Posts

Showing posts from 2016

JAUH DI PULAU

Cintaku sepi di pulau Tak tergapai sauh Angin jangkau Menjauh Kudekap Tak mendekat Hanya bayang lesat Kau bunuh aku tercekat Wangi hanya kilas kelebat Datang seumpama rindu Semisal hantu Membisu Unggun Api anggun Liar liuk kembara Hingga riak tersara bara Kau pergi tak berkawal Meski luka berawal Duka beramsal Berasal Cintaku Semakin jauh Di pulau merapuh Terbawa pergi angin waktu IBNU NAFISAH 06 Desember 2016

COTO

PUISI PATIDUSA TANGGA ************************** COTO MAKASSAR Belah dua terbagi empat Sepiring lapar geliat Gelepar liat Ketupat Pecah hancur kerak bentur Tiga derak berdentur Telur bercampur Membaur Lahap jua mangkok meruah Penuhi daging berkuah Lidah menggugah Menguyah Nikmat apung kepung ketika Merubung dahaga ketiga Melambung terasa Seketika IBNU NAFISAH Kendari, 07 SEPTEMBER 2016

PENJAGA PAGI

PUISI PATIDUSA TANGGA ************************** PENJAGA PAGI Kita jaga tanah ini Dari pagi dini Ke pagi Lagi Yang muda bermata tajam Tak mudah karam Yang tua Waktu Tunggu dulu tunggu sebentar Malam belum benar Masih sore Terang Jika bedil kerdil meronta Jari telunjuk bergetar Mengejar pagi Merintih IBNU NAFISAH Kendari, 07 September 2016

INSOMNIA

Malam belum lagi bubar Nyala matamu belum padam Caya pun berkejaran gelap Pada dinding masih merinding Bahkan kaca jendela buram kalap Inipun masih sore Pagi sekelebat, belum lagi pagi Terjaga,,, terjaga,,,? Serupa imsoniak (Dzikril Hakiim, Prajurit penjaga malam, 4 sep 2012)

GELEGAK

PUISI PATIDUSA TANGGA ************************* GELEGAK Ketika genap habis naas Di ranjang panjang Udara panas Berombak Tiada yang ingin berontak Gelap terkam senyap Memburuh penuh Lindap Segala mencapai pagi mati Membunuh tubuh rubuh Menghujam Peluh Tiada yang hidup merayap Meraung perih pedih Mengigau sengau Lirih Hingga gerak menjerat retak Darah berubah beku Malam tersentak Berderak Hilang akal terbuai meracau Seruak kekal meraja Hening berembun Meluka IBNU NAFISAH Kendari, 30 Agustus 2016

SEHARUSNYA

SEHARUSNYA Harusnya lebih dulu Guratkan namamu-namaku Di pohon berbatang Berdaun rindang Di dinding kelas Yang mungkin reras Di pantai Berombak santai Atau di sini Di bait puisi ini IBNU NAFISAH Kendari, 30 Agustus 2016

INGIN

INGIN Ingin kukatakan kata-kata Menjelma tangkai di lidahku merangkai kuncup berbunga Ingin kusampaikan sesuatu Berupa kekupu keluar dari ucapku terbang melayang ke kuntum wangimu Ingin kuutarakan isi hati Layaknya hujan menghujam bumi meniris gerimis di bibir manis Tentang rasa ini mulai mekar Tanpa pernah kusadari kini segar kuat mengakar IBNU NAFISAH Kendari, 30 Agustus 2016

BUKU TENTANG KITA

BUKU TENTANG KITA Sejak semula kau adalah buku yang ingin kubuka Membaca tiap lembar halaman mencari inti pedalaman Berulang-ulang kutandai mencerna cermati Mencari ke dalam tulisan yang kau gores guriskan Menelaah bait per bait puisi yang terbuat Menyusuri seduh sedan yang sedang kau ungkap tangkupkan Rahasia jadi bagian bahagia Beberapa helai kubelai merasakan guratan gugatan jadi suratan Tiada tanda cerita jadi berita bahkan derita Tanpa alamat ucapan selamat tersemat di atasnya Sudah hampir habis nomor pada catatan Tak nampak sayatan namaku di sana Namun masih saja dibolak-balik Mengira-ngira halaman berapa kini hilang darimu Tentang--- Diriku. IBNU NAFISAH Kendari, 30 Agustus 2016

KINANTI

KINANTI Andai rembang mengalun senja Kuinginkan kau duduk manja Meredup sinarku pelan melanda Mengurai senyuman merenda Seumpama engkau gugusan bintang Biarkan aku jadi cekungan melintang Memeluk seluruh degup kelipmu Hingga warnai malam merayu Kumpulan awan gemawan bertabur Adalah aku yang kini kian melebur Dan engkau timbul tenggelam Berkelap-kelip di hati terdalam IBNU NAFISAH Kendari, 29 Agustus 2016

ANDAI

PUISI PATIDUSA TANGGA ************************** ANDAI Kau adalah lengan gemulai Menari  indah semampai Bergerak rupawan Menawan Bayangkan aku lingkar gelang Berbunyi riuh melenggang Gemerincing tertawa Membahana Gendang yang bertabu meriah Suaraku nyaring sumringah Memandu tarian Kesenangan Seluruh tubuhmu pun bergoyang Lentik jemari melenggang Mengikuti irama Senada Biarkan aku menjadi selendang Merangkul mesra melintang Melingkari setubuh Seluruh Andaikan seruling meliuk berbunyi Jantungku berdebar bernyanyi Berlomba memecah Suasana IBNU NAFISAH Kendari, 29 Agustus 2016

LUKA

LUKA Ini luka semakin bernanah Balut debu semakin merana Bukan maksud hati jadi mati Karena kepergian merintih Cobalah bertanya pada waktu Hari dan pakaian yang lalu Kurasa ada lubang di saku Kini hitam dan membiru IBNU NAFISAH Kendari, 29 Agustus 2016

SUATU PERJALANAN

SUATU PERJALANAN Satu perjalanan kita tersesat Kini aku bukan lelaki lama Atau pejuang tua meradang dengan luka nanah pada angan Bukan pula bedil yang tak tahu arah sasaran Di simpang itu kita memilih Antara kemerdekaan dan kebebasan yang saling menerka IBNU NAFISAH Kendari, 29 Agustus 2016

KAU YANG INGIN KUBUNUH : CINTA

KAU YANG INGIN KUBUNUH : CINTA Telah terkubur dalam-dalam Kutanam jadi makam Sebelumnya terjerat leher pada tambang Pecah darah amis bertandang Segala racun suapi merayu Kubacai mantra meramu Hingga mati tak berdaya seketika Jiwaku tertawa tanpa etika Namun sayang kau masih saja datang menghantui Bagai sepi yang selalu hadir kala hening mendahului Apakah mesti kuturut pula engkau ke lahat Hingga nama kita jadi abadi dan terpahat Sungguh rindu ini kian melanda Membobol rasa semakin nyata IBNU NAFISAH Kendari, 28 Agustus 2016

NIKMATI SENDIRI

Bukannya aku tak ingin membagi sepi Bahkan hening ini bila perlu kuberi Namun malam pun mengendap Berjalan pelan jadi bayang menghadap Melangkah hati-hati tanpa bunyi Tiada suara dalam jerit sunyi Sungguh bukan maksud menikmati sendiri Angin sepoi bertiup pelan dan menyendiri Apalah arti kepergian menuju ketiadaan Hanya menambah sesal dan kenangan Percayalah dibalik kehampaan sejati Selalu ada pengharapan abadi Meski terbersit dalam pilu merana Di tengah malam gelisah meraba IBNU NAFISAH Kendari, 28 Agustus 2016

LAYANG-LAYANG

Benang yang putus akan selalu pupus Hilang dari tangan dan angan Sebagian terbawa lelayang jauh melayang Sisanya dalam hati menjerit-jerit di hari mati Berkali dihempas keras lalu tebas Terkait dalam bait-bait jerit melilit Seruan memohon pada pepohon Terbebas dari ranting tak jua lepas Kertas kini sudah semakin reras Tinggal rangka sedikit lagi tanggal Hanya angin dingin ingin menyapa Selebihnya rimbun ditimbun embun IBNU NAFISAH Kendari, 28 Agustus 2016

BADAI

Bukannya ingin menenggelamkan diri Melompat dan tak pernah kembali Namun bukankah segala laut selalu ada karang Selalu ada palung yang dalam menyarang Kali ini bahtera terhempas gelombang Layar dicabik-cabik pun tumbang Geladakku meronta-ronta diterpa air bah Hingga jadi puing di lautan merambah Jangan sesalkan luka yang karam Sisa siksa kian lama kian dekam Karena yakin disekoci itu kau akan tersenyum Mengumbar segala jerit derita terasa mengulum Tiba-tiba tersadar aku semakin tenggelam Terjatuh dalam lubang hitam dengan senyum terseram Bukan maksudku membuat jarak kesepian semakin lebar Karena kutahu serpihan luka telah tercetak berlembar-lembar Inipun kutulis di karang di lautan terdalam Palung kedukaan yang paling gelap dalam hidup yang kelam IBNU NAFISAH Kendari, 28 Agustus 2016

BERLARILAH!

PUISI PATIDUSA BIAS ********************** BERLARILAH! Berlarilah Kedukaan segala Kejar degupan semangat Biar keringat terus menghangat Tinggalkan jejak kelukaan meraja Lompati bayangan derita Langkahkan kaki Jelajahi Berlarilah Rasakan lelah Napas saling memburu Derap decit gesekan sepatumu Semakin jauh terlempar tersesat Biarkan semakin melesat Pikiran mencuat Terlewat Berlarilah Tinggalkan kenang Membuat jiwa mengerang Segala sakit datang meradang Hingga hilang pedih perih Terjang segala sedih Terus pergi Berlari IBNU NAFISAH Kendari, 28 Agustus 2016

PRAJURIT MUDA

P RAJURIT MUDA Sebelum malam menyinari dadanya jadi pualam Dan pekat membisikkan nyanyian alam Ditidurkannya resah dibalik keringat samudra Ditabuh pula genderang senja di cakrawala Melipir rindu di celah-celah cemara Bersanding derap sepi menghalau semata Mereka hanyalah angin berseragam ilalang Udara lembayung kian merayap jalang Gelora menderu-deru di hati Dan pagi bergejolak seakan mati IBNU NAFISAH Kendari, 19 Agustus 2016

PAHLAWAN BANGSAKU

PUISI PATIDUSA TANGGA ************************** PAHLAWAN BANGSAKU (Tontowi + Liliyana, Olympiade 2016) Kali ini kita berperang Bukan medan laga Serang terjang Berdarah Pegang bambu pun runcing Pasang ranjau meledak Gerilya berpusing Melacak Ini jaman karya kreasi Bedil kita: beraksi Teriak bereaksi Prestasi Merdeka berarti berjuang lagi Hidup atau mati Terus terpatri Abadi Bergelora keringat di lapangan Juara di tangan Medali emas Terkemas Terima kasih wahai kesatria Pejuang olahraga Indonesia Sebuah persembahan Kemerdekaan IBNU NAFISAH Kendari, 18 Agustus 2016

AKU

PUISI PATIDUSA ASLI ********************** AKU (Nama yang buatmu hilang akal : NARKOBA) Bangun dan tentang aku Hadapi jangan ragu Tatap seluruh Penuh Bentak Pula Hentak Siar segala gertak Buat aku tak bergerak Bedil ini buat bungkam Lalu seketika terkam Biarkan cekam Mendekam Ayolah Jangan kalah Wajah telah berdarah Langkah pun telah lemah Akulah musuhmu kali ini Bukan penjajah kini Menindas pedih Merintih Aku! Akulah musuhmu Sesungguhnya lawan seteru Yang telah merusak bangsamu IBNU NAFISAH Kendari, 17 Agustus 2016

CUKUP SUDAH!

PUISI PATIDUSA ASLI ********************** CUKUP SUDAH! Sudahi saja ini sekarang Berhenti dan pulang Bawa pula Dosa Teriakan Juga erangan Lalu segala ratapan Jadi tambah rasa kesiaan Aku hanya ingin merdeka Bebas dari segala Jerit derita Samsara Unek-unek Perasaan enek Kau pendam padamkan Hingga jadi dendam redamkan Bedil sudah merangkai tangan Jemari meraih platuk Kepala berangan Mengetuk Sudah! Cukup sudah Bawa serta eksekutor Untuk mental kotor : koruptor! IBNU NAFISAH Kendari, 18 Agustus 2016

BENDERA

PUISI PATIDUSA ASLI ********************** BENDERA Di ujungmu aku berkibar-kibar Bergelora penuh kobar Menyala mendidih Pedih Merah Warnamu darah Adalah gejolak perlawanan Dari ribuan tumpukan pahlawan Jutaan nama melayang terbang Mengapung bak kiambang Tanpa kenal-mengenal Mengental Tulang-belulang Berserakan menghilang Tumbuh patah berulang-ulang Jadi piramid manusia menjulang Demi engkau wahai kemerdekaan Segala wajah senyuman Merupakan sejarah Terjajah Kini Aku terpancang Meraih tinggi mentari Dari onggokan sejarah terpanjang IBNU NAFISAH Kendari, 15 Agustus 2016

MERDEKA?

Senjata kini telah disimpan Berdebu dari kenangan Darah yang dulu bercecerhamburan Kini hilang bekas nama harapan Merdeka aku dari dia Dari segala resah yang mengada Sekaligus bala rindu menjajah Membuat jiwa terpasung kalah Kali ini aku langgas sekaligus Reras di hati yang tandus IBNU NAFISAH Kendari, 15 Agustus 2016

FOTOCOPY

Berlembar-lembar tercetak Jiwaku tercekak Berkali-kali mengiba Pun tiada pernah teraba Bayangmu penuhi halaman Terekam di pedalaman Segalanya tertulis dalam kertas Menjadi nukilan tanpa batas Kujilid rasa tak kunjung sempurna Tertindik hekter membuatku terluka Uh, kucetak pula wajah ini Biar jadi sampul legam begini IBNU NAFISAH Kendari, 15 Agustus 2016

POLI GIGI

Sepasang rahang menunggu termangu Ditatapnya anak-anak gigi gerigi ngilu Dibuaidekapnya di atas ranjang Mendiamtidurkannya di batas sayang Menanti redah redup tangis Kian melengking sekali kais Memohon ampun tuk tidak diangkat Ditanggalkan dalam doa kian rekat IBNU NAFISAH Kendari, 15 Agustus 2016

AKU

PUISI PATIDUSA ASLI ********************** AKU Adalah bayang gelap dirimu Berada dekat darimu Melekat erat Pekat Aku Menyatu satu Dalam debar jantung Kekakuan yang datang berkunjung Kekikuan kian landa berdesakan Lirikkan kau sembunyikan Malu utarakan Deg-degan Seakan Hati dumba-dumba Tak tertahankan getarannya Jika bersitatap pada akhirnya Aku adalah perasaan cintamu Kau pendam rasakan Peram diamkan Sendiri IBNU NAFISAH Kendari, 10 Agustus 2016

AKU PUN

PUISI PATIDUSA TANGGA ************************** AKU PUN Kau mati, aku pun Karena aku nadi Urat darahmu Sebenarnya Matamu berair, aku pun Jadi pedih sedih Jiwa hatiku Sedu Apabila tertawa, aku pun Berdoa dalam diam Itu abadi Selalu Seandainya berakhir, aku pun Menjadi darah mengalir Basahi mata Hidupku IBNU NAFISAH Kendari, 10 Agustus 2016

SEBUAH KASUT

Jika kau perkenankan aku Berada di sepatumu Menjadi tali pengikat Yang tak lepas hingga erat Alas pijakan 'tuk menjejak Menginjak jauh dari sesak Meriangkan kaki-kaki mungil Meringankan ragu di hati kecil Jadi teman di jalan lalu Pengaman dari abu dan debu Jika kau perkenankan aku Maka memelukmulah hidupku IBNU NAFISAH Kendari, Agustus 2016

SEKALI WAKTU

Sekali waktu ingin pula menjadi bibir Berwarna merah marah mencibir Tersenyum-senyum manja Malu akan canda Berkata-kata riang Tanpa henti berucap sayang Terkadang diam seribu tanya Cemburu memburu buta Lain hari bercerita saja Seakan waktu miliknya Dan kini ingin pula merindu Menatap aku di bibirmu yang sendu IBNU NAFISAH Kendari, 10 Agustus 2016

BILA SAJA

Jadi rambut yang berurai Di pundak mayang menjuntai Bergelantungan manja ditiup sepoi Tersapu sang bayu nan amboi Aku tak habis-habisnya merengkuh Memeluk pundak lalu diri melabuh Tak ingin benar lepas Hanya menggantung bebas Meski suatu ketika aku putus Akan ingat wangi mengutus Terselip pula lalu Kau bawa serta daku IBNU NAFISAH Kendari, 10 Agustus 2016

CINTA

CINTA A kulah kata yang tersingkap Pun tiada pernah terucap Pula rasa yang tertangkap Meski tak jua mengungkap Suka yang terperangkap Tak terbaca dan mengu ap IBNU NAFISAH Kendari, 09 Agustus 2016

PERIH(AL) CINTA

PERIH(AL) CINTA Jika kutahu udara itu adalah engkau Tak biarkan hampa menjangkau Terhirup segenap napas Penuhi seluruh lafas Menjadi paru-paru yang mengemban Kau sebagai penghidupan Menggelembung ke dalam air Jadi oksigen berbulir-bulir Meruangkan dunia  Berisi tentangmu saja Berusaha jadi rongga dalam goa Agar kau hadir bersemedi dan berdoa Jika kutahu itu kau Tak memilih 'tuk menjauh IBNU NAFISAH Kendari, 09 Agustus 2016

TENTANG CINTA

TENTANG CINTA Kubiarkan kau bagai angin Melepasbebaskan rasa ingin Terbawa sampai cakrawala Seperti fatamorgana Liar bagai Afrodit semata Dikejar diburu semesta Karena matahari kan berpulang Pada harinya menuju petang Bahkan Aries sang dewa perang Menunggu jadi pemenang IBNU NAFISAH Kendari, 09 Agustus 2016

TRAGEDI CINTA

PUISI PATIDUSA TANGGA ************************** TRAGEDI CINTA Mungkin ini jadi berita Buah bibir belaka Jadi cerita Nantinya Kita saling bermain api Dalam liangkar hati Hingga hari-hari Berlari-lari Kau adalah musuh abadi Sekaligus cinta sejati Ciuman terkasih Mengakhiri Kau nantinya mati terbunuh Aku pun membeku Terisap racun Bibirmu IBNU NAFISAH Kendari, 09 Agustus 2016

MAKAM HATI

PUISI PATIDUSA TANGGA ************************** MAKAM HATI Aku ingin mati sekali Dalam hatimu lagi Terkubur rindu Rasa Dekam pada liang jiwa N yatu jadi tanah Tempat ziarah Kesah Biar jadi tulang belulang Kau taburi berulang Macam kembang Setaman Air mata berurai mengalir Pusara basah mencair Sebutkan syair Namaku Akulah mayat kini bangkit Terbunuh rasa sakit Yang terjangkit Cintamu IBNU NAFISAH Kendari, 09 Agustus 2016

Yang kupinta

Yang kupinta: Hanya segelas lupa Akan luka Setetes masa Tentang rasa Antara: Pertanyaan Kenyataan Cinta? Kita. Ibnu Nafisah Kendari, 06 Juli 2016

KUDA PERANG

PUISI PATIDUSA TANGGA ************************** KUDA PERANG Siapkanlah kuda pilihan perang Berlari paling kencang Dan terengah-engah Melaga Ladam kakinya api memercik Gelegar derap memekik Bersuara ringkik Bertempik Gegap gempita riak lantang Surai terurai terbang Kebas-kebas ekor Menteror Tiba-tiba pagi serang serbu Mengepulkan tanah debu Tengah-tengah musuh Berjibaku Adakah dikau bakhil ingkar Karena harta melingkar Dosa-dosa meliar Mengakar Lupa jika kitalah kuda-kuda Terlahir dalam dada Sebagai pasukan Kebatilan IBNU NAFISAH Kendari, 06 Agustus 2016

PERIHAL PERIH

PUISI PATIDUSA ASLI ********************** PERIHAL PERIH Langit-langit himpitku pula ranjang Memaki berceloteh panjang Bersuara lancang Lantang Engkau Entah mengigau Berkata-kata seraya meracau Bagai burung berkoar-koar berkicau Suara dengkuran pelan mengaung Napas kecil-kecil menggaung Tersampir sarung Murung Menggampar Kepergian menampar Jiwa guncang menggelepar Bagai halilintar menggelegar bergetar IBNU NAFISAH Kendari, 06 Agustus 2016

SYAK

PATIDUSA BIAS **************** SYAK Demi matahari riang mengitari Bulan berpendar menjalari Cahaya berbinar Berpijar Langit Cakrawala barat Dengan bumi mengapit Terhampar rona merah semburat Pepohonan julang meraih awan Sungai beriak menawan Suara lembayung Burung-burung Aduhai Indah permai Wahai penghuni semesta Masihkah diri berpaling meronta?! IBNU NAFISAH Kendari, 04 Agustus 2016

BUKU

Kita hanyalah buku berdebu Cerita di sana telah usang merayu Sampul tak lagi terbaca Tiada tertera sebuah nama Hanya berderet tulisan Penuhi tiap halaman Beberapa kisah menghapus sendiri Tak ingin berdiam menyendiri Pernah terpikir menggores sebuah pena Tentang sejarah baru akan kita Tapi sayang baris-barisnya telah penuh Meski menuliskan namamu IBNU NAFISAH Kendari, 02 Agustus 2016

PRESIPITASI

PUISI PATIDUSA TANGGA ************************** PRESIPITASI (Drama kita tercatat di langit) Akulah atmosfer di angkasa Larutan gas raksasa Merayu memadu Rindu Udara bebas menari riang Adalah puan juwita Rona terngiang Jelita Napasmu lambung ke udara Terhirup cinta gelora Merasuk hati Sanubari Lalu kejenuhan datang mendera Gemuruh kelabu menderu Langit pisahkan Resahkan Menetaskan setitik air halaman Lalu gerimis bertandang Hujan kenangan Meradang IBNU NAFISAH Kendari, 02 Agustus 2016

BUNGA

PUISI PATIDUSA TANGGA ************************** BUNGA Tuan petik indah merangkai Pegangan jemari tangkai Kelopak kembang Menembang Telah habis wangi terbagi Layu pun terkulai Pada tangan Karangan Hendak kemana daku pergi Jika tuan berpaling Tiada bernyanyi Berseruling Sedang debu sapu halaman Dipercik air siraman Hilangkan warna Namanya Inikah nasib bunga terbuang Manis dihisap kenikmatan Sepah dibuang Ditinggalkan IBNU NAFISAH Kendari, 02 Agustus 2016

MANTAN

MANTAN Mungkin harus tunggu api bakar kayu Agar hatimu jilat gemas nyala rindu Menanti derak purba dulu pernah ada Hangati di mana rasa kita membara Mengais-ngais arang kian beku Meniup-niup lagi cerita lalu Mungkin harus kusulut sekam Mengipas-ngipas rasa mendekam Hingga cintamu kembali kobar Jadi unggun di mata kita umbar Ibnu Nafisah Kendari, 01 Agustus 2016

SOCRATES

PUISI PATIDUSA BIAS ********************** SOCRATES (Akhir drama filsafat hidupku) Aku pikir beginilah akhirnya Kepergian racuni nantinya Seperti Socrates Tewas Kealpaan Suatu kemenangan Kebenaran terusir pergi Menyerah pada sang menguasai Telah kureguk cawan kepedihan Tanpa penawar kesedihan Membawa kaki-kaki Laki-laki Jauh Semakin jauh Tanpa pernah berpaling Terbang beda arah masing-masing Menempuhi masa terbawa angin Menuju antah berantah Mengejar ingin (R)entah Jika Suatu ketika Tanpa batas waktu Kita tersadar senja tersedu Ibnu Nafisah Kendari, 31 Juli 2016

SANG MUSAFIR

SANG MUSAFIR Kaki-kakiku lelah Tubuh serasa ambruk Melewati padang berpasir Menempuhi matahari berhangat Jalan tidaklah mudah Berliku, mendaki penuhi cobaan dan dosa Ya Allah... Aku pasrah di jalanMu Melangkah setapak di sisiMu Ini tidak mudah bahkan juga tidak sulit buatku Namun ini begitu sepi Temani aku Saat susah dan gembiraku Saat sakit maupun sehatku Bahkan ketika maut menjemputku Ya Allah... Temani Hambahmu... Ibnu Nafisah Kendari, 27 Juli 2014

PENIKMAT ROKOK

Kali ini hanya puntungnya ketemu Berserakan di ruang tamu Tiada yang peduli akan nya Pada asbak pun enggan bertanya "Ke mana bibir lembut itu pergi?" Setelah racun terhisap hilang bersama pagi "Di mana tangan membelai mesra?" Ketika tersedut bara ia pun menyerah Hanya udara bercampur asap penuhi Bungkus tergeletak hambur mengotori Tiada penikmat yang kemarin Pecandu cinta kematian Mungkin saja ia sudah jerah Lalu pergi dengan wajah merah Meninggalkan wangi juga sesak Bahkan lipstiknya pun masih tercetak Ibnu Nafisah Kendari, 24 Juli 2016

SEBUAH LAGU

Aku ingin nyanyikan satu lagu Lagu cinta abadi selama masa Aku ingin syairkan satu rindu Puisi kasih cerita hati sejati Kala hari tanpa kata Malam hening menyapa Hanya kita berdua Melantun di antara nada Membingkai melodi doa Hingga mendalam rasa Bila Engkau rela Aku kan bersujud dihadap Mu Sampai terbalas dosa merandu Menyeru menderu mengadu Ibnu Nafisah Kendari, 24 Juli 2014

WORKAHOLIC

Harus katakan kali ini padamu Aku muak mual dengar kata rindu Bibir mendesiskan cinta Sorotan mata manja Senyum tipis undang tanya Tingkah laku serta tawa Semua itu terjadi berulang-ulang Hingga tak bisa pulang-pulang Dua puluh empat jam sehari semalam Tiga puluh hari sebulan kau mendekam Menyita pikir dan waktu Mengambil kebebasan membatu Tidur pun engkau terngiang Malam menjadi siang Makan jadi hal yang langka Hiburan suatu keanehan belaka Apakah harus memberi kantung mata Sebuah anemia hingga kau berhenti di sana? Atau mungkin saja menunggu tubuh rubuh Lalu kegilaan mendera menyerah!? Ibnu Nafisah Kendari, 23 Juli 2016

SESEMBAHAN YANG KAU PERSEMBAHKAN

Mestinya menjadi darah dalam daging Sum-sum tulang di intinya Akar penghidupan pucuk dan daun Sari-sari penuh nutrisi makanannya Otak dari segala perilaku Pengolah pikiran hakiki nantinya Kalbu perasa peka dan sensitif Penyaring segala gejolak hasratnya Kendali menjadi sumber penentu Pengontrol ucap dan laku akhirnya Ibnu Nafisah Kendari, 23 Juli 2016

SEBUAH PANGGILAN

Tak terlihat di mana Namun suaraMu jelas nyata Berkobar-kobar jilat membara Menderu-deru di kalbu meraba Tangan gaib menarik maksa Kaki-kaki seakan bergerak saja Seudara merambat merambah Berdesir menyisir ke sana Bermuara pada Engkau yang Maha Menuntun langkah jatuhkan sembah Ibnu Nafisah Kendari, 22 Juli 2016

RISAU

Sepagi ini kau mengetuk pintu rumah Memasuki kamar tidur Ikut masuk ke dalam selimut: mendengkur Dalam mimpi kau gelisah Memutar badan kiri ke kanan Kanan ke kiri lalu terbangun lagi Kau menghambur ke kamar kecil Lalu ke dapur membuka semua lemari "Lapar," katamu sambil meminum segelas air "Tak ada apa-apa di sini," kataku Tiba-tiba kau marah menatap sinis Melompat menerkaaaaam ji... waaaakuuu Ibnu Nafisah Kendari, 22 Juli 2016

APALAH NANTI RASANYA

Gemuruh merubuhkan air dari langit Dari bibirnya yang liar mengalir Seluruh tubuh terusir dari awannya Jatuh berdebam di atas bumi Meneteslah di sela-sela atap selokan Terbawa jauh melewati sungai lautan Hingga tak satupun menggapai langit : Membelai anak-anak burung yang belajar terbang Berhilir mudik saling berkasih-kasihan di antara awan mendung lainnya Jika mungkin Tuhan menguapkannya ke atas Apalah jadi nanti rasanya Ibnu Nafisah Kendari, 21 Juli 2016

SEPIRING NASI GORENG

Siang itu kita berdua: aku dan bayang Memasuki warung pinggir jalan Sepiring nasi goreng dan es jeruk pesanku Kau hanya melihati seekor lalat di meja cokelat Uap makanan menyembul diantara kita Kau masih melihat-lihat beberapa ekor lalat terbang Ketika ia menepi di sebutir nasi dalam piring Kau muntah lalu terbang keluar warung tanpa mengajakku Hingga kini tak kulihat lagi bayang dirimu Hanya muntah yang berceceran dalam sisa hidupku Ibnu Nafisah Kendari, 21 Juli 2016

NEGERI TEMPATKU BERNAPAS

Dari tanah gemburnya tumbuhlah aku Ibu bumi dengan sabar dan tekun menetaskan setitik benih Mentari sepanjang hari bersinar memberin makan jadikannya pepohonan Kini pucuk muda itu merangkai dahan menjangkau langit Bertahan dalam hujan dan badai hingga kuat akarnya Ia tak ingin rebah begitu saja kehilangan buah dan daun dalam taufan Negeri tempatnya hidup begitu rentan akan cacing hewan liar lainnya Menggoroti setiap jengkal akal dan pikiran Hingga suatu saat daunnya habis disikat ribuan ulat tak berbulu Tikus-tikus berperut buncit dan berdasi siap menyikat habis lahan halaman Anjing-anjing hitam merongrong tiada henti segala damai Berkoar-koar burung pemakan bangkai di udara sekadar meneror ketenangan Negeriku di mana aku hidup hanyalah tanah lapang yang luas Rumah segala benalu ilalang dan rumput teki yang saling menginjak Tempat segala jeritan dan erangan tak ada habis-habisnya Hingga waktu menguningkan dedaun Mengeringkan ranting Membusukkan akar dan buah Saat itu

ANAK-ANAK PESANTREN

Bersarung dan berkopiah Berkemeja serta beralquran di tangannya Perginya hanya sesampai masjid Berebut alas paling depan Berlomba sujud paling banyak Membaca kitabnya sesering mungkin Suaranya tanpa gentar menggelegar Keramaian adalah kesepian panjang memahamiNya Kecintaan merupakan kerinduan misteri padaNya Rasa kenyang jua hausnya terobati saat merapalkan doa-doanya Menghafalkan nyanyian sunyi pada pedalaman jauh tak terjamah Merintihkan tangis pada Dia yang menciptakannya Mereka asing dalam keterasingan hidup Menjadi benih hilang dalam kekosongan dunia Pulau terpencil di hati yang selalu ingin dicari dalam peta harta karun Pula kehilangan yang ingin kau cari dari keroposnya sendi-sendi lelah Orang-orang aneh ingin kau dekati namun   cinta duniamu begitu besar Lubang yang akan kau masuki demi pelarian dari jeratan belitan Hingga mereka pergi tanpa jejak Meninggalkan sepasang sandal putus Yang tersisa gema azan entah di negeri mana Ibnu Nafisah Kendari, 21 Juli 2

WAJAH BAPAK

Pagi ini di cermin kulihat wajah bapak Berdiri bercukur kumis dan jenggotnya yang mulai belajar tumbuh Mengusap pipinya kini masih lurus tanpa kerutan Rambut itu belum lagi keperakan Pikiran dan kata-katanya masih selaras dijabat hati Kesabaran serta ketekunan tergambar dalam diamnya Bukan batik kesukaan atau acara tv kegemaran yang sedang ia lakukan Tempe goreng ala bapak yang tercium saat mengusap rambut Atau bahkan suara berat dan riang yang terdengar dari gesekan kaca lemari Bukan. Bukan bapak yang sedang berdiri di depan cermin Hanya sebuah raga dan jiwa yang menyerupainya Tersenyum seramah dan sedamai embun tertimpa mentari setelah hujan Mencoba menjadi bapak di cermin dalam kehidupannya Belajar mengikuti segala laku lalu dari orang yang dianggapnya terbaik Mencontoh jadi bapak yang mungkin ia tak mampu tandingi Atau mungkin tak bisa ia jalani? Ibnu Nafisah Kendari, 21 Juli 2016

HUJAN BULAN JULI

Hujan kali ini seperti dirimu Dingin beku berjatuhan dari langit yang tak tentu Mendung seakan mengandung air tapi juga membiarkan mentari menari Sekali jatuh segala duniaku tersungkur mendengkur di rimbanya Kaulah air bening seakan tak hentinya mengalir di dua belah mataku Berdiam diri dalam baju kerja saat lelah meminta menyerah Membuat ragaku gentar gemetar oleh seduh sedan Memercikkan segumpalan sesak di kubangan genangan Segala tanah lumpur menyeret serta noda di roda-roda motor serta kaki-kakiku Segala gigil di jiwa bahkan dekil di wajah merobek seketika Hujan Juli kali ini benar-benar dirimu Berusaha memberi basah dan kelesah di waktu-waktu yang tak tentu Berusaha merdeka dari awan demi selokan meluap menguap Membanjiri tanah pedalaman rumah tanpa ampun terus mengepung Lalu kau hilang dengan titik-titik air di rerumputan halaman batin Bekasnya masih nampak di tembok dinding Warna kecokelatan pada lantai rumah yang dulu kita huni Ah, kau memang hujan bulan Juliku

KUMENCIUMMU DI SINI. DI LANTAI INI

Aku menciumMu di lantai ini Kemarin kemarinnya lagi dan lagi Pagi ini pun itu terulang Di karpet, di ubin, di mana saja ku mau Menjamahi adalah hal tersulit dan pelik Mencoba merasakan hadir meski kau tak hadir Meraba segala khayal wujud meski Kau ada tapi tak mampu kuadakan Menganggap segala cinta berserakan kadang tak cukup kumengerti Menciummu lagi kali ini lagi lagi lagi dan lagi Inginkan surga itu kenikmatan itu kenyataan itu Kedamaian itu sekaligus pengampunan itu Tapi sayang Kau ada tapi sekali lagi tak mampu menghadirkan itu Hingga kumulai berpikir Apakah aku tak cukup tahu tentang Mu Segala cinta juga harapan-harapan Atau bahkan tentang diriku sendiri? Ibnu Nafisah Kendari, 20 Juli 2016

SESUNGGUHNYA

Kukatakan berulang-ulang pada tembok Pada langit pada cermin pada waktu Pada diriku sendiri Sesungguhnya kecantikanmu terletak pada cermin saat kau bercermin Pada make up saat kau berdandan Pada senyuman saat kau melirik Pada amarah saat kau mulai bermanja-manja Padaku seorang Berkali-kali terpadamkan api dalam mata Dalam kepala dalam hati dalam jiwa Dalam sanubariku Namun kau selalu hadir bak sekam tergerus angin rindu Bara tertimbun ilalang kering Lava segar dalam kerak bumi Gelora yang berkobar jadi sesal di kalbu Meski berjuta kata sangkal kulempari Bibir menyemburkan makian Lidah meludah belaka Selalu titik kecil di dasar hati menolaknya Meraung memberontak tak searah Mengobrak-abrik kedamaian semu Kau akhirnya membuatku jadi pembohong belaka Seorang munafik sahaja Yang bodoh dan dungu Penuh sesal dan dendam Ibnu Nafisah Kendari, 19 Juli 2016

YA. KAU BOLEH SAJA

Sudah pasti kau boleh saja menjadi udara Melewati lubang pintu atau jendela yang lupa tertutup rapat Memasuki rumah, ruang tidur bahkan paru-paruku Menempel pada tembok kusam berjamur tanpa lukisan atau foto keluarga yang menggantung Mencium hawa aneh atau anyir karena kotoran si meong di samping rumah Mengendus ubin batu yang mulai berdebu oleh sepi Tentu kau boleh menjadi air Menetes di lubang atap yang bocor Merembesi tembok jadi noda merah di sana Langit-langit menjadi tanda kecoklatan menerawang Bahkan menambah kebekuan jiwaku jika hujan merapalkan doa-doanya Ya. Tentu saja kau boleh menjadi apa yang kau inginkan Selama kau tak mencoba bertanya Atau mengeluh tentang serei di depan rumah yang mulai rimbun Rumput yang tak lagi enak dipandang Mesin air yang tak mampu mengalir deras Atau bahkan jidat ini yang mulai hitam oleh waktu Karena setiap jarak kau buat adalah hasil mantera yang terucapkan sebelumnya Ibnu Nafisah Kendari, 19 Juli 2016

SEMISAL?

Kita misalkan saja sekarang : Ranjang panjang ini adalah kau Sementara aku pula udara Ketika hujan berbaring di atas atap Kudengar dengkuran menetes tes tes tes Tapi tak ada suara menggigil gil gil gil Bahkan semisal anak kita pula selimut Ia hanya tergeletak diam Meski kau peluk ia dalam eram Ketika aku datang dalam lelah Kalian hanyalah ranjang beku Selimut dingin tergolek lemas; gemas Hingga suatu saat aku kan pergi Tak ada suara dalam kamar Karena udara bisu berhembus samar Ibnu Nafisah Kendari, 18 Juli 2016

Yang Tertinggal

Beginilah akhirnya : Sekehendak sunyi Tanpa bunyi Pergi. Sisa sepi  Pintu terbuka Kosong belaka Tak jua damai Renggut ramai Ibnu Nafisah Kendari, 06 Juli 2016

Hari kematian

Dan akhirnya jadi kenyataan Bagai bintang kecil kau mengucil Awan jadi lawan mengaburkan cahaya Makin lama kabur tak lagi bertabur Tiada suara yang kukenal  mengental Wajah sama dulu mengaca terbaca Bahkan tawa dan amarah segala asmara Sekejap terlelap dalam ilusi puisi Dan suatu saat jadi nyata Kau berdiri sendiri tinggalkan bayang Wangi kini tersesat pun tiada berada Seperti cerah jadi gerah mengarah

PEREKA CIPTA

Aku mencintaimu gadis Berparas bulan segaris Dari hati yang kalis Bila malam, kaulah cahaya Kunang-kunang dalam kelam Bersinar pijar berkejar-kejaran Kala gelap merayap Terlelap kalap meratapimu Memimpikan menggenapimu Ah, kau hanya siang yang kuanggap mentari Subuh senantiasa tanggap akan fajar mencari Bunga bermegah meninggalkan kuncup Menarik Namun siapakah Engkau selalu pandai mencipta Sungguh indah memberi setangkai nama cinta Mengerakkan detak jantung tak karuan di antara kita Mungkin Dialah penyebab segala rasa ini Pangkal musabab hati mendera begini Tanpa tahu dari hendak kemana di sini Ibnu Nafisah Kendari, 30 Juni 2016

ASONGAN

Aku tahu arti akan mata itu Sayup kuyup bercerita sesuatu Tangan hitam menenteng bungkusan Harapan yang kau jual bagai bingkisan Aku mengerti ucap pahit terkecap Tiap bibir kerap mengiba mengendap Semua kabar yang tersebar Demi sejengkal sabar kau umbar Aku larut dipandangmu menyusut kisut Kau bagai laut pantang surut beringsut Haru biru memburu jiwa-jiwa Menerka semang at kau puja-puja Inikah jalan panjang yang kau pilih Meski kutahu hidup tak pernah pulih Kan terketik segala harga keringat Yang kau petik sebagai harta pengingat Ibnu Nafisah Kendari, 25 Juni 2016

DI SEPERTIGA MALAM

Bola lampu mengantung menyala Pepohonan berdiri kaku tak tergoyah Subuh basah merayap menjarah Bagai perompak tinggalkan dalam ketelanjangan Mengambil malam panjang seperti gelandangan Menghardik damai laksana suramnya pemakaman Tiada pekik memekak Hanya pekat menyekat Tinggal pelik merangkak Langit masih mengutuk tubuhku Mengetuk tiap sendi rebahku Mematuk jendela resahku Membawa sebuah kenyataan Seperangkat pertanyaan Di sepertiga malam kehampaan Ibnu Nafisah Kendari, 25 Juni 2016

NYANYIAN PEREMPUAN TUA

Anakku, anakku sayang Sini datang sayang Pohon ini telah lama kering Ditinggal penanam ditanggal ranting Anakku, anakku sayang Mari kemari sayang Peluk pinang kian jalang Jenguk inang makin malang Tiada hujan di musim kemarau Segala sepi datang menjangkau Badai datang mencabut aku dari bumi Bagai batuk mengetuk paru jadi mumi Anakku, anakku sayang Sini datang sayang Hanya batang berbonggol di bukit Kini badan bercokol dalam sakit Tiada pandai berdusta selain malam Andai kau tahu kapan ini bermakam Anakku, anakku sayang Datanglah kemari sayang Ibnu Nafisah Kendari, 24 Juni 2016

ANAK-ANAK LANGIT

Wajahku adalah wajahmu Sewarna lampu yang kini memerah Sesepi jejak kau padamkan amarah Tangan kecilmu sama jiwa kerdilku Memaknai hidup tak ingin redup Tampak teguh biar terasa teduh Langkah gontai menyertai Menerabas menebas rasa santai Berdiri tegak terinjak pergi beranjak Suara-suara kelu mengeluh Mengelus damai ramai bergemuruh Bagai debu kelabu jadi abu mengadu Bibir bernyanyi menghibur Sekadar pengenyang pelipur Demi penghangat pemberi semangat Ibnu Nafisah Kendari, 24 Juni 2016

BAWA SERTA AKU

Angin menampar-nampar kainmu yang ingin terbang melayang Sementara ombak terkapar-lapar di tengah samudera mendera Memainkan perahu nelayan terombang-ambing gelombang mengambang Barisan anak pantai dikejar asin laut dalam keterasingan pengasingan Berlomba dengan bayang nyiur menggerinjal jajal siur berkesiur Meninggalkan diri kini tanpa menang meski tenang sedikit kenang meremang Bawa aku serta wahai dara pesisir walau pasir menepikan jadi tersingkir Biarkan aku bergelung bergulung dalam lipatan helai gemulai rambutmu Bawa serta aku sebagaimana kerang dibelah tangan yang kini mengerang Ibnu Nafisah Kendari, 23 Juni 2016

AWAN KELABU

Hujan berbondong-bondong todong Melarung karung berkantung-kantung Segala amarah amanah berdarah-darah Cecar cincang menguncang-guncang Membahana bencana kemana-mana Kutuk mengetuk mematuk-matuk Terdampar diri menampar-nampar Mencari pijak kini terinjak-injak Hingga raga melega melaga-laga Hilang malang palang kepalang Ibnu Nafisah Kendari, 19 Juni 2016

ANDAI

ANDAI Aku bayangkan mentari pagi menari di gelung rambut relungmu Membaca ulir bibir merah merekah terpapar sinarnya Menjelajahi pikir menembus semangat menghembus hangat Ingin kusematkan alunan syair syiar cintamu harapan pintaku Membelai tawa mempelai kata padu jadi satu senyuman Ah, andai saja aku pandai memain rindu menjalin candu dibinar sinarmu Jadi cahaya leluasa mengecup mengecap manis padang garis pandang gadisku Meski kau tak sadari pelukan sehari lekukan jemari tak jua melepas sua merangkai kita berdua Ah, andai saja badai asmara sewarna aksara cahaya jadikan kita sepasang bayang Bergerak dirayu sang bayu berserak malu dibuai angin lalu Ibnu Nafisah Kendari, 06 Mei 2016

KURSI

KURSI Aku telah di sini beberapa jam yang lalu Bibir kita masih bungkam seperti dahulu Diri ini masih saja duduk menikmati mega Kau pun setia serupa kursi menemani meja Ibnu Nafisah Kendari, 06 Mei 2016

AKU MENCINTAI #2

AKU MENCINTAI #2 Aku mencintai duri di hati Darah tak berarah Jarak kian mengarak Tanpa tujuan rayuan Aku mencintai sakit di kulit Nanah yang merana Duka terluka membuka Tanpa akhir terlahir Aku mencintai semua Semau derita Cerita jeritan Berita belitan; nasib Ibnu Nafisah Kendari, 17 Mei 2016

KEYAKINAN

KEYAKINAN Telah kutelan pahit di lidah Demi keyakinan akidah Hingga sepat tuk meludah Melepas bahagia di hati Meluk gelisah berhari berlari Demi jeritan hakiki Ya Allah Kini aku mengalah Berserah dan pasrah Ibnu Nafisah Kendari, 18 Mei 2016

RS BHAYANGKARA

RS BHAYANGKARA Kudengar kau menjerit terbelit lidah beku Tangis hening mengais di tembok kaku Bibir biru memburu waktu memaku pacu Tutup mata katup lemas badan terkemas Resah terpukul desah memantul Telah bungkus lelah ringkus lemah Tetap saja kau diam dalam pendam Bagai malam geram tanpa bulan tampar seram Ibnu Nafisah Kendari, 19 Mei 2016

SANDAL

SANDAL Sebenarnya kita sepasang dalam sepanjang perjalanan Meski bayang bersisian kiri dan kanan Walau bentuk tak sama serupa selama searah Sesungguhnya kita adalah kaki pincang dicincang terguncang Oleh alas kaki yang aus tergerus arus terus-menerus Terinjak kerikil terjerembab lubang kubang berulang-ulang Semestinya kau putus pupus tak lulus saat ini Akupun kandas lantas terhempas seketika itu Karena kita hanyalah sandal handal dalam skandal jadi ganjal nantinya Ibnu Nafisah Kendari, 20 Mei 2016

GEMAWAN

GEMAWAN Akulah puncak gunung yang akan selalu berusaha menggapai Menerabas segala tebas menantang segumpal halang Demi sejumput kabut kau tebar sebar hingga dada berdebar Cangkang langit tempat bergelantung segala rebah Ruang jembar kian kembara layaknya kejora membara Meniupkan semburat semburan sempurna di nadi ragawi Taman lapang rindukan bayang teduhkan sendu rindu Hutan tropis nantikan lapis syahdu syair isyaratmu Hingga kita nyatu padu di pelangi ngarai ceruk lembah Ibnu Nafisah Kendari, 23 Februari 2016

BENAR KATA SS

BENAR KATA SS Kita hanyalah ruang kosong Berharap menampung udara Namun tak kuasa bersuara Ingin menjadi cangkir di pagi hari Dengan kopi sebagai isi Tapi pahit berselisih Lengkung langit maha luas Gugusan planet meruah Tak terjangkau dan puas Benar kata SS Kita adalah padang panjang Gersang bertalu gendang Tiada pohon merindang Rongga dada yang berdegup Jantung dan paru kian redup Kita sesak sesal menghirup Benar kata SS Benar sebataS napaS Ibnu Nafisah Kendari, 24 April 2016

JAm

JAM Kubiarkan saja ia berdetak Memutar waktu sekehendaknya Biar bebas tanpa aturan Mengikuti arah pikiran dari angka ke angka Biarkan dia berlari Karena dunia ini menurutnya hanya masalah nomor Tak ada yang lain selain itu Dan jika ia mulai lelah kupastikan baterai cadangan selalu tersedia Sudah kukatakan padanya agar terus berjalan Waktu terus berputar Membuat kita tua dan rapuh Berhenti sama saja tergilas Dan jika engkau tahu kita berada di dua jam berbeda Berputar tak searah Ibnu Nafisah Kendari, 17 April 2016

LAMARAN

LAMARAN ( Suatu ketika berada dalam perayaan hajatan lamaran ) Harusnya rumah berdinding bata itu adalah kamu Berkumpul menampung menanggung suara beradu Para tetua lapang dada suka cita menyambut Pemuda riang gembira berkumpul mengepul menanti Seandainya akulah sang pendekar dari negeri seberang itu Bertandang bertampang satria meminang sang putri ujung negeri Mungkin saat ini adalah awal dongeng seribu satu malam kata Pertemuan dua adat dalam suatu ayat jadi cerita hajat kita Mimpi yang sebentar lagi akan terwujud Rasa yang tak mudah kemudian jadi terujud Ibnu Nafisah Kendari, 19 April 2016

SEPASANG SEPI

SEPASANG SEPI Rumah ini menyatukan kita Sekaligus menjatuhkan kata; Sepi- Tembok berlalu beku Langit-langit selalu bekuk; Bisu- Berada di satu tempat Berasa di suatu: sempat; Jauh- Jasad berhari tanpa jiwa Jagad berlari hampa jika; Senyap-lenyap Sebut namaku sunyi Dan kau adalah bunyi; Yang bersembunyi Ibnu Nafisah Kendari, 24 April 2016

JANGAN PERNAH

JANGAN PERNAH Tak ingin suara hilang dari liangnya Air terjaga dari telaga mata Jejak terhapus dari telapak Jangan engkau lari lagi Cukup awan berarak Tinggal langit biru berawak Jangan pernah engkau Menjadi darah di tubuh Menetes marah dan rubuh Keringat pekat di kulit Luka teringat dan sakit Jangan Jangan pernah Ibnu Nafisah Kendari, 04 Mei 2016

MAKNA BAGIKU

MAKNA BAGIKU Membacamu dalam buku itu belum seberapa Namun harus melafalkan huruf per huruf pula Menuliskan namamu di atas kertas pun belum cukup Tapi juga digoreskan pada jerit desis suara Dibayangkan pada imajinasi Menemukan pada keindahan Barulah hadirmu terasa dipikiran Ibnu Nafisah Kendari, 04 Mei 2016

GELAS

GELAS Semadyanya kita adalah butiran pasir kuarsa yang terajut menjadi gelas Hingga air bening menenggelamkan kosong di ruangannya Sebentuk bibir telah hadir di permukaan telaga sekadar menghilangkan dahaga Lalu waktu memecahkannya jadi berkeping menyisakan kita di antara luka dan beling Ibnu Nafisah Kendari, 04 Mei 2016

SARAK

SARAK Akulah bibir yang menampung segala cemas saat kau menjadi air di gelas Namun panas parasmu membakar hingga lidah pisah dahaga pada telaga Ingin menjadi pagi membagi sinar hangat dikuntum sang kinasih Tapi bunga layu bagai lagu tanpa syair syiar musik mengalun mengayun Kau asin laut larung dalam tiap cekung samudera Juga ombak yang tak mudah tertebak kapan menjebak Jadi nelayan atau ikan bermain di bawah senyum takdirmu Aku adalah awan tak mampu merabah langit meski bersisian Atau hujan tak jelas jatuhnya karena angin bermain tak tentu Karena linang matamu merambah lubang sedih juga pedihku Ibnu Nafisah Kendari, 27 April 2016

MENUNGGU

MENUNGGU Waktu pun mengetuk Hingga hari mengutuk Tiada jawab terbentuk Mencarimu di udara Kemana langit bermuara Kau tak bersuara Inikah janji hening Bagai kolam bening Kau hanya bergeming Deretan gigir gelisah Bermain memulai kisah Hingga menerus kelesah Ibnu Nafisah Kendari, 26 April 2016

KANGEN

KANGEN Mungkin tak ada kata yang cukup Atau bibir mampu menampung Rasa meluap 'kan mengungkap Masih terngiang desahmu tentang langit semerah bata Laut bersuara burung sewarna bola api yang enggan membara Atau kapal-kapal terombang-ambing mengembara Rambutmu pecah bersama ombak Berurai senyum pukul jiwa berontak Kita saling menatap angin beranjak Tak ada jawab yang mampu merangkum Kau terlipat dalam waktu dan aku semakin jauh terbungkam Hingga waktu bergerak berlompat terjerembab mendekam Akhirnya cuma serpihan genangan Terbaca di lembayung kenangan Tentang senja dalam keremangan Ibnu Nafisah Kendari, 26 April 2016

BENAR KATA SS

BENAR KATA SS Kita hanyalah ruang kosong Berharap menampung udara Namun tak kuasa bersuara Ingin menjadi cangkir di pagi hari Dengan kopi sebagai isi Tapi pahit berselisih Lengkung langit maha luas Gugusan planet meruah Tak terjangkau dan puas Benar kata SS Kita adalah padang panjang Gersang bertalu gendang Tiada pohon merindang Rongga dada yang berdegup Jantung dan paru kian redup Kita sesak sesal menghirup Benar kata SS Benar sebataS napaS Ibnu Nafisah Kendari, 24 April 2016

AKU MENCINTAI

Aku mencintai Aku mencintaimu seperti amarah api pada kayu Menghanguskan bara jadi debu Aku mencintaimu bak ombak yang bergulung Menenggelamkan buih hayutkan gunung Ibnu Nafisah Kendari, 22 April 2016

LEMARI

LEMARI Berlembar pakaian tak lagi terlipat di sana Kain yang telah tercuci hanya terkunci Segala gelisah rasa beradu berpadu jadi satu Akulah pakaian bersih yang tersimpan menyimpang Bergumul sakit dalam almarimu penuh keluh Berdiam diri sendiri menempati ruang yang meraung Mencoba memadati menyadari isi jiwa seakan sesak mendesak Membukamu adalah tantangan pantangan sekaligus Sekali tersingkap terungkap jadi ganjalan ganjaran Menguak menguap segala ucap salah dulu terlupa Kau adalah peti rahasia di kamar tersamar Kan tertutup terkatup setiap saat tanpa sadar Kau pula kotak pandora jadi sayang pun jadi bayang Menggalimu bagai mengail resah di air mengalir Hingga akhirnya ragu terlahir terlampir dibilah pintu Membeku digagang pegangmu menutup segala rahasia risalah Ibnu Nafisah Kendari, 20 April 2016

LAMARAN

LAMARAN ( Suatu ketika berada dalam perayaan hajatan lamaran ) Harusnya rumah berdinding bata itu adalah kamu Berkumpul menampung menanggung suara beradu Para tetua lapang dada suka cita menyambut Pemuda riang gembira berkumpul mengepul menanti Seandainya akulah sang pendekar dari negeri seberang itu Bertandang bertampang satria meminang sang putri ujung negeri Mungkin saat ini adalah awal dongeng seribu satu malam kata Pertemuan dua adat dalam suatu ayat jadi cerita hajat kita Mimpi yang sebentar lagi akan terwujud Rasa yang tak mudah kemudian jadi terujud Ibnu Nafisah Kendari, 19 April 2016

PERSIMPANGAN

PERSIMPANGAN Kali ini aku tertumbuk sekaligus tertunduk Jalan bercabang di depan mengambang Kaki kaku serasa beku berinjak; beranjak Menempuh merengkuh setapak yang kini mengepak Membagi tanya tanpa tanda akan hendak kemana Berbalik memutar waktu serasa menabrak sesal mendobrak kesal Berontak menerjang galak menyerang jarak Maju ragu terasa gagu tak tahu hendak melagu melaju entah kemana Hingga nantinya kita terjebak terhenyak pada satu sampul suatu simpul Akankah jalan terbuka tanpa terlupa bahwa kita pernah terluka di persimpangan Ibnu Nafisah Kendari, 19 April 2016

RUMAH KOSONG

RUMAH KOSONG Pagi bertamu di rumahku kali ini Tanpa salam terobos jendela kini Ia berkata-kata tanpa arah berupaya membuatku marah Mengomentari mentari yang jarang melewati pintu-pintu Debu melekat rekat pada lantai atau jelaga berkelana di sudut-sudut Tembok kusam ditembak oleh jamur di jalur mata Malam menjadi makam siang jadi liang tanpa suara Tak ada sapa di halaman berumput bertumpuk Atau asap di dapur bercampur bau masakan Hening berdenting dari ranting waktu ke waktu Namun aku masih tertidur mendengkur di ranjang telanjang Ia masih berceramah dalam diam mengomel mengorek ruang mengaung Hingga ia lelah sendiri berlari keluar tanpa ijin sekalipun Mungkin bosan atau frustasi Aku tak tahu menahu Tapi kali ini aku ingin ia datang kembali menyinari jasad beku itu Ibnu Nafisah Kendari, 19 April 2016

LANTAI

LANTAI Harus kuakui langkah tak lagi tegap tegas dan tegar Sepasang kaki ini kini nampak kehilangan pijakan; injakan Berjalan-jalan hampir tak mudah seperti dulu Mencari dirimu yang kokoh seperti tertatih di lumpur hisap Meraba-raba bagai tak percaya padatnya tanah Merangkak merangkai tapak demi tapak Menelusuri setapak yang pernah kita lalui namun lalai Aku terseok di simpang timpang di sudut jalan Menerka-nerka rambu yang kau tandai Menanyai waktu yang berlalu Namun semua hampa hambar terhampar menampar-nampar Merenungi lantai yang tak mudah kupijaki Ibnu Nafisah Kendari, 18 April 2016

JENDELA

JENDELA Telah kurangkai tirai di wajahmu yang beku Warna kuning berbentuk Kupu-kupu Terbingkai kaca polos agar mudah kupandangi senyummu Dengan urat-urat kayu kuat menjaga agar raga tak rapuh Tiap pagi dan petang kubilas sekilas debu Hingga mengkilat tak berbanding kaca kelabu Jikalau engkau mengizinkan aku tuk menjadi terali besi Kan kujaga dari maling yang mencoba memasuki hati Tak relakan menggasak rumah kita saat malam tiba Atau bahkan membawamu pergi dari dalamnya jiwa Bahkan mengintip dari ranumnya wajah pun tak terbiarkan Karena aku selalu di sisi menjaga dan memanjakan Ibnu Nafisah Kendari, 18 April 2016

MANGROVE DI BUNGKUTOKO

MANGROVE DI BUNGKUTOKO Ketika aku menemuimu di celah-celah belukar Senyum dan tawa bagai bebas di sela-sela akar Menyapa bertanya mengapa seolah kita tersesat Dalam keremangan daun kegamangan tangkai melesat Di antara jeratan jembatan yang terpijak terinjak Kutahu kau adalah rimba merambah tak ingin beranjak Berada di beranda bersamaku namun tak ingin pergi Ketika kaki hendak melangkah  susuri luka telusuri liku Engkaulah deretan daratan tak puas ditumbuhi bakau Menjelma jadi rawa rawan tertawan rasa tawar di hati payau Seolah kita tak saling ingat paling lupa satu sama lain di sana Seperti seorang asing berjalan sendiri dalam mangrove merana Ibnu Nafisah Kendari, 18 April 2016

KALI LASOLO

KALI LASOLO Harusnya sejak dulu mencumbui deru air Merangkul hitam cadas di bebatuan alir Mencintai pepohonan mencakar mengakar Semestinya sejak dulu jatuh  hati pada laga di telaga Rerimbun daunan beserta sejuk ceruk lekuk terjaga Menimbun diri dari luapan lautan kecil dalam larutan Setidaknya kita bertemu di muara kasih ini Bercakap-cakap disela-sela riak riam kali Menyanyikan lagu lama sama kita puja puji Semadyanya kitalah anak-anak bertelanjang liar Melompat menceburkan diri di deras kerasnya rasa Hingga tersadar kita tersasar pada sungai kini; berenang; terkenang Ibnu Nafisah Kendari, 18 April 2016

KARPET MERAH

KARPET MERAH Entah sudah berapa lama Badan menempel di tubuhmu Hingga kau berubah menjadi merah Jembar tergambar di raga Kulit penuh motif guratan siang ini Kita melewatinya dengan mesra Kau peluk aku dengan manja Angin memainkan desirnya Waktu terhenti sewaktu-waktu Mendam kita jadi dendam Mengasingkan jiwa hingga lelap Membagi cerita dan derita kala itu Hingga terlena pada dia yang tak sadar Pada kita yang berguling di atas karpet merah Tanpa suara tanpa harapan dan tanpa ratapan Sendiri Ibnu Nafisah Kendari, 17 April 2016

JAm

JAM Kubiarkan saja ia berdetak Memutar waktu sekehendaknya Biar bebas tanpa aturan Mengikuti arah pikiran dari angka ke angka Biarkan dia berlari Karena dunia ini menurutnya hanya masalah nomor Tak ada yang lain selain itu Dan jika ia mulai lelah kupastikan baterai cadangan selalu tersedia Sudah kukatakan padanya agar terus berjalan Waktu terus berputar Membuat kita tua dan rapuh Berhenti sama saja tergilas Dan jika engkau tahu kita berada di dua jam berbeda Berputar tak searah Ibnu Nafisah Kendari, 17 April 2016

PINTU

PINTU Tak ada perbedaan antara kita Aku hanya daun panjang di depan rumah Dan kau lubang kecil di sudut daun panjang itu Jika suatu waktu lubang kecil terhempas dan jebol Maka daun panjang nan lebar akan mudah dibuka Ketahuilah tak ada beda antara kau dan aku Hanya memilih tetap berada di sisi dalam Dan kau berada di luar Hingga rumah kita hanyalah rumah beratap berharap tertutup dan terbuka Tanpa ada kau dan aku di sana Mengunci Ibnu Nafisah Kendari, 17 April 2016

BANTAL

BANTAL Semalam kita berpagut tiada henti hingga letih Kamar menutup mata karena gelap senyap dan akhirnya lenyap Lantai tak sedingin pantai berhembus santai sampai merantai lelap Inilah hari kesekian kalinya dinding memberi kesaksian tentang keseksian kita di atas ranjang Tapi kali ini tanpa siapa-siapa tanpa sapa tanpa suara di udara Hanya sebungkus bantal yang mengental telah lama kukenal Pengantar ketidaksadaran-ketidaksabaran melewati waktu Bagai jembatan titian sampailah kita di pagi hari dengan jari-jari yang masih utuh Kepala yang masih pada tempatnya tepatnya masih hidup Demi memeluknya di makam malam yang telah karam Berteman jeritan jeratan kelam yang tak berkesudahan hingga berkesusahan Lalu melagu melayu seperti malam malam sebelumnya di taman alam bawah sadar yang biasa kita kunjungi Kemasilah relasi, teman, sahabat, yang hendak ikut serta mungkin juga kinasih, kekasih, atau kedasih segara Sebelum sauh ditarik bahtera jauh berlayar ke pulau-pulau yang tak per

SELIMUT

SELIMUT Hampir kulupakan ingatan tentang dirimu yang mampir menampar Layaknya semut melewati urat-urat aurat merengkuh aku bagai selimut Menggenggam dalam napas tak kunjung terbalas Menutupi resah mendesah karena gelisah mengasah Sebagai penghantar tidur mungkin juga melindur Ah, wajahmu saja sudah kendur di kepala Masih juga inginkan bunga tidur Tapi biarkan hari ini aku bebas Bebas dari bayangmu Dari wujud yang menghantui Dari kesumat ini Biarkan aku tenang Meski itu hanya mimpi Mimpi yang terbayar saat kita bertemu di dunia mimpi Ibnu Nafisah Kendari, 16 April 2016

RANJANG

RANJANG Terbaring di sana hanya jasad Roh ini telah lama melayang; terbang Bagai layang-layang putus gentayangan Tubuh itu bukan tidur namun dingin membeku oleh belaian Berselimut gelap segenap lelah semakin kalap Dengkuran bertabu itu bukan nyenyak namun luapan kesedihan; menyedihkan Suara itupun bukan ingauan tapi teriakan kekesalan oleh derita di malam kelam Mimpi yang tak kesampaian Atau bahkan harapan tak kunjung berujung Dan ini bukan ranjang Ini hanyalah dunia tempatmu berlari Agar esok jika engkau terbangun telah siap tuk hadapi pedih; perihmu Ibnu Nafisah Kendari, 16 April 2016

TEMBOK

TEMBOK Ingin kutulis putih pada tembok Atau merah pada kepala Luka pada hati Teriakan pada udara Melonglong bak anjing Karena kelaparan oleh sepi Dihianati waktu Serta diperangi rindu Ingin kucoret goreskan hampa di dinding terjal Percikan amarah kepalan tangan Ludahi saja tinggal pergi Mungkin pula percikan darah di sana Sambil menahan luapan di dada Air pada mata Bukan karena sedih tapi pedih Merana meraba ruang kosong yang melompong ........ Selebihnya kau tahu sendiri Karena aku tak ada saat bayangmu semakin jauh di ingatan. Ibnu Nafisah Kendari, 16 April 2016

LELAKI YANG MENCINTAI LANGIT

LELAKI YANG MENCINTAI LANGIT Aku mencintai langit yang berwarna kelabu meski terasa meragu merayu dirasa Kadang ambigu pada angin sepoi di sudut awan menyulut gundah dengan mudah Aku mencintai langit yang menjatuhkan air dari tiap jejaknya membasahi pohon, rumah, tubuh, juga bibir rahimmu Hingga kau mengandung melahirkan mendidik anak-anak hujan yang selalu ceria membanjiri halaman ilalang Aku mencintai semua tentang langit awan yang tak lagi cerah rintik menggelitik rembesan di sela-sela tembok bahkan genangan air di jalan berlubang yang kadang menciprat teriakkan Atau bahkan desahan di selokan, rintihan napasmu diriak arus yang kian menguning hingga aku terdiam bagai laut menampung segala gejolak amarah sungai Sungguh. Aku sangat--sangat mencintai langit, udara lembab, tetesan terakhir di ujung atap, bulir-bulir sembab yang kini merayap di lantai teras hatimu Karena hujan suram semalam menempel pada kaca jendela membentuk lelehan di wajah buram sang tirai hujan Seperti hari

GERIMIS

GERIMIS Ia hanya ingin berjalan dalam rintik tanpa kritik sepanjang pandang Menghentak kaki di tanah basah berharap resah terciprat dari sana Celana berlumpur berlumur sesal pun kesal berkumpul menghimpun Ia hanya ingin menjadi air usap mata yang kini mengalir Bias di tembok putih hingga jingga lukanya ditebak duka Lalu lumut turut menuntut tempat di dada yang sesak Kali ini ia hanya ingin memaki meski suara hilang di udara Teriak kencang dan lantang pada gerimis agar hati tak teriris Memecah senyap membelah lenyap hilang menguap Ia tak habis-habisnya jatuh ke bumi berdenting pada ranting Tertawan dahan tertahan  daun agar tak terurai kata terbuai lara Melewatkan waktu sendiri berdiri dalam diam terbawa angin hingga ke entah Ibnu Nafisah Kendari, 24 Maret 2016

PETANG

PUISI PATIDUSA TANGGA ««««««««««««»»»»»»»»»»»»»» PETANG Engkaulah cangkang langit sore Mambang kuning rembang Ambang remang Menoreh Gigir gunung tersaput lembayung Meronta pucuk kemuncak Cahaya larung Lesak Di lembah punggung melindang Kulepas bebas nyalang Lindap bersarang Bayang Payung cakrawala ruah meraung Dikebas kepak burung Tinggal pergi Perigi Redup teduh melingkup runtuh Tubuh retak tumbuh Tulang menetak Pulang Bagai baskara tenggelam karam Kau gelap menghitam Genap mengeram Alam Ibnu Nafisah Kendari, 21 Maret 2016

INGIN

INGIN Aku tak ingin mencintai luka Karena air mata kan menganak sungai sewarna darah Dan tak pula membencinya Sebab ia mengadung racun melahirkan sepekat nanah Aku hanya ingin menjadi perban di hati pada hari-hari yang pedih; perih Membalut dendam terpendam Mengobati geram meredam Jadi ramuan dalam rayuan meski sekadar cerita dalam derita Atau bahkan sebuah lagu yang menenangkan ragu Aku hanya ingin jaga setiap raga Menatap erat tiap urat yang meratap Menghitung detak jantung yang berderak Hingga nanti luka ganti lupa jadi suka Darah terhenti amarah tersentil jadi asmara Aku inginkan engkau menjadi rindu karena terpisah berwindu-windu Aku inginkan engkau jadi cinta sesuatu yang lama kucita-cita Dan tak ingin engkau menjadi bayang dalam hidupku yang kini melayang-layang Ibnu Nafisah Kendari, 19 Maret 2016

KITA DAN HUJAN

KITA DAN HUJAN Malam itu hujan turun deras dalam mimpiku Ranjang tempat berenang menjadi sungai berarus Tembok kamar adalah butiran berjuta air dan syair Menelan bayang kita yang kini terapung terpasung Atap kamar seolah-olah langit mendung Menangkap; ungkap kita dalam hutan hujan Tenggelam dan karam di dunia tak bernama Namun sekejap hilang di badai meski bersama Hingga halilintar menghajar tubuh kita yang basah Lalu aku terbangun di tengah riak riam bayangmu Berharap kaulah hujan itu, selalu mendekap rubuh Menggigil runtuh dalam dadaku mengalir dalam darahku Tapi sayang kita terdampar ditampar kenyataan Dan masih mengais tangis dalam ramainya rinai hujan Ibnu Nafisah Kendari, 18 Maret 2016

AIR HUJAN

AIR HUJAN Ketika memutuskan jadi air mata di pipimu yang bening Aku mengkultuskan air hujan diantara kedua kening Mencari semangat di tiap rintik riciknya Menjadi hangat meski bibir getir ketirnya Selagi deras terus menggerus dari sungai kecil hingga muara merajuk Sekali itu kubiarkan dialiri lirih sepimu yang kini rentan merajut Ibnu Nafisah Kendari, 18 Maret 2016

MENDUNG

MENDUNG Engkaulah langit berkerudung Bermain ragu berkain kelabu Mencoba menahan sedih pedih Berpura-pura berseri-seri Air mata hanya gumpalan awan Sesak jadi kumpulan tertawan Tak jua tersedu-sedu Hingga basah merintih-rintih Semakin kelam rejam di cakrawala Semakin dalam geram di geladak jiwa Ibnu Nafisah Kendari, 18 Maret 2016

ANGIN SUNYI

ANGIN SUNYI Detak jam begitu nyata menggertak Pada suara angin membelai udara Berderai tidurkan ramai yang kini lupa akan luka Angankan aku adalah angin itu Yang tak merajuk meskipun lelah Hendak menuju lekuk daun telingamu untuk istirah Sebab aku ingin melipat jarak yang kini beranjak untuk berarak Menggulung waktu lalu. Semakin beku dan kelu Hingga tak terasa lagi sakit oleh pahit detik itu Pahit yang terbit usai diperam sedetik tadi Oleh bersit rindu yang bangkit dalam sedetak nadi Ketika membayangkan parasmu dalam semedi Yang ada hanya siut Yang nyata cuma kesiur Selebihnya udara kisut yang simpang siur Dan perihal sesal yang menjelma berjuta amsal Tetap tinggal, tak mau tanggal Janggal dan kekal Ibnu Nafisah & Sigit Jatikusumo Kendari, 16 Maret 2016

GEMAWAN

GEMAWAN Akulah puncak gunung yang akan selalu berusaha menggapai Menerabas segala tebas menantang segumpal halang Demi sejumput kabut kau tebar sebar hingga dada berdebar Cangkang langit tempat bergelantung segala rebah Ruang jembar kian kembara layaknya kejora membara Meniupkan semburat semburan sempurna di nadi ragawi Taman lapang rindukan bayang teduhkan sendu rindu Hutan tropis nantikan lapis syahdu syair isyaratmu Hingga kita nyatu padu di pelangi ngarai ceruk lembah Ibnu Nafisah Kendari, 23 Februari 2016

LANGIT

LANGIT Seluas angkasa raya rasa hendak kubentangkan Melampaui segala resah yang kau hujat hajatkan Merengkuh segenap lelah kalap kian lelap Kupuja-puji engkau sebagai bintang gemintang Tampung bagai udara, terbang ibarat burung dara Kuhirup sepenuh nikmat, kasihi setulus jiwa raga Ke mana pun engkau akhirnya terbenam; tenggelam Kupastikan cahaya syahdu membara; bergelora Menjadikan lukisan alam karam dalam kagumku Ibnu Nafisah Kendari, 23 Februari 2016

SAMUDERA

SAMUDERA Di antara laut kupuja hanya birumu yang berdebur Menebar debar mengguncang kencang Ibarat buih putih tak ingin pulih pilih tenggelam dalam genggam Tak pernah puas terselam luas tubuhmu membuas Jerit jerat ombak pun tak jera jura pada jelita Meski seluk beluk berpeluk hingga runtuh rubuh tubuh Akulah kapal tak gentar gemetar menerjang serang Meski asin terasa asing sesaat pun ingin tersesat Bergumul berguling berharap dirajam kasih yang maha asih Ibnu Nafisah Kendari, 22 Februari 2016

PENYAIR PENABUR JANJI

PUISI PATIDUSA ORIGINAL «««««««««««««««»»»»»»»»»»»» PENYAIR PENABUR JANJI Kudengar seruling bambu merdu Pucuk bunga segar Menuai lagu Mekar Bibir Pantai melipir Bergulung bagai ombak Dewa amore kian berontak Masih mengalun degup jantung Kita terbuai menggantung Seekor mengular Menampar Caping Menggeliat picing Wajah manis berbayang Mulut mendesis tangis melayang Aku masih merindu asmara Datang bala membara Bukan syair Penyair Ibnu Nafisah & Herlina Z Nissa Kendari, 21 Februari 2016

KEKASIH

KEKASIHKU Benih yang kita sebar Pagi ini bertumbuh Pucuk mekar Mencumbu Bunga Pewangi jiwa Sirami derai aksara Membuka lagi tabir asmara Tak kusangka kembang merekah Mawar merah berdarah Penuhi duri Menjari Menyala Luka menganga Syairmu tergores berbisa Gemas cemas segenap resah Menanti esok pagi buta Kau datang membuka Segala onak Terkoyak Tanpa; Tanda tanya Tanpa; tampak tercampak Tanpa; tertampar wajah telapak Ibnu Nafisah & Herlina Z Nissa Kendari, 21 Februari 2016

KOSONG

KOSONG Ruang kosong yang kau tinggalkan kini melompong Bersisi tiada berisi bak gigi tanggal jadi ompong Udara hampa terhampar jadi hambar Langit tak berwarna karna terasa jembar Ragaku terjaga tanpa nyawa yang nyata tanpa api menyala Akulah gua kelompang tiada gema gaung menyapa Kurang tulang pada rusuk tampak hilang dan menusuk Bagai bangkai berserak tak bergerak kian membusuk Ibnu Nafisah Kendari, 02 Februari 2016

SENJA

SENJA Kusebut namamu senja hari Karena engkaulah mentari Redup teduhkan hati Menghangati Temaram Cahaya membara Belum juga terbenam Di ujung cakrawala mengembara Akulah burung pulang sangkar Menyelam dalam rindu Inginkan terbakar Cintamu Ibnu Nafisah Kendari, 02 Februari 2016

SEGALANYA

SEGALANYA Jika saja langit terbelah memisahkan kisah Bumi berserak retak bergerak menjauhkan kasih Aku tak ingin menjadi angin berhembus; terhapus Ungkapkan rasa kemudian susut kusut kan pupus Karena akulah sakit yang inginkan engkau jadi obatnya Gigil menggigit dambakan rebahmu sebagai selimutnya Waktu menebas jarak mendekat lekat merekat di sisimu Perpisahan yang selalu kembali berpindah ke dada dadimu Ibnu Nafisah Kendari, 02 Februari 2016 ----------------------------- Catatan Kaki : Dadi : Pertemuan antara bujang dan gadis pada upacara adat di kalangan suku Pubian di Lampung

SUBUH

SUBUH Dalam keremangan ketenangan pagi buta Di antara syair Sang Maha Penyair cinta Terjaga rebah dari tidur di barat merekah ke timur Tebar sebar pada sinar senar di balik pucuk Sentuh sentil jiwa mati di kapuk lapuk Memadu hati kian aduk memandu hari redam amuk Mencumbui buih embun di tikap yang rimbun Berkelip kedip diterpa surya pagi di antara halimun Mendekap sekap resah kesah jadi damai Ibnu Nafisah Kendari, 03 Februari 2016

SORE

PUISI PATIDUSA ORIGINAL ««««««««««««««»»»»»»»»»»»»» SORE Selamat sore gerimis mengiris Merubah hujan menangis Kubiarkan mengalir Membanjir Nikmati Merasakan basah Sentuh perasaan mati Siram kesepian kian tambah Aku kemarau rindukan genangan Cipratan air kenangan Bagai gendang Berdendang Menari Menyanyi pilu Hilang penat merintih Digores sakit pedih sembilu Ibnu Nafisah Kendari, 03 Februari 2016

PAGI

PUISI PATIDUSA ORIGINAL «««««««««««««»»»»»»»»»»»»»» PAGI Selamat pagi jiwa kelana Berdiri gelisah merana Menanti mentari Menari Pepohonan Hijau dedaunan Melambai diterpa sepi Bergoyang tanpa bayang diri Hujan yang semalam dendam Membawa segala pendam Tinggalkan redam Padam Tanah Menghampar ramah Terbentang memulai hari Semangat baru mewarnai hati Ibnu Nafisah Kendari, 03 Februari 2016

SIANG

PUISI PATIDUSA ORIGINAL ««««««««««««««»»»»»»»»»»»»» SIANG Selamat siang wahai manusia Benakmu semayam usia Merangkak jeritan Jeratan Pengalaman Segenap petualangan Menjejak hidup pedalaman Warnai lika-liku di perjalanan Baik buruk telah tercecap Asam manis tertancap Lewati huru-hara Prahara Simpang Kadang menghadang Memaksa pilihan putusan Penanda diri penentu jurusan Apakah kita telah belajar Sadari dosa; salah Menyesali sasar Kalah Bertobat Bersegera insyaf Sakit yang berobat Tanggalkan noda dan khilaf Ibnu Nafisah Kendari, 03 Februari 2016

SEPI

SEPI Akulah serangga yang menjelajahi tembok rumahku Merayap tanpa kata meratap membisu Kaca jendela takkan mampu membanyangi Bagai air mata terkabut buram terpandangi Hei! Ada laba-laba memintal sepi di sudut rumah Dan aku terperangkap sedih tak kuasa meronta Ibnu Nafisah Kendari, 13 Februari 2016

GELISAH

GELISAH Ombak bergulung-berguling Hanyut terombang-ambing Kapal nelayan lautan Gelisah serupa setan Apakah melompat; tenggelam Bertahan; pecah, karam Ibnu Nafisah Kendari, 13 Februari 2016

RINDU

RINDU Ketika psikopat dilanda frustasi Ada gairah mengalir berfantasi Desakan bawa sadar menggerayangi Nikmat jeritan datang menghantui Derita rindu itu, kini mendera Hasrat yang kuingin tak jua jera Ibnu Nafisah Kendari, 13 Februari 2016

MUAK

MUAK Jangan ditanya rasa tuak Mabuk cinta menyeruak Di ujung lidah terasa manis Saat terbakar pedih menangis Kini kumenawar dalam satu meja Muntah  kemarin basah di kemeja Kau muak pergi dan mual Tawaku tertawan membual Ibnu Nafisah Kendari, 13 Februari 2016

MALAM

PUISI PATIDUSA ORIGINAL ««««««««««««««»»»»»»»»»»»»» MALAM Selamat malam gelisah petang Segenap lelap merentang Nyalakan pelita Renta Gelap Hitam kalap Membekap dekap padam Menyekap sikap, nafsu mendam Semakin kuikat kuat meliat Desakan menari bejat Angin goyah Rebah Jatuh Benci berbuah Kita semakin rapuh Dosa membukit kian jauh Air mata layaknya rubah Sehari tobat; sumpah Esok sampah Berulah Iman Lautan ber-ikan Berenang dangkal, tertangkap Selam laut dalam, terperangkap Akulah kapal hendak karam Berada tapal batas Antara geram Redam Ibnu Nafisah Kendari, 12 Februari 2016

PANTUN CINTA

PUISI PATIDUSA TANGGA ««««««««««««««»»»»»»»»»»»» PANTUN CINTA Tanam bunga mawar melati Disiramnya tiap hari Kembang mekar Segar Duhai sayang pujaaan hati Engkaulah sang mentari Buatku tegar Sabar Wangi kelopak mahkota putik Merasa enggan kupetik Hiasi taman Halaman Engkau pula bidadari tercantik Jemari tanganmu lentik Tebar senyuman Menawan Ibnu Nafisah Kendari, 30 Januari 2016

AWAN

AWAN Jika saja aku langit Kan tercipta bait Puisi awan Menawan Mega Bertahta megah Kutulis indah aksara Isi tiap halaman asmara Lengkung kosong di cakrawala Hiasi sosokmu belaka Riasan jelita Angkasa Ibnu Nafisah Kendari, 30 Januari 2016 ----------------------------

LAUT

LAUT Kuingin jadi gelombang, terombang ambing dalam pelukan Riak mencumbui buih dalam dekapan Angin membelai mesra, sepasang mempelai saling memadu Ketika sang nelayan tebar jaring jadi kelambu Kuingin kau jadi samudera luas tak puas dan buas aku selam Menebas badai menerabas bagai bahtera yang tak karam Ibnu Nafisah Kendari, 31 Januari 2016

SITA

PUISI PATIDUSA ORIGINAL *********************************** SITA (Trilogi Ramayana) Bersedih di Taman Asoka Tebar keagungan cinta "Sayangku Ramacandra," Jeritnya Dewi Sang bunga Mekar sekaligus berduri Kepada siapakah akhirnya mengada Raja Ayodhya sang peragu Penguasa Alengka angkara Rakshasa perindu Anggara Tidak! Pada semua Sukmaku pun melesak Desak berderak dan berserak Aku bukanlah piala rebutan Sebutan debat taruhan Rasa kegagahan Kelakian Hawa Akulah wanita Menunggu kehadiran pria Menjemput reratu kekasih hatinya Jika bahkan kobaran api Raga kan berapi Bumi terbelah Menganga Pupus Aku mampus Tak jua terhapus Engkau di kalbu terhalus Karna raga titisan Laksmi Dirimu pula Wisnu Gelora bersemi Merindu Setia Menanti semati Dengan atau tanpa Cinta suci nan sejati Ibnu Nafisah Kendari, 22 Desember 2015 ----------------------- Catatan Kaki : Sita : Shinta Anggara : buas, liar

MATAHARI

MATAHARI Meski kutahu panasnya cinta bergelora Hangat menyengat luruhkan ngengat membara Silau galau pun ikut menyikut Kadang didihkan sedih pedih yang mengembara Hingga lumer meluber dari aras jiwa lara Jadi uap tak terucap rasa tiada terkata Daku tak akan ragu lelah merayu Menanti ciuman saat siuman dari malam panjang Mengharap tatap rimbun mengembun datang melayang Menyinari pepohonan yang mohon kau tumbuhi Sampai hilang tak terbilang tabah merambah sembahku Ingin kau jadi sinar berbinar meski samar rindu Kan kumenangkan kenangan tentang dirimu Mendapatkan lagi pagi cerah merah tercurah Hanya buatku kekasih kinasih yang kau kasihi Tanpa takut akut dibuai belai rasa mendera Ibnu Nafisah Kendari, 30 Januari 2016

APEL

PUISI PATIDUSA TANGGA ««««««««««««««»»»»»»»»»»»» APEL Relakan kau cacah tubuhku Tak mencegah itu Jadi kaku Dadu Dibelai manja gigi gerigi Rasakan hangat lidah Susuri geronggang Lengang Ketika renyah remah teresapi Aku sungguh menikmati Sukmaku penuhi Suguhi Tanpa pernah kau sadari Akulah sumber vitamin Dahaga terobati Amin Ibnu Nafisah Kendari, 30 Januari 2016

GUNUNG

GUNUNG Adalah kau menjulang mengulang dalam ingatan Tak henti-hentinya menggoda bagai roda menggelinding di pikiran Kudaki meski kaki berkali jatuh patuh dan patah Hingga hilang silang arah di rimba rambah Akulah pohon yang memohon tetap tinggal ketika tanggal dari punggungmu Karena kutahu kau akan longsor dan lengser tanpaku Ibnu Nafisah Kendari, 30 Januari 2016

HARUS TERPISAH

PUISI PATIDUSA BIAS «««««««««««»»»»»»»»»»» HARUS TERPISAH Diam Diam membisu Bisu dan geram Geram pada cinta biru Coba 'tuk meraih mimpi Kau hentikan mimpi Aku pergi Kembali Merenung Selalu tercenung Segala aral  menggunung Membumbung dan tak terbendung Kumenangis kau pun tertawa Berduka engkau bahagia Aku lari Jauh Akhirnya Harus pisah Darah tak searah Haluan tak lagi seirama Jalan takdir sungguh singgung Saling silang tanggung Harus terpisah Kisah Ibnu Nafisah Kendari, 29 Januari 2016

MIMPI

MIMPI Ketika rindu menggebu, menggebuk lirih Aku hanya ingin tidur mendengkur sepanjang hari Pun sepi bersemi menutup mata, terkatup puas Hingga terselam di alam cintamu yang maha luas Karena akulah ngantuk, mengetuk engkau dalam mimpi Menggapai angan tak bertangan meraih asa tanpa rasa demi hasrat yang kuimpi Ibnu Nafisah Kendari, 29 Januari 2016

KAKI

KAKI Malam seakan makam berjalan tanpa berpijak Siang saling silang seok tertatih tak lagi menjejak Begitulah nasib meracik picik hidupku, sayang ... Berlari tiada bayang dan melayang Tanpamu aku lumpuh rapuh jadi lepuh Buntung hidup tak beruntung jadi keluh Ibnu Nafisah Kendari, 28 Januari 2016

MUNGKINKAH TERJADI

PUISI PATIDUSA TANGGA ««««««««««««««»»»»»»»»»»»» MUNGKINKAH TERJADI Kita hanyalah bulan bintang Saling diam pandang Mereka-reka hari; Berganti Engkau nun jauh terjangkau Kupun kian merantau Tak pantau Meracau Kau ada yang memiliki Begitu pula aku Sama kini; Laku Hanya renjana jadi rencana Menunggu waktu bicara Mungkinkah terjadi; Nyata Ibnu Nafisah Kendari, 28 Januari 2016

AKU PASTI KEMBALI

PUISI PATIDUSA TANGGA ««««««««««««««»»»»»»»»»»»» AKU PASTI KEMBALI Air mata kata membisu Menatap diam lesu Memohon tinggal; Untukmu Kau peluk seluk tubuh Cium mesra merayu Coba runtuhkan; Menahan Kau katakan jangan pergi Mohon tetap bertahan 'Tuk temani; Sepi Namun ku hanya berkata Aku pasti kembali Mendapat cinta Lagi Tapi kau jangan nakal Aku pasti kembali Bakal tagih; Janji Ibnu Nafisah Kendari, 28 Januari 2016

DEBU

DEBU Ketika angin bertiup meliuk dari entah ke mana Hidup ini sebatas debu menderu berseru-seru kelana Terbawa terbata ke tempat nyata Di dunia fana buat kita raba merana rasa Tak sempat lari kan tersendat Terjepit sejengkal kan terjungkal Namun kita pula abu yang tak kalah diadu Tak mudah menyerah sebelum dadu diundu Bila mungkin menusuk mata takdir hadirmu jadi nadir Sekali usap dunia kan pedih perih menjerih Ibnu Nafisah Kendari, 28 Januari 2016

KARANG

KARANG Samudera luas buas membentang Merengkuh aku dalam gelombang; menentang Air pasang bak pedang datang mengangkang Rubuhkan tubuh kian terjengkang Tapi akulah karang yang garang Tak mudah terhempas terpapas; nyalang Tekad bulat mencuat sekuat baja Raga terjaga melaga demi cita, cinta dan cipta di masa yang tak mudah Ibnu Nafisah Kendari, 28 Januari 2016

LANGIT

LANGIT Tak ingin menyekapmu dalam dekap kubiarkan terbang lepas lekas sesuka sekehendak Karena kutahu ke mana mega melesak Akulah cekung langit melengkung Kan tampung risalah hati yang mengungkung Hingga akhirnya kau datang menantang Meminta kujadikan awan menawan Hiasi cakrawala petang tanpa perang Tanpa pernah merasa tertawan Ibnu Nafisah Kendari, 28 Januari 2016

PINTU

PINTU Debu dan beku itulah takdir cintaku Tak sanggup bergerak berderak tanpa hadirmu Aku berdiri menyendiri di rumah tua ini Bercat lusuh hingga luruh segala rintih Inilah aku yang sebenarnya Layaknya pintu pinta kau sebagai kuncinya Membuka tabir tabur segala tabu yang meragu Bebas tebas segenap ikat terbelenggu Karena takdir telah tertafsir sejak dahulu Aku ada untuk dibuka olehmu Ibnu Nafisah Kendari, 27 Januari 2016

MAKAN

PUISI PATIDUSA TANGGA ««««««««««««««»»»»»»»»»»»» MAKAN Meja kursi kembali beradu Berpadu siang dahaga Raga mengadu Rancu Kucaci ikan di piring Memaki sebakul nasi Segelas kering Terlunasi Amarah tak kunjung redah Capcai pun kuhujat Tandas remah Khidmat Ibnu Nafisah Kendari, 26 Januari 2016

ITU AKU

ITU AKU Jika suatu waktu kaki lakumu telah lelah Jiwa raga ragam terlalu lemah Lari pergimu tak lagi kencang Langkah gontai intai hidup tak jua kenyang Ingatlah rumah ramah yang dulu kau tuju Bintang bentang selalu kau tunjuk Renungkan lagu lalu biasa terucap Gang panjang sering tercecap Pikirkan kembali baju hangat sangat kau rindu Senyum sebelum tidur buatmu Itu ....       aku .... Ibnu Nafisah Kendari, 26 Januari 2016

SEPERTI MATI LAMPU

SEPERTI MATI LAMPU Adalah bintang yang bersinar berbinar Rembulan berpijar di langit berkibar Perangi, terangi hatiku dalam kelam malam Kaulah lentera bergerak bak bendera mengangkasa Jendela bertiup titipkan sepoi rasa dan asa Engkau pula kekunang di hutan hujan tiada pelita Duniaku seperti mati lampu ya sayang .... Tak ada rindu menggebu  randu menderu senyum membayang Seperti mati lampu ya sayang, tiadamu seperti mati lampu ya sayang .... Ibnu Nafisah Kendari, 26 Januari 2016

SUNGAI

SUNGAI Deras riak riam alirmu Tak jua redam jeram jerat geramku Arus terus menggerus Tak henti-hentinya mengaus Membawa selaksa  kisah mulai terpisah Dibekukan oleh kekakuan laku kelesah Aku hanya dapat menganak sungai di ruamnya hatimu Melipir melipur liputi segenap garis lekuk peluk rambah rambu Hingga bermuara di laut berkabut Meruah meraup segala rayu ragu tak putusnya berlanjut Ibnu Nafisah Kendari, 25 Januari 2016

RUMAH #2

RUMAH Ketika aku adalah rumah Di sisikulah tempatmu berpulang Meletakkan tubuh lelah hingga subuh Cerita berita dan derita kan ternaungi dipikirku Terlindungi dari cahaya dan bahaya Menjaga segala resah remah rebahmu Akulah arah dari segenap tujuan darah nadi Menghulu-hilir parit sungai kisah kasih Bertubi-tubi tiba di penjuru ribuan tubir tabirmu Tembok kokoh yang kau butuh buat membaut bulat sandar sindir kelesah gelisah Ruang kosong jerit jerat hinggapmu dianggap berarti Ubin pijakan di kala raga terasa kalah dan salah oleh dunia Kembali kenali kendali hidupmu di tiang tilang atapku Di tingkap tangkap tertinggi jendela yang terbuka Di sana padang panjang ranjang kita memandang Masa muasal dari segala asal kebaikan menunggu Menanti bayang datangmu di teras deras hari-hariku Mengetuk ketik jentik rintik jemari di pintu hati Kembalilah di tempat tulang rusukmu dulu bermukim Di rongga dada dahulu kau huni sebagi bumi akhirmu berada Mengisi satu waktu walau itu teras

HUJAN

PUISI PATIDUSA ORIGINAL ««««««««««««««»»»»»»»»»»»»» HUJAN #2 Engkaulah hujan malam dingin Terbawa buaian angin Tetes berjatuhan Pepohonan Mengalir Matamu berair Deras menisik jalanan Merintih rintik atap rumahan Akulah gelap merayap samar Peluk hangat gigilku Dekap sabar Resahmu Ibnu Nafisah Kendari, 24 Januari 2016