Kantuk
Ketika mulut membuka bagai Kaiman* hanya dua alasannya
Pertama karena rasa lapar yang datang tanpa di undang meski waktu makan siang belum lagi tiba
Dan yang kedua saat sinyal-sinyal alam bersekutu dengan alarm tubuh
Kolaborasi yang sangat fantastik
Alhasil dua pasang kelopak mata yang bersayap bulu perindu bah kelopak mayang bersemu semakin berat
Roh ayam yang tiba-tiba menyeruak mengajak leher terkulai
Seiring mata menutup secara perlahan
Di sinilah proses awal yang sangat menentukan
Pertemuan dua kutub yang saling mencintai
Bagai Romeo dan Juliet yang hanya saling berpeluk di dunia kematian
Sayap-sayap cinta yang akan saling berpanggut dalam damai
Memeluk gelora asmara yang kian lama dibawanya ke samudera luas
Dilepasnya layar mimpi ke deru angin yang makin menyala
Dikibarkannya bendera pelayaran sebagai simbol dunia laut telah mulai dijelajahi
Ketika bola mata semakin memutih dan bola hitampun menghilang dalam gelap
Ketika itu ketidaksadaran bagai awan putih di langit yang cerah
Dibuai sepoi-sepoi hingga tak berbentuk ke cakrawala
Ditarik dan dihembuskan kemana pun langit inginkan layaknya ayunan masa kecil
Badan yang semula tegap kini jatuh lunglai tak berarti
Merendah lalu merendah
Semakin rendah dan rendah
Perlahan demi perlahan kepala itu layu
Mencari sungai air dalam irama menenteramkan
Bergoyang dan terus merunduk
Dan akhirnya tibalah ia di pelabuhan kasih
Di mana ombak bertiup bagai tangan sang kekasih
Dibelai rambutnya hitam mengembara
Pada padang rumput di bukit penggembala
Rimbun daun candu berbau semerbak ke segala ketiadaan
Menurunkan dia sang otak dari tahtanya yang penuh kekuasaan
Memenjarakan roh halus dalam jasad kasar
Bagai seorang narapidana yang terkurung di bawah tanah hingga dasar
Tak berkutik sekalipun badai pasir menerjang kejang
Sebab ia, sang jasad sedang berburu di padang mengejar seekor kijang
Sebilah anak panah yang telah siap bidik berada dalam genggaman
Menunggu waktu yang tepat untuk melepaskan
Namun anak kijang itu terlalu lihai
Dan mungkin di langit akan terjadi badai
Hingga anak panah itu terus ia pegang
Kepalapun kian lama kian tegang
Menunggu saat yang dinanti tiba
Dan akhirnya hujan pun jatuh tiba-tiba
Kali ini hujannya tanpa basa-basi
Jatuh dari ujung rambut ke ujung kaki
Dan sontak saja jasad itu kaget bukan kepalang
Seember penuh air tumpah membasahi wajah yang nyalang
Roh yang terkurung dalam sel kematian
Seketika bangkit menuju kepastian
Akan adanya kesadaran yang telah lama beku
Dan kini kenikmatan itu hilang berganti rasa yg malu
Karena ia sempat hilang sadar
Lalu kembali lagi untuk duduk dan bersandar
Hanya sekadar menenangkan jiwa
Dan kembali mengambil alih kuasa
Akan dirinya yang sempat hanyut dalam ngantuk
Dan ia hanya sesali diri sambil terus mengutuk
*Buaya besar
Comments
Post a Comment