Menelan Sebulat Bulan

Kau adalah puisi tentang kegelapan di langit yang menolak disebut pagi. Sinarmu membaca mata takjub pada kolam dalam hening. Bagai ikan hias berenang di samudera luas, sebentar jerit cipratan tanpa kata naik bagai gelembung.

Kau juga rumah yang menolak memakai atap kecemasan, karena warna perak kebekuan sudah cukup menghantui. Kau beri bayang, disisi lain kau mencintainya hingga telanjanglah ia di matamu yang terang.

Segala pepohonan kau beri sapuan kapas seputih mimpi, yang berjalan dalam kegelapan demi kegelapan dan tiba-tiba kau datang dengan percikan tawa dan canda di pucuknya.

Dengan angkuhnya kau membesarkan diri sendiri. Menatap perih pada titik bintang yang hanya kau sentuh, sintuh semakna kesombongan. Mungkin dalam hati kau berkata "Betapa sedihnya hidup ini, kau terlalu kecil tak sebesar harapan dan dugaan".

Jalan-jalan yang kau ludahi penuh debu pada sesalnya. Ia bosan disebut jalan juga setapak, demi sol sepatu kasar yang menancap pedih. Ia ingin di sebut ular terbang, panjang dan berekor lalu sayap-sayapnya mengangkat badannya yang serasa tak ingin terbang. Mungkin sayap itu terlalu kotor dan basah oleh jiwa malas.

Kau lah yang menghidupkan tanah lapang di hatiku. Ketika semua berkata "Hari telah malam, tak ada lagi harapan buatmu", namun kini kau datang sebagai raja malam lalu duduk bertahta di puncak keberanian. Kau beri roh baru, roh mati yang kau hidupkan kembali dari balik senyummu yang bulat.

Mungkin kau juga rerumputan ini berwarna derita lalu sirami tawa keengganan karena esok mereka akan mati terinjak atau ditodong mesin yang sama kita tau namun bunyinya kadang buat kita berang.

Kemudian rawa itu, hanya sebuah cermin datar berembun teratai dan katak malam di permukaannya. Mereka menolak kau beri suara dan keheningan. Mereka mencintai wajah sendiri di kaca bah akuarium, kau lihat tapi tak tersentuh tangan jahil. Karena ketelanjangan kadang menampakkan rahasia yang mesti ditabuhkan pada pandangan. Meski itu hanya sebuah lukisan ikan yang sedang mandi di dasarnya.

Lalu ada tiang-tiang yang berusaha menggapai. Selayaknya bendera yang berkibar ditiup kebosanan, di malam bening ini ia hanyalah jarum runcing yang hendak menohok langit agar balon malam itu meledak. Mungkin ia berpikir dengan begitu sinar pagi akan pecah, lalu ia segera berpakaian merah-putih jam enam nanti.

Kau adalah sesal yang tak bisa kuabadikan dengan kamera apapun. Seberapa pun usaha untuk menolak untuk lupa, kau tak kan mampu melekat diotakku selamanya. Tentang hikayat sebulat bulan yang akhirnya kutelan dalam mimpi. Tapi, aku takkan cemas, di hari esok meski langit gelap dan awan menjatuhkan debu basahnya yang kau sebut gerimis dan hujan, ku yakin di malam seperti ini kau atau aku, akan saling menelan sebulat dan serakus orang kelaparan menikmati malam gelap dalam kehangatan.

Kemudian kubawa kau pada sebuah puisi dalam buku-buku yang enggan siapapun tuk membacanya. Namun jika hati rindu padamu, ingin menatap wajahmu, akan kubuka sebaris demi sebaris layaknya seorang ayah menatap foto anaknya yang telah lama lupa, ternyata ia adalah seorang ayah.

Dan kau pergi dalam angan, terbawa, terlipat pada bayang dan harapan, meski kita saling mencintai tapi waktu perpisahan tidaklah mudah diterima beberapa orang di beberapa kejadian. Akhirnya kita sama saling melupakan demi pertemuan yang tak terduga kapan awalnya.

Comments

Popular posts from this blog

Di Meja Makan

PANTUN BUJANGAN

Pelabuhan