ASAP KEMATIAN

Hari itu air mata tak lagi berlinang. Seperti mata air yang kering di dasar lembah. Luka hati semakin bergelimang. Sepilu jeritan sungai kerontang di bebatuan merebah.

Kaki mungil ini terus saja menangis. Mencari ibunya yang terbakar di atas gunung. Serupa pohon, rumahnya membara meringis. Dan ia hanya dapati asap dipunggung ayahnya yang semakin menggulung.

Hari itu air mata tak cukup memadamkan. Kabut berputar terhirup sesak mengerikan. Langkah terhenti pada satu waktu kematian. Hingga tangan tak lagi bergerak sekadar menutup hidung di liang kuburan.

Bangkai anak-anak daun menjadi abu. Dibelai manja semesra tangan sang bunda dalam tanah gambut. Sembari mendengarkan dongeng sang buya tentang pangeran debu. Beristana tabun-menabun di negeri awan bergelayut.

Sampai ia tertidur pulas hari itu. Dan air matanya tetap kering. Bibirnya membiru. Dukanya dari jauh begitu menyayat nyaring.

Ibnu Nafisah
Kendari, 17 Oktober 2015
----------------------
Catatan Kaki:
Tabun-menabun : Membubung, berkepul-kepul (asap)
Buya : Ayah

Comments

Popular posts from this blog

Di Meja Makan

PANTUN BUJANGAN

Pelabuhan