Posts

Showing posts from 2017

MUSSAENDA

MUSSAENDA Kumenemukannya bersemayam di halaman yang anggun tak seberapa luas Menengadahkan wajah diantara reranting sewarna kuas Bila kabut menampar pagi dan tubuhnya hanya beku diremputan Segala rapalan yang ia sebutkan dalam bibir sesepi kuburan Tiada lagi tangisnya di udara sebagaimana sinar pertama mengecupnya Pun tawa yang terdengar jauh di entah sebagaimana rintik hujan jatuh memeluknya Dari teras rendah beratap sepi kumelihatnya mengecap sesal Alih-alih bertapa hilangkan gundah kelopaknya jenuh terasa gagal Karena resah tanah menangkupnya jatuh Sementara gelisah jiwa menangkapku rapuh Kendari, 16 Oktober 2017 IBNU NAFISAH

PURNAMA

Purnama Ingin kusebut itu sebagai nama Yang bermanja-manja di dada malam Memanggil-manggil rindu dipangkuan kelam Padanya aku meminta meninabobokan Melantun syahdu rayu belaiannya kuimpikan Oh, purnama yang merambati malam Berkejaran dalam jiwa temaram timbul tenggelam Kendari-Madura, 08 Oktober 2017 IBNU NAFISAH-LAYYINA HALWA

RANDU

RANDU Lalu akhirnya sepi kembali pada sunyi Daun-daun kuning berguguran Batang-batang tegas berdiri gersang dan ganas Tidak. Tidak sekali ini angin barat hangat merambat Kelelawar bagai buah busuk menari dirusuk-rusuknya Menjadi dedaun menutupi tubuh tanpa gaun Berdiri kaku sendiri jadi beku oleh senja Kemerahan di kejauhan kegelapan berdekapan Berbisik-bisik diam gemerisik alam Tanganku candu anganku randu Duri-duri tajam menghujam tubuh Oleh dahaga menggelegar gelagah Reranting melenting jatuh beradu bebatu Ditinggal senyap kapuk-kapuk tanggal lindap melapuk Hanya hening yang berdenting ketika gelap datang merayap Kendari, 10 Oktober 2017 IBNU NAFISAH

BILAMANA JAUH

   BILAMANA JAUH Bilamana hari masih pagi Saat kubuka mata Tiada mentari Menyapa Atau Kususuri malam Tanpa bulan merantau Pada taring langit tenggelam Bilamana kucari di mana-mana Padang dinding beku Lantai kelana Semu Hati Katanya dalam Tanpa batas melingkupi Jua luas sebagaimana karam Mungkinkah ini namanya hampa Saat jiwa menjauh Hilang tanpa; Bersauh Tahu Aku tahu Kita telah kalah Saat pertama kali mengalah Kendari, 17 September 2017 IBNU NAFISAH

JENDELA

JENDELA Di jendela rumah kita tiba-tiba aku jadi tuli Tak kudengar suara lama pernah kurindu Di kala pagi berkabut di atas pohon di antara cabang-cabang Atau bahkan senja di langit yang merah merona Kemana suara itu hingga hati tak tergerak mencari ke mana-mana Tangan tak lagi meraba di mana-mana Tak ada jejak kakiku di sana di luar rumah Aku mencari-cari dan tersesat di dinding buta tembok rumah kita yang kau sebut kokoh Aku membaca angin yang masuk memalui jendela Menguraikan bunyi yang sekecil apapun masuk ke dalam telingaku Mereka-reka benda yang bergerak-gerak dari bibirmu Tidak. Tidak aku tidak mendengar sepatah kata pun di sana Bukankah ini waktunya Aku mendengar seruling nun jauh di lubuk hatiku tapi tetap samar Aku tahu aku tuli dan mataku buta Tapi hatiku pun kini mulai mati rasa Tenggelam dalam dunia tanpa cahaya Bila kau mendengar sesuatu dari luar rumah di jendelamu Katakanlah itu padaku Kumohon. Namun mungkin suaramu pun tak mampu kudengar huruf perhu

PERNAH SEKALI

PERNAH SEKALI Pernah sekali tidak menghiraukan Menutup mata mencoba melupakan Berlari dan berlari dari segala pedih Membawa berjuta-juta perih Hingga kaki terseok terisap lumpur hidup Tangan menggapai-gapai tak tertolong Suara hanya bisu yang meletup Gerakan sekadar jari menjentik melolong Lalu karam aku dalamnya Tersuruk aku puruknya Pernah sekali tidak menghiraukan Menutup mata memalingkan Tapi aku tak sanggup melangkah Bahkan tak mampu merangkak Pernah sekali tak menghiraukan Tapi membatu jadi kerangka Bahkan debu tak sudi mendekap Kendari, 10 September 2017 IBNU NAFISAH

KOPI PAHIT

KOPI PAHIT Pernah sekali kumencium niat jahat di hatimu Karena hal yang sama terbersit dipikirku Ketika kuseduh kopi pahit di atas meja Saat itu bibirmu yang merah merekah menari-nari di depannya Tak ada yang tahu kau dan dia berbicara apa di sana Karena seekor burung pun kau usir menjauh seketika Itu beberapa minggu yang lalu Kini aku menahan perih tusukan belati kekasih gelapmu Dan kau mati karena kopi pahit hari itu Kusadari kini saat itu kau membicarakan cara membunuh tanpa menggunakan tanganmu Kendari, 10 September 2017 IBNU NAFISAH

SUATU KETIKA

SUATU KETIKA Pernah seketika ingin benar padamu Ingin mengulang kata perkata dari bibirmu Menjalani pelosok desa yang sengaja kau buat di dalam hatimu, untukku Merenangi kembali ombak yang tercipta di antara kita Atau sekadar menyingkirkan krikil tajam di pinggir jalanan kampung-kampung pedalaman jiwa Bahkan bila mungkin bersamamu terbawa arus laut akhirnya Namun itu tidak kulakukan Hanya terdiam saat desa yang kau buat diterjang gelombang Kau terseret jauh hingga hilang dan terlupakan Lalu suatu ketika aku teringat tentang dirimu, air yang surut, desa dan krikil di jalan-jalan kampung, lalu kupikir itu hanya sebuah mimpi yang telah mengambang Kendari, 10 September 2017 IBNU NAFISAH

KAWAN

Ah, kawan! Akhirnya waktu yang terlipat antara kita kini terurai Segala waktu dan jarak dulu hanya teka-teki kini terburai Segala senyuman dan kerinduan pun bercerai Kawan, Detik-detik kita yang lampau akhirnya kembali Seragam esemu dan tas sekolah di pundak teringat lagi Tawa, komentar, suka, duka datang bagai air bah mendera kini Kawan, Kita bagai dua kos kaki yang lama baru jumpa Sebagian terbawa kehidupan  dan terlupa Yang lain tinggal di entah tak mengapa Ah, kawan! Kaukah itu yang berdiri dengan gigi merekah Tangan terbuka lebar menyapa Seakan hari tak pernah pergi dari kita Kawan, kawan, kawan .., Hanya butuh sedetik untuk mengingat semuanya Namun seabad pun itu tak cukup menghapus segalanya Karena kita terlanjur terperangkap dalam jamannya Kendari, 10 September 2017 IBNU NAFISAH

Akulah

Akulah Akulah bunga Memiliki warna Bersemayam dalam rumpun Akulah lebah Memiliki sayap Tapi kaki melekat pada madu Akulah udara Berisi oksigen Dalam sebuah tabung Akulah angin Kau biarkan masuk Tapi tak jua membuka jendela Akulah yang kau inginkan Tapi tak jua Kau butuhkan Akulah Akulah Akulah Segala Tapi Tak jua Kau penuhi Kendari, 30/07/2017

Lelaki dengan langkah tertatih

Lelaki dengan langkah tertatih Tujuannya masih jauh berpuluh-puluh kilometer bahkan lebih Keringat menetes beribu-ribu liter bahkan lebih Lelahnya bertambah berkali-kali lipat tiap saat Namun ia tetap berjalan Gunung, lembah, hutan dan lautan Semua ada tapak jejak kaki lelaki itu Mentari semakin nempel di kepala Debu semakin terbenam sampai lutut Napasnya tersengal tak karuan Tetapi terus berjalan Sesekali ia bersujud dan Berdoa Tetapi terus berjalan Sesekali ia bersujud dan Berdoa Tetapi terus berjalan Sesekali ia bersujud dan Berdoa Kendari, 28/07/2017

BANDARA HALUOLEO

PUISI PATIDUSA ASLI *********************** BANDARA HALUOLEO (Bagai Terminal Rasa) Kadang kedatangan berarti sesuatu Hasrat terlampiaskan melanda Atau penantian Putusan Cinta? Gelegak rasa Entah apa namanya Bergerak dari bawah sadar Mungkin terlalu dini mengatakannya Karena perasaan berubah Bahkan waktu Berlalu Halimun Bagai menyamun Engkau berputar sejenak Memastikan cuaca yang pasti Pesawatmu tak mungkin mendarat Jika landasan berkabut Aku menunggu Ragu Menanti- Sabagaimana dirimu Menetaskan rindu mencandu Atau menghidupkan jarak berarak? IBNU NAFISAH Kendari, 31 Maret 2017

Kemana Kita Setelah Mati

Kemana kita setelah mati Aku tak tahu kemana kita setelah mati. Tapi yang pasti bukan ke mall untuk menghabiskan waktu mencari baju lebaran. Atau sekadar mencuci mata dan menghabiskan waktu bersama teman. Begitu kita hanya angin  di udara. Mungkin takkan ada rasa ketupat saban hari kita makan sambil tertawa bersenda gurau di meja makan bersama keluarga. Mereka yang makan mungkin akan menangis memikirkan opor ayam kesukaan kita masih tersisa di panci. Atau angin itu tiba-tiba saja terasa dingin di kulit mereka yang peka dan nama yang berupa angin itu kini menggantung. Kemana kita setelah mati. Katamu seakan itu pertanyaan penting buatmu saat ini. Aku hanya tertawa dan kau menangis mengingat ini. Aku terdiam tapi yang jelas kita tidak ke kantor atau di rumah tetangga berbasa-basi di terasnya yang mengkilap lantainya. Mungkin ia akan hadir saat kita akan pergi dengan kemeja hitamnya dengan raut wajah tanpa makna. Kemana kita ketika mati. Itu tidak penting kataku akhirnya. Lalu dengan

Aku Ingin Membunuh Sepi

Aku ingin membunuh sepi Aku ingin membunuh sepi di matamu yang beku. Di mana tetes air jatuh di sajadah dingin oleh hujan tengah malam buta. Aku ingin membunuh sepi seperti lampu teras yang nekat menerobos masuk ke ruang gelap di rumahmu di sepertiga malam ketika bunyi atap bergemuruh oleh guntur dan kilat. Aku ingin membunuhmu, sepi, menikam jadi bercak darah di tembok dan lantai ketika kepala beradu kuat dengan lutut ditiap rakaatnya. Aku ingin membunuh sepi di mata bening. Di gelap malam di waktu yang tak biasa. Secara pelan tanpa suara  dan kata-kata. Bagai niat jahat yang bersemayam dalam hati yang busuk. Mengendap-endap di ujung jendela dengan waspada mengintip ke dalam. Menunggu kau lengah lalu kubunuh sepi di matamu. Cuma sebuah aba-aba dari langit dan awan. Sekali ini kau kan kubunuh tanpa suara. Ketika adzan di ujung langit yang entah datang bergelombang maka saat itu bibirmu akan kubungkam dan sebuah sabetan menembus leher. Lalu sepi akan mati saat itu juga. Aku? Akan ber

Bersama Kekasihku

Bersama Kekasihku Ketika pagi berselimut kejora di langit Aku bersama Kekasihku Dia entah dengan siapa Begitu pula dinding yang enggan bicara Masih kulihat aku bersama Kekasihku Entah apa yang Kekasihku pikirkan Lalu suatu ketika berjalan di entah Akupun bersama Kekasihku Tak tahu apa yang Kami bahas, yang jelas aku mencintaiNya Lalu pagi ini masih pula bersama Kutahu itu dan kuyakinkan selalu begitu Dia entah bersama siapa Kendari, 13/7/17

Apa yang Kau Cari

Apa yang kau cari Apa yang kau cari di sini Kadang kau  menangis pun tertawa Marah, sedih, pun bahagia Apa yang kau cari jiwaku Di jalan-jalan berdebu, di atas tanah-tanah lapang Di atas segala kesibukan juga waktu  kelompang Kita tidak sedang berlibur Menghabiskan waktu bercanda Bahkan bermain-main  saja Kita juga tidak melulu tiduran Mengkhayal atau tertegun akan sesuatu Bahkan bekerja sepanjang waktu Jadi ... Apa yang kau cari di sini Di atas semua ini Jangan kau balik bertanya padaku Aku bertanya padamu Engkau yang gelisah melulu Bila pagi mengintip di kabut pekat Ketika siang pening dan penat Pabila malam datang mendekat Apakah kau sudah memutuskan sekarang Apa yang akan kau cari hari ini Di sini wahai diri ... Kendari, 16/7/17

Kucing-kucing di Rumah Kosong

Kucing-kucing di rumah kosong Ada suara mengeong keras di dalam rumahku. Bunyi seperti rasa sepi yang dalam di dalam sebuah sumur tua. Bunyi benda jatuh lama terdengar kecipaknya. Seperti itulah suara mengeong itu. Suatu ketika bunyi terdengar lagi tapi tak ada kucing di sana. Hanya suara purba tentang kucing yang mengeong keras dan dalam. Bahkan kadang bukan suara kecipak sumur tua atau benda yang jatuh. Namun kadang terdengar bagai suara di sudut rumah yang kosong. Kucing-kucing itu terdengar lapar. Kadang sedih dan juga marah bahkan kadang ia capek mengeong. Namun mereka tak terlihat. Hanya suaranya saja yang terdengar di dalam hatiku yang kini tertidur. Tidur yang lama dan dalam di dasar sumur di dalam rumah kosong dan sepi. Tapi tak ada kucing di sana. Tapi, suatu ketika mereka terdengar bagai nyata. 25 Juni 2017 Kendari

Pengembara

Pengembara Tubuh itu penuh tulang berbalut kulit Meniti di jalan berbatu dan sulit Daun daun jatuh berubah warna Ditiup angin kering hilang kelana Jika debu berbalut sepi Maka kemana dinding yang ia ratapi Langit tempatnya mengadu Serta bintang bintang jadi pemandu Ia akan mabuk di antara tangis dosa Oleh segala nikmat dunia yang tercela Air matanya jadi peluh Pula segala jerit kian mengeluh Inikah kekayaan yang dulu ia inginkan Hanya segenggam tanah jadi pijakan Seperti pasir di udara Terbang dan jatuh bagai embara Bila suatu ketika ia sadar Ia telah lama tidur dan tersasar Kendari, 7/8/17

Hilang

Hilang Entah berapa lama ia tertimbun lupa Terbawa arus tergerus suka Hingga akhirnya hanya duka Dikunyah segala senang Dicarinya harta bergelimang Lalu tersesat dan menghilang Di waktu-waktu yang tak tentu ia sadar Namun napas mulai hambar Sebentar lagi memudar Ia teringat segala Ingin rasanya memuja Mengulang kembali dan berdoa Namun raga telah mati Roh telah pergi Tak mungkin kembali Ia tahu itu hanya mimpi Tidur sekejap di siang hari Sebentar lagi terbangun  dan berlari Tapi ranjang ini begitu panas Selimut begitu sesak kan napas Bahkan ulat-ulat mulai mengganas Satu-satu mulai terurai Menyatu tanah tak lagi bercerai Dalam liang dengan wajah seringai Kendari, 21/07/2017

Kepergian

Kepergian Kaukatakan akan pergi Tapi hari masih pagi Waktu kini tak banyak Itupun kau tulis disebaris sajak Sepatu telah disemir Perlahan kau lingsir Tanpa kata Pun sapa Kendari, 7/7/17

Malam

Malam Dalam kelemahan kelelahan Jiwanya lunglai berhamburan Sementara waktu tak pernah berteman Langit seakan menepis cahya Berkejaran pada satu garis tanpa daya Berlari di antara bayang Maya Masih pula ia melipat kemeja Mencuci kaki dan jiwanya Tanpa acuh menyeret segala rasa Seakan hari itu waktunya telah habis Umurnya telah cukup kian menipis Mungkin pula ia ingat dosa dan menangis Dalam keremangan sepi Keheningan abadi Ia meratapi diri Kendari, 20/07/2017

Sepatu Kecil Berwarna Merah

Sepatu kecil berwarna merah Entah kaki mungil mana yang melepaskan sepatu itu. Tergesa-gesa di sudut bandara. Di antara tiang-tiang beku dan lantai keramik. Mungkin ia menangis di tinggalkan atau meninggalkan seseorang. Derai-derai air mata atau mungkin tawa kebahagiaan di suatu saat yang terlipat waktu. Entah anak siapa mencari ibu siapa, bapak siapa mencari anak siapa atau sang kekasih siapa mencari siapa. Di sini di sudut bandara yang dulu ia singgahi, seperti duduk sebentar di hati seseorang dan begitu saja meninggalkan kenangan. Tapi ia meninggalkan jejak nyata di sana. Sebuah sepatu kecil berwarna merah. Kini orang lain datang dari entah dan kemana menemukannya. Bukan, bukan menemukan tapi melihatnya begitu saja tergeletak di sana. Mungkinkah ia mengira-ngira seperti aku saat ini? Entahlah sepatu itu hanya kulihat sebentar dan kupikir itu milikmu di tempat dan waktu yang sudah terlupa, kupikir. 25 Juni 2017 Bandara Haluoleo

Pagi

Pagi Wajahnya terbangun dan masih saja kejora Kematiannya telah lama pergi Ia bersyukur karena masih juga diberi Kaki-kakinya kaku beku Langkahnya terserak Dadanya tergerak Jauh di ujung timur Sungai suara bermuara Panggil-panggilannya Ke sanalah ia memandang Dengan deburan menganga Bagai rasa datang bergelora Bergelombang ombak menyapu Menenggelamkan lara Menderu jiwa membara Kendari, 20/07/17

TEMBOK

TEMBOK Ingin kutulis putih pada tembok Atau merah pada kepala Luka pada hati Teriakan pada udara Melonglong bak anjing Karena kelaparan oleh sepi Dihianati waktu Serta diperangi rindu Ingin kucoret goreskan hampa di dinding terjal Percikan amarah kepalan tangan Ludahi saja tinggal pergi Mungkin pula percikan darah di sana Sambil menahan luapan di dada Air pada mata Bukan karena sedih tapi pedih Merana meraba ruang kosong yang melompong ........ Selebihnya kau tahu sendiri Karena aku tak ada saat bayangmu semakin jauh di ingatan. Ibnu Nafisah Kendari, 16 April 2016

RANJANG

RANJANG Terbaring di sana hanya jasad Roh ini telah lama melayang; terbang Bagai layang-layang putus gentayangan Tubuh itu bukan tidur namun dingin membeku oleh belaian Berselimut gelap segenap lelah semakin kalap Dengkuran bertabu itu bukan nyenyak namun luapan kesedihan; menyedihkan Suara itupun bukan ingauan tapi teriakan kekesalan oleh derita di malam kelam Mimpi yang tak kesampaian Atau bahkan harapan tak kunjung berujung Dan ini bukan ranjang Ini hanyalah dunia tempatmu berlari Agar esok jika engkau terbangun telah siap tuk hadapi pedih; perihmu Ibnu Nafisah Kendari, 16 April 2016

SELIMUT

SELIMUT Hampir kulupakan ingatan tentang dirimu yang mampir menampar Layaknya semut melewati urat-urat aurat merengkuh aku bagai selimut Menggenggam dalam napas tak kunjung terbalas Menutupi resah mendesah karena gelisah mengasah Sebagai penghantar tidur mungkin juga melindur Ah, wajahmu saja sudah kendur di kepala Masih juga inginkan bunga tidur Tapi biarkan hari ini aku bebas Bebas dari bayangmu Dari wujud yang menghantui Dari kesumat ini Biarkan aku tenang Meski itu hanya mimpi Mimpi yang terbayar saat kita bertemu di dunia mimpi Ibnu Nafisah Kendari, 16 April 2016

LELAKI TUA KOLABORASI

#FiksiMini Hujan Deras Kami duduk di beranda dengan 2 gelas kopi hitam yang masih panas. Tiba-tiba melintas  sepeda tua dengan box putih di atasnya. "Wir, " tangan menunjuk ke seorang laki-laki tua berbaju merah. Alie tamuku, ekor matanya membuntuti orang itu. "Penjual es" kataku singkat. "Kasihan ya." Benar kasihan. Tapi kita tidak tahu berapa besar pahala yang dia raup. Ayah siapa pun dia semoga Allah melindunginya. S PRAWIRO Depok, 02 April 2017 #Puisi LELAKI TUA PENJUAL ES Ada apa di luar beranda; Seorang lelaki tua bersepeda Kakinya mengayuh hujan Terburu-buru di jalanan Dua cangkir kopi panas Seakan melirik gemas; 'Entah pahala apa yang dipikul' 'Hujan pun berusaha memukul' IBNU NAFISAH & S PRAWIRO Kendari-Depok, 03 April 2017

LELAKI TUA PENJUAL ES

LELAKI TUA PENJUAL ES Ada apa di luar beranda; Seorang lelaki tua bersepeda Kakinya mengayuh hujan Terburu-buru di jalanan Dua cangkir kopi panas Seakan melirik gemas; 'Entah pahala apa yang dipikul' 'Hujan pun berusaha memukul' IBNU NAFISAH & S PRAWIRO Kendari-Depok, 03 April 2017

TENTANG PANTAI

TENTANG PANTAI Mungkin ini puisi yang agak melankolis pada deretan pasir dan karang; di mana perahu-perahu beradu ombak di bibir pantai. Tentang cerita lautan berangin kencang, meniupkan layar-layar terkembang. Dan ikan-ikan memenuhi geladak bergetar. Selalu saja datang bersama angin pagi. Senyuman nelayan, juga jangkar-jangkar yang menancapkan rindunya pada pantai-pantai tak bertuan. Puisi ini sungguh terlalu melankolis ketika kusadari; angin selalu berlalu pergi membawa kapal, lalu jangkar menggores bibir pantai. Membuat luka di dasar yang akan tertutup asinnya garam lautan. Tapi kali ini puisiku terlalu melankolis. "Datanglah, kembali wahai jangkar. Jika kau hadir di lubuk jiwaku. Tolong tancapkan lagi kata-kata itu, 'cinta,' sedalam-dalamnya hingga kita menyatu," ucap pantai berombak. Ia terlalu mencintainya. Namun perahu-perahu kembali berlayar membawa serta jangkar di atas buritan. "Berjanjilah. Kau akan menjadi pantai yang tetap berpasir dan bernyiu

RERANTING YANG MERENTANG

RERANTING YANG MERENTANG Di sudut sebuah rumah yang mungil. Taman halaman tak seberapa luas, aku tumbuh sebagai pohon. Dedaunan rimbun. Subur dengan sulur-sulur ranting memanjang. Hingga halamanmu nampak dari atas. "Bila saja aku tumbuh di sana," kataku pada angin. Namun, ia hanya membawa dedaunan kering. Sebelum kausapu di penghujung hari. IBNU NAFISAH Kendari, 02 April 2017

ORANG PINGGIRAN

ORANG PINGGIRAN Di jalan-jalan sepi kotaku Di lampu-lampu merah kendaraan Tangan kecilmu menghardik, "Makan!" Bibir mungilmu berucap, "Sedekah!" Di tenda-tenda remang kotaku Di hingar-bingar lampu warna-warni​ Rokokmu bergincu merah menyala Tubuhmu bagai jalanan terpanggang Di tempat-tempat sampah kotaku Di barang-barang usang berbau pekat Gerobakmu menepi sedih Mencari jejak kehidupan yang terbuang Pada kemeja safari yang bermerek-merek Pada mobil-mobil mahal kita miliki Pada pajak-pajak yang kita tarik Tiada nama mereka di sana- IBNU NAFISAH Kendari, 01 April 2017

PAGI BENING

PAGI BENING I Ia hanya ingin di sana. Berdiri sendiri di antara daun-daun hijau. Sementara kelopaknya berisi embun pagi. Menunggu sesuatu lahir di ujung pepohonan. II Wajahnya bening tersaput kabut. Udara dingin seakan menggenggamnya. Memaksanya untuk menggigil dalam kepedihan. Menunggu. III Ke mana? Bisiknya pada jiwa rapuh. Wajah kemarin kini tak nampak. Sepanjang mata memandang terlihat hanya kabar kabur di angkasa. IV Dalam penantian yang sangat panjang, daun-daunnya kunyup oleh sepi. Angin gelisah bertiup bagai pisau yang tajam. Lupakah ia padaku, pada janji itu? Gumamnya hanya diam membisu. V Di ambang batas ketidaksabaran di hati. Tiba-tiba ia tersenyum. Semburat cahaya menyiram tubuhnya, menghangat. Ah, senyuman itu begitu indah. Seindah bunga mekar tatkala matahari pagi bersinar bening. IBNU NAFISAH Kendari, 27 Maret 2017

CARCINOMA MAMMAE

CARCINOMA MAMMAE Senja di pucuk-pucuk kelabu Berlatar gerimis  meragu Pada Kamboja Menua Giring-giring Berdentang nyaring Balik bukit-bukit berdenting Masih terdengar gema kelenting Dalam pesara berbatu-batu kecil Gundukan tanah-tanah kerikil Bayangmu menggaung Meraung Senyuman K erudung sulaman Hari-hari berlalu kemarin Datang memanggil bagai angin Engkau masih duduk bercerita Bersenda gurau tertawa Meski menderita Tersiksa Tersenyum Kepedihan santer Parasmu seringai terkulum Susah payah melawan kanker IBNU NAFISAH Kendari, 23 Maret 2017

RINDU INI

RINDU INI Pernahkah suatu kali kuceritakan Tentang ombak membuas Lautan luas Adinda Perahu-perahu diterjang badai liar Langit sepekat menghitam Gelegar menghantam Memekik Seorang nelayan tua kembara Mencari nafkah keluarga Memasang raga Sendiri Berdiri pada geladak risaunya Menanti hujan terhenti Samudra tenang Berenang Hingga angannya pada anak-istri Memuncak dalam jiwa Berontak meronta Membara Berbulan-bulan ia terdampar sepi Angin berhembus terbawa Terlantar seketika Adinda Pernahkah kau merenungi jiwanya Kekhawatiran serta rindu Duka nestapa Menerpa Kehilangan dirinya bukanlah masalah Lautan adalah rumahnya Juga hidupnya Adinda Tapi rasa terpisahkan? Ooh, Batinnya takkan mampu Lalu merapuh Lumpuh Itulah yang kurasakan padamu Jarak semakin memaku Terbentang jauh Adinda IBNU NAFISAH Kendari, 20 Maret 2017

KEKASIH

PUISI PATIDUSA TANGGA *************************** KEKASIH Telah kukirim pantai lautan Semilir belaian angin Nyiur melambai Sayangku Serta awan dan burung-burung Ikan-ikan juga kerang Pasir bebatuan Rinduku Pada surat-surat yang kaubaca Kaueja kata perkata Lalu tersenyum Terkulum Bukankah mereka nyata bagimu Teramat begitu hidup Penuh gelora Berasa Sengaja tidak kutuliskan padamu Betapa indahnya semua Begitu menawan Memesona Bahkan tiada kalimat tandingan Rayuan puisi-puisi gombal Dapat menyuarakan Cintaku Karena bahasaku teramat dangkal Terlalu payah mengandaikan Mengutarakan rasa Hatiku Jika kauterima dengan utuh Susunlah dalam batin Begitupun aku Padamu IBNU NAFISAH Kendari, 19 Maret 2017

I L U

I LOVE YOU aku tresno karo koe abdi bogoh ka anjeng u puji alenu ke ehei inggo'o asiangko torang cinta pangana tiang tresno sareng kamu sanna' kungainu hau domi o au loim ko kal hona pyar hay @!#$##$$$%%%^ lalu dengan bahasa apa lagi harus kukatakan? bila semua itu tidak membuat hatimu tergerak IBNU NAFISAH Kendari 19 Maret 2012

JALAN TAK MUDAH

JALAN TAK MUDAH Kita sudah pilih jalan bertempur Arah angin 'tuk kenali lawan Bahkan warna baju kemenangan Kita pun terlahir dilumpur Hanya Keringat letih kawan Kembang Keresahan-kesenangan Tak ada waktu​ 'tuk berpikir mundur Sekali tantang 'kan melawan Pada​ jiwa lemah perjuangan      Meski Jasad kita sudah mati-hancur Termakan waktu​ tergilas tertawan Kepedihan-pertentangan Namun jiwa kita 'kan lacur Mencari kepuasan pendobrakan Rasuki tubuh muda ketelanjangan Wahai pendobrak zaman Pahlawan bumi nusantara Teruslah ber-ulah  Karena hari terus belari Melapukrentahkan kita Lalu menyamaratakan tanah Akhirnya jalan adalah pilihan Sekaligus hidup dan rumah Tempat kembali menyematkan sejarah IBNU NAFISAH Kendari, 19 Maret 2013)

PAGI

PAGI Dirimu menyerupai cahaya khayangan Mengintip di pepohonan menjadi bayangan Terkadang suaramu mirip Kukila Melompat-lompat di ranting kukira Bahkan belaian itu senandung berangin Ketika goyangkan daun-daun Waringin Ah, kau juga sebaris kata-kata cinta Begitu manis saat kubuka mata IBNU NAFISAH Kendari, 18 Maret 2017

PUISI KECILKU

PUISI KECILKU Anak-anak berlarian Berkejaran Burung-burung terbang Melayang Bunga-bunga bermekaran Menyegarkan Kaki-kakiku rapuh Lumpuh Kursi-kursi roda Menggoda Orang-orang pergi Berlari Waktu-waktu tinggal Tanggal Hari-hari berlalu Pilu Doa-doa kini Menemani Sungguh-sungguh memuji Di hati Moga-moga Tuhan Kabulkan Langkah kakiku Sehat selalu 14 Maret 2017

KEMATIAN

PUISI PATIDUSA ASLI *********************** KEMATIAN Pagi-pagi buta ia datang Berkain sutra halus Liar menantang Mengelus Sekejap Wangi tercium Sesak. Napas tercecap Tubuhku gayang mabuk opium Bagai tamu tanpa undangan Matamu nyalang menyala Menagih padan Baka Seringai Senyuman dingin Terhias manis menyangai Bagai keheningan pekat Waringin Sulur-sulur tajam mendesak dada Geronggang leher tercekat Bergelinjang laga Terangkat Kaupergi Sebagaimana gaib Kembang dan setanggi Kafan bahkan jasad. Raib IBNU NAFISAH Kendari, 11 Maret 2017

KENANGAN

KENANGAN I Kenangan itu hanya sehelai daun. Ketika wajahmu mulai menguning reranting menghitam di antara awan pilu. Sebaris angin menarik-narik masa kembali ke silam. Sebagian menerpa wajahmu sebagian berlalu di udara. II Pernah dulu pucuk-pucuk mekar di ujung tunas muda. Di musim peralihan antara hujan dan kemarau sekuntum bunga mekar. Menyaksikan hijaunya daun, terpaan mentari pagi dan sesekali gerimis menempel jadi embun di pagi buta. Seekor lebah tanpa sengaja jatuh hati pada kembang warna jambon itu. Sang lebah tak sampai hati mengisap sarinya. Sulur mudanya hanya mengagumi. Dan bunga pun layu seiring waktu. Tertinggal hanya biji-biji bulat di sana. III Musim berganti bagai malam dan siang. Pohon yang kau lewati tempo hari saat pulang sekolah kini menjulang. Sesekali terbersit untuk melompat menjangkau ujung dahan terendah. Yah, kau mampu, tapi di ujung jari saja terasa. Sementara daun berbentuk hati itu tetap menggantung, sedikit bergoyang oleh angin. Rasa penasaran membuat

SI BUDI KECIL

PUISI PATIDUSA BIAS *********************** SI BUDI KECIL Tisu! Katamu rusuh Di perempatan jahanam Memaki hari kian merajam Balik kaos kumal merayu-rayu Bermandi peluh menghujam Tubuh kanakmu Menghitam Suara Bergema ringsek Knalpot memecah udara Bibir teriak memukul brengsek Si Budi menjerit-jerit membisu Angkuh menyandang nyeri Sinis membasuh Mentari Tisu! Lagi. Raungmu Bagai debu kelabu Engkau luruh jatuh mengabu Di atas padang jalanan Di antara kendaraan Bayangmu berlari Pergi IBNU NAFISAH Kendari, 27 Februari 2017

AZAI NAGAMASA BIZEN NO KAMI

AZAI NAGAMASA BIZEN NO KAMI Oichi ! Adinda sayang Lihatlah kastil Odani Api berbunga asap mengganyang Deru suara serdadu mengudara Darah memercik perih Dentum angkara Jerih Persil Tanah kuasa Luluh lantak permil Tinggal debu hancur binasa Engkau takkan temukan ragaku Berdiri memandang wajahmu Mengukir senyum Terkulum Persik Mekar runtuh Moksa lelah mengusik Begitulah diriku kini mengaduh Dunia telah kiamat bagiku Tidak, cinta tentangmu Terus hidup Meletup IBNU NAFISAH Kendari, 04 Maret 2017

SILARIANG

PUISI PATIDUSA BIAS *********************** SILARIANG Kaupergi Jauh berlari Dan takkan kembali Tinggalkan sepi sunyi sendiri Entah kota mana kini Tiada bayang diri Mungkin juga.... Lupa Badik Siap menghardik Tanpa ragu membidik Mencacah rajam tubuhmu lindik Kejar sepasang bayang hilang Sejoli terbang melayang Kasih bercarang Jurang Silariang Cintamu terlarang Engkau undang berang Amarah purba kini bersarang Rasa sepenuh jiwa kaujaga Padamkan seluruh raga Meski berdarah Kelarah IBNU NAFISAH Kendari, 02 Maret 2017

ORANG-ORANG DALAM GUA

PUISI PATIDUSA TANGGA **************************** ORANG-ORANG DALAM GUA Itulah sebabnya manusia curiga Wasangka, saling duga Takkan percaya Waspada Bagaikan orang dalam gua Dengan api menyala Bayang bergerak Berderak Melihat sebatas gelap merayap Mengira-ngira tebak dicecap Dinding tergambar Menghambar Socrates, Aristoteles dan Plato Ketiganya saling dorong Nyanyikan legato Kerong Bahkan cawan pun beracun Jika bersuara sumbang Bernada lincun Cemplang Itulah sebabnya manusia curiga Selalu berpaduan suara Berbunyi sama Belaka IBNU NAFISAH Kendari, 24 Februari 2017

AKU MENEMUKANMU

AKU MENEMUKANMU Aku menemukan sebentuk kelewang terselip di bait puisi ini Begitu tajam menancap pada daging hingga ke tulang hati Darahnya mengalir pada tiap halaman buku, merembes hingga ke jantung Hampir kehabisan napas untuk sekadar membaca, jadi lumpuh mematung Aku menemukan ketidakadilan pada baris-baris koran yang kau baca Jeritmu berdesir bagai kuda tanpa kusir berlari dalam tapal penuh pecahan kaca Pada deretan kotak-kotak suara yang mengudara di hari kelimabelas Juga seruan burung-burung kecil saban hari bercicit keras di ranting reras Oh, aku mencium kebencian di udara dalam kabut fajar Asap dan api bagai dua anak manusia saling gumul, gila sasar Dan setelahnya akupun masih mendengar auman panjang di jalan-jalan Di wajah serta tembok-tembok kota bagai air menggenang dalam hujan Sungguh. Aku menemukan sebentuk kelewang dalam bait-bait puisi ini Tapi kau merapatkan telunjuk di bibir dan berlari dalam sepi!? IBNU NAFISAH Kendari, 24 Februari 2017

POS TERATAI 02

POS TERATAI 02 AK 101 melingkar di dada Mencium tubuh haus akan dahaga Merayap bodyvest senafsu napas kuhela Menjilati peluh bagai taring baskara Halong Tango bergemuruh ribuan mil di sana Bagai kekasih merindu tak jua bersua Mengabarkan api cinta mulai menghangus Mengoarkan 6-5  dua kelurahan sekaligus Otak ini menjadi kaku sebeku helm kevlar Di rentang fajar buta asmara kita menjalar Terendus romantisme pilkada kian seleweng Perselingkuhan malam tergeletak berkeleweng Gerbang meriakkan portal Seraya merayu serdadu nakal Gelegak darah berdesir Menyeruak di jalan berpasir IBNU NAFISAH Kendari, 22 Februari 2017

PEREMPATAN PRONTO 11.15

PEREMPATAN PRONTO 11.15 Geranggang ganas gelombang panas Aspal keparat jahanam nan ngenas Mobil motor berlalu lalang Melindas jalanan bukan kepalang Tangan-tangan kecil lenggang mengiba Terpanggang gelombang diregang nyawa Di gelanggang hari berpacu keringat Wajah-wajah pilu memelas menghangat Di seberang sana restauran, pengunjung menggila Menguarkan asap membuat perut teriak meronta Tuan-tuan berbaju dinas berwajah sombong Ke mana janji masa kampanye yang kini kosong Demi selembar dua lembar merah Soekarno suara kami gadaikan Kini di dalam kendaraan plat merah senyummu menyodorkan recehan Dengan berkas proyek menggunung di jok empuk Berpangku kaki dengan perintah sana sini rekening menumpuk Inilah wajah kota kita dalam surat kabar pagi jadi alas tidur malam ini Sebagai pengipas peluh di bawah matahari mendidih Di bawah tatapan curiga masyarakat kota Kendari Ketika berkedip hijau engkau pergi dan tak kembali IBNU NAFISAH Kendari, 22 Februari 2017

CINTA DAN KOTAKU

CINTA DAN KOTAKU Gelegak panas kotaku memang keras Seperti cintaku yang lawas nan ganas Bersemi di jambon senja remang kelam yang nahas Jemari kita beradu di bawah Tugu Religi berdiri ngenas Kuning pendar merkuri pelabuhan yang lama mati Bagai kapal tua kau rapatkan lidah, kita beriak-riak di tepi Oh, lelaki bengal rela hidup mursal kini Di atas ranjang-ranjang palsu matrimoni Di sepanjang teluk Kendari Beach yang tak kunjung usai Lenganmu merayap mesra bagai ular nakal membelai Antara puing-puing P2ID nun megah jadi saksi prasasti cinta kita yang binal Dengan senyum hina Pol PP menghambur tubuh bugil kita yang nakal Oh, cinta dan kotaku yang beringsang Betapa ini sungguh buat kita berangsang Gejolak cemas kotaku kian beringas Gelora cintaku semakin berangas IBNU NAFISAH Kendari, 21 Februari 2017

OTAKKU, KUTEMUKAN ENGKAU

OTAKKU, KUTEMUKAN ENGKAU Akhirnya kutemukan engkau di baris-baris sajak ini Masih kotor penuh imaji mesum seperti sisa hujan di Kendari Engkau hanya anak kecil juga sama mengisap lem di ujung lorong Sedikit mencuri keadaan kala situasi memungkinkan dan kosong Cakap tingkah lakumu kambuhan layaknya pemuda mabuk setelah pesta Menyesali kebodohannya dan berjanji sadar, besok kembali menegak dosa Entah beribu atau jutaan baret luka di jiwamu bagai si maling kecil keluar masuk bui Tangis mengiba melolong pada Tuhan toh, gadis-gadis belia bercelana gemas berpuntung rokok di bibir juga sama mengelabui Hari ini kita sadar sebentar malam kita sesat bak karaoke keluarga awalnya nyanyi-nyanyi nanti-nanti merem melek Benar kata silampukau Tuhan kalah di riuh jalan, tergusur nafsu serta ambisi pemimpin kota yang sama meledek Akhirnya kutemukan engkau di baris-baris sajak ini Kadang manis kadang najis layaknya pilkada kali ini Otakku, kau memang nakal Dalam sajak inipun kau tampak bana

EMBUN JATUH DI LAMOMEA

PUISI PATIDUSA ASLI *********************** EMBUN JATUH DI LAMOMEA Fajar gelepar setelah malam Usai hujan menghujam Brigjend Katamso Mengaso Portal Keringat nakal Telanjang beku membinal Celaka. Pos tertawa membrutal Genderang mengerang tiga kali Sial. Nyamur menghambur Melingsir berkali-kali Kumelacur Kuning Bawah lampu Teriakan sepi kelening Serulah panggilan hening beku Embun jatuh di Lamomea Memenjara jiwa anoa Bungkam makian Seruan-seruan Gerbang Terkubur sunyi Pekat senyap menerjang Lamomea terdiam dan sembunyi IBNU NAFISAH Kendari, 18 Februari 2017

DOAKU

DOAKU Sekali lagi kubuka kedua belah tangan Kubiarkan doa jatuh menetes di lengan Lalu kunyanyikan lagu cinta pada Tuhan Agar hati damai bagai tandus terhempas hujan Hanya satu pintaku pada hidup yang tak mudah redup Semangat jiwa yang akan selalu meletup Tuhan, aku hanya ingin melangkah dibawah berkahMu Berdiri sendiri di jalan yang telah Engkau ramu Aku hanya ingin berlari di sela-sela azan Lalu menyembahmu hingga sujudku berbuah amalan Tuhan ... Kabulkanlah ... 17 Februari 2017

KIPAS ANGIN

PUISI PATIDUSA TANGGA *************************** KIPAS ANGIN Kau kembali berputar diri Menjadi pusaran hati Kutakkan beranjak Berjarak Selalu berkisar antara rasa Benci dendam cinta Bagai kitiran Pikiran Segala hembus angin mendera Menderu dingin menerpa Tetap berdiri Pasti Akulah raga yang penasaran Rindu akan harapan Lambaian asa Kuasa Meski engkau sekuat halilintar Merobek rubuh menggelepar Meluluhlantahkan jiwa Sukma Akan selalu menjadi karang Teguh diri menantang Hingga lelahmu Merandu IBNU NAFISAH Kendari, 15 Februari 2017

RENCENGAN HATI

RENCENGAN HATI Melalui bait-bait kidung ini Kupanjatkan doa Gema yang bergaung di hati Getar berkumandang di dada Tentang rasa nikmat hidup Kau beri Rahmat hirup kan dunia Kau bagi Ampunilah hamba yang daif Mendamba rasa sempurna Selalu menyangka diri ini laif Menuntut segala paripurna Sesungguhnya ini lebih dari apapun Udara mengalir kemanapun Air berjatuhan tanpa batas Tanah terbentang maha luas Nikmat Tuhanmu mana lagi yang kau dustakan Sedang seekor serangga terkecil sekalipun Akan bangga hidup di alam terpencil dimanapun Apalagi aku yang punya harga sebagai manusia Mampu berpikir dan bertindak semadyanya Ya Allah, terima kasih Atas segala kasih Engkau beri cinta dan sayang Akan terus membayang Namun aku buta Selalu menabrak tembok yang sama Juga tuli Tak mampu mendengar dengan jeli Wahai Zat yang mampu membolak-balikkan hati Merubah segala resah gelisah di ujung belati Menjadi damai bahgia dalam kalbu Meski itu kan terbang bagai debu dan abu Sematka

HIDUP HANYA MENUNDA KEKALAHAN

HIDUP HANYA MENUNDA KEKALAHAN Bukan kematian yang kusesal Namun dunia ini buatku mursal Makna lacur kucur dari hati licik Menganak sungai dilaku yang fasik Bukan ketiadaan menjadikan kesal Tapi jiwa kafir kufur serasa gasal Alir alur nadi hingga berbarah birah Susur sisir selaksa dosa bernanah darah Bukan jua bersua bebal Sebal pada nubuat membanal binal Diri lelah terarus gerus mainan hitam dan putih Dibolak-balik jadi pontang-panting hingga letih Sesaat moksa dalam kebatilan Sesat maksa dikebaikan Hidup ini hanya menunda kekalahan Pun kemenangan semu menjemukan IBNU NAFISAH Kendari, 15 Februari 2017

PESAN KEPADA TUHAN

SEBUAH PESAN KEPADA TUHAN Tak seharusnya pesan ini kutulis Karena dengan doa Engkau pun menggubris Dan tak semestinya kumengeluh Karena tanpa diminta Engkau sangat acuh Namun suatu saat jiwaku begitu sepi Raga ini terlampau pelik dan sunyi Berharap hadirMu melengkapi Menenangkan rindu tak bertepi Sesaat sesal datang memeluk Sesat kesal bertandang meremuk Ingin meraihMu tapi tangan terpaku Berlari kerangkulanMu jua kaki membeku Bukannya hamba tidak sempurna dihadapanMu Namun Engkau Maha Paripurna bagiku Bukannya hamba tak cukup mensyukuri karuniaMu Namun bukan jua manusia yang mengkufuri anugerahMu Hanya satu pintaku padaMu, ya Tuhan Sayangilah kedua orang tua hamba Jangan biarkan mereka bersedih, terluka dan mengiba Karena menjadi anak yang tak mampu melindungi Menjaga mereka dari segala musibah yang merintangi Namun melalui pesan ini Aku panjatkan cinta dan sayang, hormat dan terima kasih Kepada mereka yang sayang lagi pengasih Yang telah merawat dan membesark

SEMANIS NANO-NANO

SEMANIS NANO-NANO Mungkin inilah persahabatan sejati Tersirat dijabat waktu, tersurat erat abadi Mekar dan segar di setiap musim Takkan gugur tergusur di segala mukim Senyuman yang kauberi Tawa yang kubagi Duka terkadang menyanyat Doa yang tersandang beribu ayat Adalah rangkaian hari-hari tentang rasa Untaian baris-baris kata tentang kita Ya. Rasa yang membuat kita satu: Dalam kebodohan, kegamangan, kegalauan, serta keluguan yang berpadu Bahkan Kehebohan, kemalangan, gurauan, tentu saja kelucuan beradu Membuat kita semakin dekat merekat Manis, getir dan bahkan terasa pekat melekat Tanpa kita sadari dunia menjadi lebih indah Bumi di mana kita ada tampak megah Karena ada aku, kau, kau, kau, dan kau Membuat ini terasa damai menjangkau Bilakah ini terlukis terbingkai Pada dinding kalbu terangkai Semua terangkum dalam sebungkus permen Kaya rasa kaya makna semanis nano-nano IBNU NAFISAH Kendari, 15 Februari 2017

TEMBANG MAWAR

TEMBANG MAWAR Indah nian elok warna Merekah liar merona Jika engkau sebentuk bibir Segala kumbang hinggap melipir Andai mentari jatuh ke bumi Cahyamu tetap binar bersemi Bagai senyum tiada akhir Memuja hati rasa terlahir Mawar merah tangkai berduri Merangkai jelita hasrat menari Adalah bulan bersinar terang Menawan pun gelap mengerang IBNU NAFISAH Kendari, 14 Februari 2017

YEN ING TAWANG ONO LINTANG

PUISI PATIDUSA TANGGA **************************** YEN ING TAWANG ONO LINTANG Ketika langit ada bintang Indah binar melintang Kunanti kinasih Terkasih Kutanyakan kabarmu, cah ayu Padang kerlip merayu Bertabur rindu Merandu Kepada awan yang mengawang Beruntai kerlap tawang Mega angkasa Kudamba Akan janji-janji terpatri, adinda Gemintang nan menggoda Setinggi pagoda Tercinta Dengarkan rintihan hati ini Mengerlap malam hari Terucap syahdu Syahda Kucari kehadiranmu, cah ayu Teriring rasa renjana Aku menunggumu: Purnama IBNU NAFISAH Kendari, 13 Kendari 2017

BEYOND THE SEA

PUISI PATIDUSA ASLI *********************** BEYOND THE SEA Mata gadisku menatap pilu Bergerak kapal berlalu Gelombang beriak Berarak Udara Awan mengudara Membelai sepoi wajahnya Angan beterbangan pada kasihnya Hati yang berlayar kemana Terbawa rindu kelana Lingsir cakrawala Menyala Geladak Tiang menegak Angin memukul bendera Semakin sepi kian meronta-ronta Seketika sesal berjabat erat Pedih timbul tersayat Tiba-tiba meraja Hampa Ooooh, Tuan kelana Bukankah dunia sama Jarak membuat kita merana IBNU NAFISAH Kendari, 11 Februari 2017

SOMEWHERE OVER THE RAINBOW

PUISI PATIDUSA BIAS *********************** SOMEWHERE OVER THE RAINBOW (Suatu Tempat Di Atas Pelangi) Bianglala Langit angkasa Terlukis indah cakrawala Membiru warna raya perkasa Suatu tempat antah berantah Burung riang beterbangan Menembus entah Gerangan Silampukau Mimpi menjangkau Menyanyikan Nina Bobo Hingga terlelap bagai tambo Suatu tempat atas pelangi Di antara mimpi-mimpi Penuh ilusi Fantasi Melayang Melintas berurung Kepak sayap merentang Di atas pelangi mengarung Kelak aku akan berdoa Pada bintang jatuh Tentang dunia Jauh IBNU NAFISAH Kendari, 11 Februari 2017

SEWU KUTO

PUISI PATIDUSA BIAS *********************** SEWU KUTO Seribu kota telah kulampaui Seribu hati kulalui Bayang membui Menghantui Seumpama langit berurai mendung Engkau bintang berkerudung Menghilang resap Lenyap Telah lama aku mencari Kekasih pujaan hati Lama pergi Berlari Kelana menjauh tiada kabar Tiada setitik berita Engkau bebar Embara Hanya satu pintaku sayang Kembalilah meski sekejap Sebagaimana bayang Mengendap Sejujurnya namamu masih bergema Membercak pada dinding Ruang-ruang jiwa Menggelinding IBNU NAFISAH Kendari, 12 Februari 2017

WARKAT ASMARA

#Event_Surat_Bersyair_ZAM Tema : GORESAN UNTUK ZAM Judul : AFORISME CINTAKU Penulis : IBNU NAFISAH #Warkat_Asmara AFORISME CINTAKU Buat Zahwa Aini Mazida Di Singgasana Peraduan Hati Wahai adinda yang jauh di mata Namun sedekat napas udara Melalui kertas putih dan tinta Kulayangkan rasa rindu membara Huruf demi huruf yang terangkai Merupakan sebuket bunga bertangkai Warnanya merah hati membingkai Gambaran jiwa kakanda yang menjuntai Berkali-kali telah kutulis nama Tapi selalu gagal ketika mengeja Bibir ini seraya terbata-bata Lidah menjadi kelu mendera Bukan. Bukan karena kurangnya rasa Bahkan ini adalah gejolak debar cinta Membuat sekujur tubuh semakin gila Menahan gelora kian hari kian menyala Wahai adinda bintang Zuhra Berdiam di negeri sana Bilakah waktu bagai kitir sahaja Diri ini tak ingin beranjak kemana Biar terbenam bak mentari Membara pelan ke pangkuan pertiwi Merengkuh manja dibuai sang bumi Bagai malam dan bulan yang selalu berseri Wahai adin

AFRODIT

AFRODIT Dari wajahmu memancar gairah Langit merah mudah Bergaris awan Penawan Bibir mekar merekah sekuntum Tergantung liar mengetum Senyuman bengal Binal Di dadamu tersimpan magma Terlahir lava membara Lahar panas Buas Bagai perang yang kalah Akulah serdadu payah Seketika menyerah Pasrah Ketika engkau berulah serigala Mencabik kunyah segala Akulah bangkai Terbantai Tenggelam hilang di muara Terselam tanpa suara Tertanam dalammu Bertemu IBNU NAFISAH Kendari, 05 Februari 2017

NYENYAT YANG NYENYAK

NYENYAT YANG NYENYAK Pilihlah sunyi Dan teruslah bersembunyi Dalam sepi yang berbunyi Karena kita tak pernah setia pada satu hati Meski terikat kuat kan terputus oleh belati Mudah lelah dan tak bersimpati Kejarlah senyap Dan jadilah sengap Jika tidak hening mengantap Lalu terdiam Bungkam Mendekam IBNU NAFISAH Kendari, 05 Februari 2017

PENGKHIANATAN CINTA

PENGKHIANATAN CINTA Nekat wajahku menatap cakrawala Sebagian karena takut akan tertangkap basah Semburat menyala tenangkan jiwa Tanpa ia sadari aku memuja bara memerah Aku mencintai fajar yang merona Belai pijar sinar pagi mempesona Namun senja membuatku terlena Dengan lembayung sendu cahyanya Oh malam yang gelap bertabur bintang Dosa apa hingga hati mendua Tak mampu menahan gejolak yang melintang Rasanya akulah penjahat cinta paling berbahaya Hingga gelisah datang mengancam Berperang dalam hati yang merajam Aku mencintai b inar wajahmu di pagi hari Namun jua tak kuasa menahan rindu pada layung mentari Biarkan aku jadi pendosa kali ini Pengkhianat cinta paling jahat Biarkan terbakar gairah begini Hingga tenggelam karena laknat Kendari, 05 Februari 2017 IBNU NAFISAH

EMPAT LINGKAR KOTA

PUISI PATIDUSA TANGGA *************************** EMPAT LINGKAR KOTA (Kisah kita terjejak di sana) Udara malam pecah beku Kau sebentuk tangan Melingkar erat Menjerat Sepeda motor berlari riang Menebas jalan kota Mengukir cerita Cinta Dada kita berdegup lincah Anak rambutmu liar Dimainkan angin Dingin Bibirmu berucap kata sayang Jantung berdetak cepat Ketika bisikkan Hangatkan Rumah-rumah pohon tiang listrik Berdecak setiap waktu Teriakan bahagia Terangkai Hari masih panjang betul Bulan telanjang bulat Lalu gemintang Melintang IBNU NAFISAH Kendari, 04 Februari 2017

APOLOGI DRAMA RAHWANA

APOLOGI DRAMA RAHWANA Apa mesti kusebut engkau Sita Dalam pewayangan purba jadi rebutan cinta Dan akhirnya takdir bercerita Renjana memang buta tanpa mata Berjalan hampa, tiada arah nyata Tersesat di kabut fajar berpucuk muda Dan kini kau anggap aku Rahwana Engkau memenjarakan hati dan jiwa Demi kenikmatan maya Reguk dan teguklah racun dunia Dalam perjamuan kudus yang eforia Karena bagimu itulah bahagia Bukan. Bukan itu yang kau cari Tapi dusta Rama telah membuat legenda ini semakin abadi Hidup dengan seorang pangeran di atas jeritan hati Kekayaan, kerajaan, kekuasaan, kasihku Sebatas permukaan tanah, tak akan memujamu Begitu dipeluknya, takluklah engkau Kekalahan kali ini kasihku adalah kemenangan bagi hati Sengaja kulepas engkau lekas biar bebas tanpa benci Mungkin di suatu masa yang muskil kau akan menyadari arti cinta sejati Sementara itu tiba Kutunggu Sitaku yang dulu di taman Asoka Meski saat itu aku tak lagi di sana IBNU NAFISAH Kendari, 03 Februari 201

INKARNASI

PUISI PATIDUSA TANGGA *************************** INKARNASI Dalam sajak ini kasihku Engkau adalah udara Beredar bebas Lepas Kuhirup sekuat semampu paru Meletakkan di dada Darah nadi Hati Mengisi ruang yang kosong Telah lama kelompang Hampa sesak Lesak Menghidupi denyut jantung sekarat Dalam lembaran penantian Menjadi gairah Nyawa Tempat bergantung segala makhluk Demi jalannya kehidupan Engkau berikan Ciptakan Dalam sajak ini kasihku Engkau punya kuasa Hirupi daku Sepuasmu IBNU NAFISAH Kendari, 03 Februari 2017

JERUMAT

PUISI PATIDUSA TANGGA *************************** JERUMAT Dunia belum pula kiamat Matahari masih berlari Darah mencurat Membasahi Waktu begitu lapang teramat Usia berjalan santai Langit beralamat Terampai Bila kaki-kaki kita tersemat Duri menusuk gering Usah umpat Nyaring Jikalau derai hujan azmat Mengucur tanpa jeda Basahi terlumat Sarira Tersenyumlah meski itu keramat Sungging merah merona Itulah azimat Pesona Karena dibalik duka menyanyat Kadang suka mengada Bagai ayat-ayat Selesa IBNU NAFISAH Kendari, 02 Februari 2017

GUNUNG

GUNUNG Kubayangkan engkau gunung jelita Menyingkap tabir kabut pagi buta Perlahan tanggalkan gaun semesta Biarkan bahu pongsu disorot mentari Jejali kata-kata mesra penuh kasih Dari pucuk perawan pohon berbiji Kau menjelma sungai di ngarai berderai Dan aku anak kecil riang bermain air, aduhai Benam aku tenggelam dalammu tak ingin berai Seketika hasrat terbang bak burung Mencubui gelung rambutmu yang larung Jatuh tersesat di hutan-hutan berurung Tak ingin lekas lepas dari belantara Menjadi bibir tubir tempatmu bersenda Menjamah ramah seluk beluk sarwa Amsal kerakal menelusuk bagai lingga Hanya gaung menggema bak gempa Saat engkau lunglai lenyai di kaki bukit perisa IBNU NAFISAH Kendari, 02 Februari 2017

SIREP

PUISI PATIDUSA TANGGA *************************** SIREP Telah kubunuh ribuan sunyi Di kamar sengap Rintihan bunyi Senyap Udara mengalir pun hening Diam nan gemerincing Menabuh geming Cicing Bisumu merayap pelan endap Tuliku menelan kedap Jerit tersadap Ranap Dan ruang hanya kosong Tiada wicara lompong Bahana kelompang Kerontang Engkau hampa tiba menerpa Gelegar sepi bungkam Lengang mendera Pejam Bagai hantu terkutuk gagu Aku renggang kelu Senggang pilu Saru IBNU NAFISAH Kendari, 01 Februari 2017

KERANDA

KERANDA Kali ini biarkan jasadku memelukmu Berbaring dalam rangkul tubuh Menjadi isi jeluk kayu merapuh Bila lalat hijau berkabung Kita dipenuhi rumah belatung Penghuni liar remah menggantung Hingga jangatmu hangatku jadi satu Jeritku deritmu pun menyatu Dalam liang ruang membatu Ketelanjangan ini semakin memutih tinggal rangka Di ranjang tandu kita berpeluk tanpa sangka Memburu napasku parasmu dalam selimut keranda Mati di dadaku Lunglai di rahimmu Dan nikmat jemu bertemu IBNU NAFISAH Kendari, 31 Januari 2017

KUJARAT

KUJARAT Urna Cerah merona Pancar jelita pesona Terbius daku di singgasana Semisal puspa indah tersenyum Dirayu mentari terkulum Terbuai bayu Merayu Wangi Seketika terbagi Masih bekas mengudara Buat darahku berburu berlomba Akulah kekupu liar menyembah Mencumbui sembir kelopak Megar merekah Semerbak Amsal Embun sesal Melepas kecupan dara Kala rawi melipir menggoda Ah, bagai rama-rama tersesat Terjerat ranting sesaat Memuja, sekelebat Mangkat IBNU NAFISAH Kendari, 30 Januari 2017

MAMA

PUISI PATIDUSA BIAS *********************** MAMA Mamaku Seonggok tanah Darinya batang bertumbuh Berdaun berbiji lalu berbunga Sebagian hidupnya hitam berbatu Kerikil tajam memenuhi Patera merandu Menggelayuti Wajahnya Berukir makna Tempahan musim cuaca Guratan kemarau hujan mendera Ketika banjir datang meradang Luka resah menghadang Mengikis tangis Meringis Panas Rekah memecah Kering ronta mengganas Melukai kadang rontok mendesah Dipeluknya pohon rindu cintanya Menidurkan seraya merayu Membelai menyusu Mendekapnya Inangku Selahan butala Rahimnya terlahir aku Sepohon ranting asa buana IBNU NAFISAH Kendari, 29 Januari 2017

HUJAN AWAL TAHUN

HUJAN AWAL TAHUN Akar-akar mulai menelusuk lebih dalam Tunas bakal menusuk ke langit kelam Jasadku tertimbun hingga karam Dirundung embun nyesap ketika malam Hanya air mata menetes mengancam Mengalir terbata rembes merajam Bangkai berulat kian lebam Bagai penari bergulat dengan alam Perlahan dan pasti segenap tubuh tertanam Di lahan gelap yang kau sebut makam Aku menjadi pohon misteri dan seram Dedaun memohon histeri mencekam Ketika hujan datang menyiram Aku telah jadi lautan garam Tertipu waktu termakan hari lalu tenggelam Tersipu aku didekapan buih beradu mata dan karam IBNU NAFISAH Kendari, 28 Januari 2017

SAYAP-SAYAP PATAH

SAYAP-SAYAP PATAH Laron Tersesat tercekat Mata malam menyatron Terjebak cahaya rebak terpikat Udara dingin sehabis penghujan Merajut ingin seketika Gejolak rentan Melanda Sesayap Jatuh tertipu Satu-satu endap lenyap Patah jatuh berbelah rapuh Siapa? serangga yang terluka Tertawan binar semu Panas menganga Bertemu Terbakar Pedih mengakar Terbawa suar kesiur Hilang di simpang siur Setibanya di lantai takdir Seekor katak langsar Bagai pandir Sasar IBNU NAFISAH Kendari, 28 Januari 2017

TERJAGA

Karena malam terasa menusuk Dibiarkan angin nakal masuk Menggoda ia bertelanjang Memulai gelap di atas ranjang Tergoda pula racun di bibir Hari kian mencibir Akan hawa merebak sukma Bagai ular bergelinjang memamah Perang pun dimulai Dalam kabut kelam Fajar akhirnya terkulai Dalam jaga ia terdiam? IBNU NAFISAH Kendari, 12 Januari 2017

HAIKU-TERAS

Haiku-Teras Katak termenung Malam panas sendiri Aku melompat IBNU NAFISAH Kendari, 09 Januari 2017

TIADA GUNA

TIADA GUNA Apa guna menjadi kayu Patah berbelah tiada arti Hanya mengering dan layu Apa guna menjadi api Tahu dosa tahu pantangan Masih jua mati ditiup sepi Apa guna menjadi garang Hidup kelam hitam membara Membakar diri jadi arang IBNU NAFISAH Kendari, 15 Januari 2017

BENDERA PUTIH

BENDERA PUTIH (Berita dari langit) Udara malam berkibar ganas Meniup tubuh beku Berkabar cemas Terpaku Bambu Berdiri miring Bercadar carik merandu Dibuai larik-larik tandu kering Kau katakan, 'jangan pergi' Namun suaramu hilang Ditelan perigi Ilalang Surai Kusut masai Bercampur deru usai Kau dibuai hati sangsai Ketika kereta membawa duka Bendera putih menentang Angin meluka Menantang Berkali-kali Bumi terguncang Berlari-lari jiwa akali Pungkiri langit kelam terpancang Aku dengar sayatan lidahmu Jeritannya menusuk jemu Kesedihan ramu Semu Memutih Terbalut meletih Berkalut pedih tertatih Dalam liang tanah merintih IBNU NAFISAH Kendari, 25 Januari 2017

SANG GAGAK

Reranting pohon kamboja membanyangi rembulan Bagai hantu mengukir tanah pekuburan Bau dupa dan setaman menyibak Kelopak bunga warna-warni merebak Di ujung petilasan seekor burung gagak berkoar Mencari cintanya yang kini hilang tanpa kabar Ditimbun abu dirimbun debu masa lalu Tersembunyi waktu tanpa bunyi merayu Di bawah langit meringis di atas pohon menangis Kepaknya jenuhi udara jeritnya penuhi alam magis Mencari sebuah nama yang lama tertanam Ditutupi dedaunan silam raungan kelam Diantara pohon raksasa, setanggi, dan batu bertuah Memekik mencekik malam bak setan ia berkoar, "puah!" IBNU NAFISAH Kendari, 19 Januari 2017

TANAH MERAH

TANAH MERAH Inilah kisahku yang telah mati Menjadi pusara tak bernama di hati Suara sengau masih terus bergaung Di malam sepi saat bulan berkabung Di bawah pohon tua keriput Di atas tanah merah batu beringsut Aku memujamu sesegar kelopak melati Memujimu sehebat dukaku merintih Namun hanya bisu berbalut lesu Kau pandang aku dalam beku Desahan ranting kering meringis Menangkis ditampar hujan menangis Bagai karang tajam kita meluka Tak terkira dalamnya darah terduga Akulah suara hening di pekuburan Dan kau sepi yang datang jadi hiburan Merangkai derita jadi tangkai cerita Menyibak kisah menebak resah Apakah nantinya kita berpeluk di kubur Setubuhi gelisah kian hari semakin cebur Terperangkap kenangan dan genangan masa lalu Tertangkap keremangan dan kemalangan rasa rindu Dan kita seperti kemenyan yang berbau gaib Berkabut bergelut aroma sakit menjadi aib Apa mesti kutanam saja gejolak ini Bagai mustika karam jadi onak begini Atau kita ziarahi semua yang telah per

ARWAH

ARWAH Segala doa terucap bibir Dengan takut terbata Segala mencibir Terkata Malam Lahirkan gelap Bangkitkan aroma kelam Mendekap erat sukma berderap Entah aku atau engkau Diri beku meraung Suara risau Mengaung Ah, Kitalah arwah Jadi hutan merambah Menjadi bayang pohon gelisah Menapaskan tanah di pemakaman Menyuarakan ke kematian Menggoyang banyangan Gentayangan IBNU NAFISAH Kendari 23 Januari 2017

ROMAN

ROMAN Kita bagaikan Romeo Juliet Bercinta dalam keabadian Berpagut mesra Kematian Saat bibir kita memburu Waktu terhenti ketika Nafsu membiru Seketika Aku hanyalah peti mati Ingin tidurkan ragamu Yang letih Dalamku Menjagamu dalam nisan hening Tanpa lisan, geming Taman debu Hatiku Menjadi batu tugu rindumu Kamboja yang segar Setanggi merayu Menyebar Kita berpeluk hingga lelap Kurengkuh tubuh sepi Kan kudekap Abadi IBNU NAFISAH Kendari, 24 Januari 2017

SUATU KETIKA

SUATU KETIKA Suatu ketika datang padamu Dengan diam-diam bertamu Mengambil sesuatu Berlalu Suatu ketika pergi darimu Pelan-pelan engkau dirayu Memberi cemas Berkemas Suatu ketika tiba waktunya Datang tanpa kata Tanpa bahasa Tiada Suatu ketika hanya cerita Tentang sebuah tulisan Sejarah kita Terlisan IBNU NAFISAH Kendari, 23 Januari 2017

BATU dan TANAH

BATU dan TANAH Entah air mata apa Ketika kita berpagut Derasnya menyapa Renggut Dalam letih dan  pedih Jemari merangkul aku Dibekap sedih Termangu Di antara liang ini Sesak saling tindih Cambuki hari Didih Kita hanyalah batu tanah Saling dekap himpit Tersekap merana Terjepit Di bawah undakan tugu Aroma dupa sebar Kau aku Berdebar IBNU NAFISAH Kendari, 23 Januari 2017

SANG GAGAK

Reranting pohon kamboja membanyangi rembulan Bagai hantu mengukir tanah pekuburan Bau dupa dan setaman menyibak Kelopak bunga warna-warni merebak Di ujung petilasan seekor burung gagak berkoar Mencari cintanya yang kini hilang tanpa kabar Ditimbun abu dirimbun debu masa lalu Tersembunyi waktu tanpa bunyi merayu Di bawah langit meringis di atas pohon menangis Kepaknya jenuhi udara jeritnya penuhi alam magis Mencari sebuah nama yang lama tertanam Ditutupi dedaunan silam raungan kelam Diantara pohon raksasa, setanggi, dan batu bertuah Memekik mencekik malam bak setan ia berkoar, "puah!" IBNU NAFISAH Kendari, 19 Januari 2017

DEKAPAN TANAH

Semalam aku bermimpi Mati lalu terkubur sepi Dalam kesendirian kau memeluk Kau katakan rindu dan menjenguk Kau mendekap erat tak ingin pisah Memohon tuk tetap di situ melepas resah Meninggalkan segala untuk ku saja Dalam lingkar tangan kita saling memuja Kucium hangat belah dadamu Semakin dalam terbuai tanpa jemu Dalam diam kau menimbun tubuhku "Peluk aku" katamu Namun pagi tak lagi datang Kita tak lagi bermimpi sayang Sambil berpaut mereka pergi Tinggal aku, kau dan mati IBNU NAFISAH Kendari, 19 Januari 2017

HUJAN DI MAKAM

Tak pernah ku sangka kaulah air yang jatuh Bagai hujan dan tanah jadi lumpur setubuh Aku gembur sesaat pelayat berlalu Tinggalkan hening geming di pusara batu Kita bercipratan di antara duka dan luka Mengerang menjerit sesuka lalu  terlupa Saling pagut memeluk makam yang sepi Bagai kamboja putih terinjak nafsu berapi Bukan nama kita tertera di sana Dalam ketelanjangan nisan itu merana Meratapi air dan tanah saling mengadu Di ranjang makam kau dan aku bersatu IBNU NAFISAH Kendari, 19 Januari 2017

SAJAK KEMATIAN

SAJAK KEMATIAN Sebelum darah mengering bercucur Badan melepas leher hina melacur Untuk terakhir kalinya biarkan Udara mengalir di tenggorokan Ilalang menari angin di puncak melipir Daun beterbangan dihembus semilir Hingga raga tertidur bagai mimpi Terbangun tanpa rasa tak nyata lagi IBNU NAFISAH Kendari, 18 Januari 2017

MALAM PENGHABISAN

Ketika kau adalah napas terakhir Saat itu sekarat mulai hadir Perlahan-lahan cumbui bibir gemetar Kau katakan cinta hingga dada bergetar Kaki-kaki bagai salju jatuh dari gunung Laki-laki itu adalah aku yang merenung Penantian pun sampai di ujung jalan Tanpa berbalik kau ucapkan selamat jalan Layaknya bunga terlepas dari tangkai Kau pergi tinggalkan jasad membangkai IBNU NAFISAH Kendari, 18 Januari 2017

AZAB

Kekasihku memanggil Suaranya buatku menggigil Di atas menara di dalam kuba Meratap dan berdoa Dari jauh nampak awan merah bata Burung-burung tampak melata Melilit pohon kini bersiluet Kaki menapak aspal berduet Kekasihku udara lembayung Bergelayut awan larung mendayung Di bawah kolong langit Dosa kupanggul bibir tergigit Tak sudi ia membelai luka Membidai raga berduka Karena khianat ia melaknat Sujudpun ampun minta selamat IBNU NAFISAH Kendari, 12 Januari 2017

JAMBAR

JAMBAR Ketika menginjak kan kaki ke dalamnya Kurasa lantai ini mengenal telapak di sana Daun pintu kamar yang ingin didorong Atau bahkan tembok beku angkuh dan sombong Tapi sayang kenangan itu telah jadi debu dan abu Beberapa ekor lelaba menjaring ingatan merapuh Bahkan lumut masa silam terasa kelam berkapur Mewarnai diri sesak resah bagai pelipur Kisah kita memang telah lama usai Bagai daun kering terbang sangsai Menepi di jeruji jendela Tanpa bayang tirai meraba Di antara atap dan lantai Tersimpan genangan merangkai Bagai udara malam Terasa panas mengancam Mungkin juga seduhan kopi ini Terasa sepat di lidah lelaki Tanpa pemanis begini Hanya cebar di hati IBNU NAFISAH Kendari, 06 Januari 2017

DI HARI KEMATIAN

DI HARI KEMATIANKU Hanya pusara batu sebagai penanda petilasan Tak ingin pula tangismu jadi alasan Kau sirami bunga dan doa pada tanah tak bernama Lalu pergi tinggalkan sepi kian merana Jangan! Aku butuh ragaku kau mandikan Salatkan! Lalu kau kuburkan dan tinggalkan Tak perlu air mata membasahi Sesal dan sesak memenuhi Dalam hati Di ini hari Aku hanya butuh ucapan "Selamat jalan" Di bibir yang mengembang Senyuman merembang Tak perlu doa di tiga tujuh hari berikut Bahkan empat puluh seratus hari kan beringsut Karena waktu duniaku telah berakhir Dan alam gaib akan lahir Jika waktu itu telah tiba Kenang. Kenanglah aku sebagai bunga Yang kau tanam di tanah tak bertuan Kan tuju ke tempat yang ber-Tuhan Pejamkan ini baik-baik Meski aku tak terlalu baik Bagi dunia yang kutanggalkan Bagi mereka yang kutinggalkan Segala doa terpanjatkan Semua dosa terhujatkan Adalah teman menyertai Musuh yang mengintai Di hari itu Tersenyumlah Di hari itu Berbahagia

JIKA

Jika kau ingin menjadi malamku Jadilah bintang berkelip Bulan temaram tanpa ragu Jika kau ingin jadi malamku Selimutilah ragaku yang gelap Meski ia begitu hitam memaku Jika kau ingin menjadi bagian dariku Merayaplah tanpa bunyi Karena aku hanya sepi yang teramat sunyi IBNU NAFISAH Kendari, 09 Januari 2017

LAPTOP

Aku butuh kamu hari ini Dalam laptop nirkabel Mengetik tuts mencari Namun kau tak berlabel Ribuan slideshow terbuka Hanya menguak hampa Beberapa virus menghadang Diri menguap meradang Ke folder mana dirimu kini Apakah telah berganti Drive sudah berpindah Ke flash atau ke entah Ah, kurasa seseorang telah menghack Lalu kau berubah akun atau No. Reg Mengganti nama inisial foto dan password Hingga jejakmu pun tak terjejak di keyboard Sungguh aku butuh kamu Tuk mengeja alamat websitemu Mungkin sekadar chat dan mengirim email Atau kuketik saja "love"  di google IBNU NAFISAH Kendari, 12 Januari 2017

AKHIRNYA

Akhir beginilah jadinya Kepergian suatu waktu Ditimbun dosa siksa Tiada kata tolong Bunga hanya pemanis Kebisuan jerit melolong Wajah pucat hilang darah Ulat-ulat merayap menemani Tinggal tulang sisa tanah Akhirnya kita sampai di sini Digerbang nyata dan misteri Membawa derita jasad mati IBNU NAFISAH Kendari, 16 Januari 2017

SURAT YANG KAU TULIS

SURAT YANG KAU TULIS Telah kubaca berulang-ulang SuratMu tempo hari Betapa cinta dan sayang Kepada aku yang hina ini Ribuan juga jutaan Milyaran bahkan tak berhingga Risalah telah kabarkan Segala peringatan dan doa Namun kaki ini selalu saja berjalan di gelapnya malam Tangan meraih ditempat yang mengancam Bibir dan lidah bersilat dikusir tak berkuda Hati dan akal merajam dendam di dada Berkali-kali kuberbuat Berkali-kali kumerajuk Berkali-kali kubertobat Berkali-kali Kau membujuk Meski kumenangis bagai sang buaya Pun percaya Atau tertawa bagai heyna Pun terima Aku baca semua suratMu Di malam gelap tika ingin bertemu Di pagi buta saat angin bertamu Saat sadar jiwa mengadu Kau begitu cinta dan sayang Dan aku begitu buta dan jalang Tak pernah sepenuh hati padaMu Bahkan bukan kekasih setia untukMu Kini kali ini Kumulai membaca lagi Segala ucap yang Kau tulisi Dalam sepi dalam diri Hingga sendiri sangsi Tika besok bersaksi Apakah aku masih kekasih Yang ka

MATI BERIBU TAHUN

Biarkan aku mati beribu-ribu tahun Terbaring di tanah tanpa nama Jadi bangkai memutih tulang Usah kau ziarahi dengan kembang Doa dari bacaan yang kau yakini Atau sekadar menangis tersedu Bukankah setiap nama akan terlupa Setiap lahir pasti akan berakhir Setiap suka pasti akan berduka Maka biarkan aku pergi Kembali ke tempat dulu kutinggalkan Dengan senyum hati ikhlas IBNU NAFISAH Kendari, 16 Januari 2017

SANG PEZIARAH KECILKU

Sang PEZIARAH kecilku Aku bayangkan engkau liang tanah Dan aku hanyalah jasad kaku merana Kau diam dalam gelap Lalu tulang-belulang merayap Pusara kemarin sore yang engkau jejak Kini penuh bunga dan rumput merebak Ada nama kita di sana Jua kenangan lama Mungkin air mata dan darah Suka dan duka Telah lama mati Bersama jalannya hari Namun tanpa kita sadari bersama Kita telah melahirkan seorang peziarah Bermandi dupa dan lupa Sejumput doa dan kecewa Aku akan terus menjadi hujan Embun yang jatuh rentan Air basahi liang mata Hati mengeluh iba Menjadi penjara tak berdinding Mengekang jiwa merinding Gelap sepi tak berdamai Mengendap luka sembuh tak tergapai Akulah satu-satunya anak sungai tak mengering Ketika ia berjalan tertatih di depan mata terjaring Atau telinga yang mendengar tapi tak mengenal Hanya tahu rindu berkerudung asing kian mengental Aku akan selalu menjadi laut yang dalam Menghitam di palung karam dan curam Karena aku hanya kapal naas belaka Tert

TAMAN PEKUBURAN

Bulan di antara awan gelap Bersinar rawan bak hantu merayap Batu penanda kematian berpendar pucat Ditipu angin beku beredar berpusat Lima kelopak kamboja putih jatuh Menggema di atas tanah letih merapuh Entah roh atau jasad kini menangis Dalam liang gelap sepi mengais IBNU NAFISAH Kendari, 16 Januari 2017

SEBATANG PENSIL

Kau seraut pensil yang berjalan di atas kertas Menggoresku dengan nama tak mudah diretas Merangkai huruf angka menjadi teka-teki Menggambar cerita abstrak penuh misteri Inikah awal paragraf kehidupan yang harus dieja Diberi makna karakter serta istilah sederhana Tentang semburat kabut di padang-ladang ilalang Atau mega merah jambu di ujung barat menyalang Bayangmu berbaris dalam larik secarik kalimat Berparade manis di halaman buku sukar kutamat Namun terus terbaca terlisankan dengan hikmat Karena kuyakin risalahmu sebagai penyelamat IBNU NAFISAH Kendari, 11 Januari 2017

PUNCAK MISTERI (MASKUMAMBANG)

Jauh di puncak bukit terjal Melalui lipatan tangga Terpampang muka duka Gunung dan angin tak terduga Rumah-rumah pepohonan mengecil Dan kau tidur di tempat terpencil Di bawah Kamboja tua keriput bergetar Tiga batu mati seperti hidup gemetar Dosa apa yang kau tanam Hingga namamu merajam Dirundung sepi dituding sunyi Oh bukit ini menelan misteri Kaupun jadi siang-malam beraroma gaib Hingga nusia klenik sembunyi aib IBNU NAFISAH Kendari, 17 Januari 2017

BATU TAK BERTUAN

Aku hanyalah batu tak bertuan Menancap ganas tepat di atas mu yang gembur Namun cintaku sedalam liang ini Bahkan tertulis namamu yang telah mati Kau bermandi kembang tujuh rupa Sementara aku diliputi kabut dupa Bukan. Mereka hanya dapat berduka Menjerit menangis atau terluka Tapi kitalah aktor utama tragedi ini Akulah yang mengangkangimu hingga kini Menggerayangi krikil nakal yang bertabur di sana Hingga kau merintih binal dalam malam ketiga Setelah rembulan pulang di subuh Kita terkapar disengat kabut dan rubuh IBNU NAFISAH Kendari, 16 Januari 2017

KENYANG

Sebelumnya kita hanyalah nafsu Kau rasa lapar dan aku haus belaka Ketika semangkuk cinta tersuguh Kau lahap aku dalam bibir merah Pun remahnya tertinggal di lidah Kulumat habis hingga tandas Di sela-sela rasa nikmat Kita pun mati dalam kekenyangan IBNU NAFISAH Kendari, 09 Januari 2017

MALAM PANAS

MALAMKU YANG PANAS Kau datang dengan binal Amsal udara gerah yang nakal Perlahan meniupkan panas yang banal Mencumbui hingga hilang akal Sudah kukatakan buka saja pintu dan jendela Nyalakan pula AC dan kipas di sana Namun kini kau telanjang Dan kita di atas ranjang Kau malamku yang panas Sebutir keringat mengganas Kau menikmati seumpama pemanas Dan aku hanya beras sebentar jadi nasi keras Segala gaya dan upaya Telah kita lakukan bersama Hingga aku pun tak kuasa Lalu lari bertelanjang dada Di teras masih kutemui pula dirimu Dengan bintang di langit gelap Kau memeluk erat tubuhku Masih pula mengipas engkau meratap IBNU NAFISAH Kendari, 06 Januari 2017

HUJAN DOSA

Hujan yang datang bergemuruh Bagai dosa tertandang mengguruh Membasahi amal seluruh Tiada rumput menolak untuk kering Bahkan hijaunya pun terbaring Akar menyerap segala dera tanpa menyaring Bahkan tanah sebisanya menjadi lumpur Berkeruh air debu dan abu bercampur Menimbun arus jadi ombak tuk menggempur Lalu kita terbawah banjir sepanjang sungai Diombang-ambingkan derunya kian terkulai Bersamanya neraka dunia dimulai IBNU NAFISAH Kendari, 15 Januari 2017

NUSA INDAH

Mekar sepanjang hari bak Nusa indah di taman Daunnya hijau ditiup angin sunyi pemakaman Reranting tajam kering menunjuk langit Berdoa ditunasi bakal agar hidup tak pahit Namun jua tak sudi jatuh ke tanah jadi bangkai Ditimbun sepi hampa berulang merangkai Oh inikah nasib bungaku yang layu di awal pagi Merindukan hangat mentari pula tak kuat menyendiri IBNU NAFISAH Kendari, 15 Januari 2017

TAMAN PEMAKAMAN

Tamanku hanya rumput saja Ilalang berdiri kaku meraja Senyap merayap di keheningan Meneriakkan jangkrik kemalangan Bekas hujan berbau ketimpangan Meneteskan bias jerit kegelapan Menjadi pusara diantara pemakaman Menerka kematian di halaman Malam berlalu bagai hantu pada titik air Sekali lagi basahi hidup layaknya penyair IBNU NAFISAH Kendari, 15 Januari 2017