TENTANG PANTAI

TENTANG PANTAI

Mungkin ini puisi yang agak melankolis pada deretan pasir dan karang; di mana perahu-perahu beradu ombak di bibir pantai.

Tentang cerita lautan berangin kencang, meniupkan layar-layar terkembang. Dan ikan-ikan memenuhi geladak bergetar.

Selalu saja datang bersama angin pagi. Senyuman nelayan, juga jangkar-jangkar yang menancapkan rindunya pada pantai-pantai tak bertuan.

Puisi ini sungguh terlalu melankolis ketika kusadari; angin selalu berlalu pergi membawa kapal, lalu jangkar menggores bibir pantai. Membuat luka di dasar yang akan tertutup asinnya garam lautan.

Tapi kali ini puisiku terlalu melankolis.

"Datanglah, kembali wahai jangkar. Jika kau hadir di lubuk jiwaku. Tolong tancapkan lagi kata-kata itu, 'cinta,' sedalam-dalamnya hingga kita menyatu," ucap pantai berombak.

Ia terlalu mencintainya. Namun perahu-perahu kembali berlayar membawa serta jangkar di atas buritan. "Berjanjilah. Kau akan menjadi pantai yang tetap berpasir dan bernyiur. Karang-karang kecil serta kepiting mungil yang berjalan melukis jejak, ketika aku datang lagi!"

Tiada kata-kata setelahnya. Tapi angin terus bergerak. Pasir beterbangan. Ombak memukul karang. Nyiur melambai diresah yang berkepanjangan. Aku tahu ini terlalu melankolis. Tapi, ya, begitulah, entah esok, lusa, tulat, tubin, aku tak tahu kapan jangkar kembali. Lalu aku menunggu selayaknya pantai kedinginan diterpa matahari senja. Sebagaimana kukatakan, aku terlalu melankolis jika berdiri menatap cakrawala. Dan kau hanya titik kecil, hitam di sana. Terombang-ambing.

Lalu katamu, "Iya puisi ini terlalu melankolis."

IBNU NAFISAH
Kendari, 31 Maret 2017

Comments

Popular posts from this blog

Di Meja Makan

PANTUN BUJANGAN

Pelabuhan