyuran keringat kering menderas Namun semangatmu tak pupus Tak jua mampus Terucap kata ; Yella-yella! *** Catatan Kaki: Yella : Ungkapan semangat dalam bahasa Arab Ibnu Nafisah Kendari, 04 Oktober 2015

SEMANGAT MUDA

PUISI PATIDUSA *************** SEMANGAT MUDA Kau Pemuda Gagah nan memukau Penuh gairah semangat muda Kibarkan darahmu pada prestasi Goreskan pada negeri Perjuangan sejati Menanti Kita Adalah bunga Mekar setaman bangsa Mewangi kau toreh karya Indonesia engakulah jiwa kami Sehangat ibu pertiwi Membara memadu bersatu Ayo! Generasi penerus Di pundakmu gongyo Tempat masa depan mengarus Gelorakan cita dan cinta Untuk kebanggaan mayapada Selaksa nusantara Jaya *** Catatan Kaki: Gongyo : doa Ibnu Nafisah Kendari, 02 Oktober 2015

SAJAK RINDU

PUISI PATIDUSA ************** (Terinspirasi oleh: Lagu Rindu ;Kerispatih) Bintang Malam penuhi Kirana* rindu belintang** Menggelimantang*** rasa sendu hati Ingin lukis langit namamu Pada dingin bumantara**** Erat pelukku Se-udara Angkasa Tahukah engkau Siapa sang pemuja Berdiri kaku ingin menjangkau Embun kelam itu; aku Bermimpi belai kenya***** Meski beku Olehnya Sajak Cinta melonjak Tercipta buat dikau Belahan jiwa kian memukau Catatan Kaki: *sinar **terletak melintang ***memancar ****angkasa *****gadis Ibnu Nafisah Kendari, 22 September 2015

HIBAT*

(Sesuatu Yang sederhana) Tahukah kau? Mengapa kumbang terbang di taman? Itu karna bunga memukau Wanginya terbawa angin menawan Bahkan hujan menetes Pada daun ilalang Membawa kabar ngomes** Rindunya melanglang Pada embun di tingkap dahan mencit Masih pula senoktah air bertahta Memeluk sejuta bukit Hamparan kabut terhempas semata Pelan-pelan malam yang tak mau berganti Memerah di pusat akanan, lalu pergi Burung terbang di jendela langit Meraih cinta pada udara azurit*** Begitulah cinta melimpas**** Sederhana dan alami Semudah menarik napas Dan dihembuskan kembali Catatan Kaki: *cinta **selalu basah ***berwarna biru muda ****terlalui/terlampaui Ibnu Nafisah Kendari, 25 September 2015

BUYA*

(Orang yang selalu terkenang) Di lenganmu tersimpan darah Putih tulang bersarang daging Tetes keringat banjiri baju-kerah Terbayang lelah hingga setungging** Jungkir balik keluarga kita Ratap-tatap penuh tresna Kau sumbat-tutup sepenuh tenaga Korban nyawa demi senyawa Hari yang terkejar Semangat hidup kau tempuh Takkan pernah pudar Serupa gading tajam dan ampuh Kini tetulang telah rapuh Seiring waktu memutih rambut Kau masih berdiri sikapi sepuh Menjadi rangka tubuh cerabut Meski mata tak awas Kerut marut kulit lemas Pribadimu tetap kokoh kuat Pantang surut terus cuat Ramanda***, darahmu kini mengalir daku Menganak sungai kian liku Semangat juang terwaris Terpendam-karam seumpama historis Gubahlah aku yang terpilih Doakanlah terus di nadi Tempat segala cita beralih Temurun jadi tunas abadi Catatan Kaki: *ayah **jungkir balik kepala di bawah ***ayahanda Ibnu Nafisah Kendari, 25 September 2015

KABUT

PUISI PATIDUSA *************** Ibu Kulihat kerudungmu Berkibar terbawa asap Cadarmu mengepak bah sayap Matahari tak mampu mengecup Pundakmu berdiri kuncup Terbawa kabut Kalut Ilam-Ilam* Menebar akanan** Menelungkup segenap sebam*** Hilangkan dunia dan luruhkan Halimun pekat remang mendesak Terhirup pedih sesak Menekan dahak Ruak**** Ibu Kainmu meratap Alam kering merandu Dan ayah terbakar merayap Catatan Kaki : *kabut **cakrawala ***kelabu, suram ****merata kemana-mana Ibnu Nafisah Kendari, 14 September 2015

MALAM INI BULAN TAK NAMPAK

Sepi Lalu senyap meliputi Ada yang berbisik di sela ilalang "Malam ini ia akan mati, hilang" Dua peluru membuat rumah-rumahan Dalam daging murahan Darah berceceran Seperti bintang berhamburan Pecut keringat Laksana butiran bulan bulat Ah, sayang jejak tak napak Dan malam ini bulan tak nampak Ibnu Nafisah Kendari, 15 September 2015

BUKIT CINTA

(Rasa jalang yang tak bertuan) Rumput berdiri Layaknya lelaki Bergoyang bersiul Dengan kopi mengepul Angin menggoda Serupa wanita Bersuara syahdu Indah mengadu Ketika bukit terdaki Nyanyian alam berbunyi Gemerisik ilalang Terbuai angin nyalang Kuhirup udara liar Antara kita Suara angin biar Goyangkan cinta Kita berkecamuk nafsuh mengamuk Ingin penuhi Kolam sepi Ibnu Nafisah Kendari, 15 September 2015

RINDU

(Satu kata yang kubawa sebagai buah tangan) Sayang Aku datang Membawa sejuta rindu Dalam koper penuh merayu Ingin segera memeluk dirimu Menerobos jarak pintu cintaku Penuhi sms, telpon, dan segala panggilan manja Kau lihat, senyum terkembang Dan juga sungai air mata Turut merembang Sayang, sudah lupakan semua Bayang dan mimpi buruk tentang kita Orang yang kau nanti berdiri di sini Menunggu pelukan serta cerita diri Lepaskan segala kangenmu Juga dendam cintamu Yang kau timbun Semakin rimbun Kau pendam Semakin dalam Sayang kemari Dekap jemari Yang lelah Melangkah Sayangku ILU Ibnu Nafisah Kendari, 15 September 2015

CINTA

(Sesuatu yang pulang menemanimu) Hari ini aku datang Dari perjalanan diri yang dalam Serupa darah meradang Menempuhi pembuluh rindu teredam Layaknya arteri* membawa cinta Dari jantung hatiku kini berada Menerobos bilik-bilik** menuju aorta*** Di mana dirimu tepat berada kaulah paru-paru hidup dan kisah Tentang desah nafas yg bergelora Saat aku 'kan pergi dan pisah Kau ucapkan, "diri 'kan selalu mendamba" Itulah alasan kepulangan kali ini Menagih rasa yang dulu kau puja Saat yojana****  menengahi diri Agar kau tahu kita sama rasa Kini, aku telah pulang Dari segenap waktu yang hilang Menyahuti panggilanmu Memberi darah cintaku Catatan Kaki: *pembuluh darah dari jantung **ruang dalam jantung ***pembuluh darah besar ****jarak Ibnu Nafisah Kendari, 15 September 2015