Posts

Showing posts from July, 2015

Menelan Sebulat Bulan

Kau adalah puisi tentang kegelapan di langit yang menolak disebut pagi. Sinarmu membaca mata takjub pada kolam dalam hening. Bagai ikan hias berenang di samudera luas, sebentar jerit cipratan tanpa kata naik bagai gelembung. Kau juga rumah yang menolak memakai atap kecemasan, karena warna perak kebekuan sudah cukup menghantui. Kau beri bayang, disisi lain kau mencintainya hingga telanjanglah ia di matamu yang terang. Segala pepohonan kau beri sapuan kapas seputih mimpi, yang berjalan dalam kegelapan demi kegelapan dan tiba-tiba kau datang dengan percikan tawa dan canda di pucuknya. Dengan angkuhnya kau membesarkan diri sendiri. Menatap perih pada titik bintang yang hanya kau sentuh, sintuh semakna kesombongan. Mungkin dalam hati kau berkata "Betapa sedihnya hidup ini, kau terlalu kecil tak sebesar harapan dan dugaan". Jalan-jalan yang kau ludahi penuh debu pada sesalnya. Ia bosan disebut jalan juga setapak, demi sol sepatu kasar yang menancap pedih. Ia ingin di sebut ular

Sepiring Dadar

Aku mencintai kuning Warna terang dan putih Setengah matang di atas piring Sebagai sarapan ternikmat pagi ini Keringat yang bening sesegar air dalam gelas Lalu kuteguk tanpa jedah itupun ku suka Seperti mengisi pori-pori kulit menetes dengan semangat Udara dengan pohon burung mata merah di ujung damar laut Keteduhan atas rerimbunannya dengan segala semak Guguran jati menggenangi jalan setapak Suara hiruk pikuk canda burung Lalu nafas yang mulai mengenal hangat pagi Itupun aku suka Kemudian suara-suara. Banyak sekali suara mengular mengulur di sisi jalan Bernyanyi riuh. Berseragam kuning merah Bertepuk suka ria menginjak aspal yang masih saja bermalasan Mengukur panjang jalan itu dengan jantungnya yang berdenyut Mendendangkan mulut-mulut bersuara padu Seakan mengusir jarak karena lari awal kini berakhir Pun begitu. Kita sama suka. Kini dadar itu tak berbekas sama sekali Begitu pula air dan juga keringat Kemana semua mereka Ini masih pagi Siang belum lagi datang

Bukan Atheis

Dia tidak atheis lagi Nyatanya ia mengundang buka puasa bersama "Tak ada kamu ga' asyik!", celotehnya saat itu Meski ku tahu puasa yang dilakukan hanya sekedar Karena itu bulan puasa dan semua orang melakukannya Lalu facebook dan bbmnya pun mengucapkan "Selamat berbuka dan mohon lahir batin" Dan hingga shalat ied pun ia di saf paling depan Dalam hati kuberucap "Semoga yang wajibpun kau tak pikun" Sudah lama sejak pengakuannya yang mengejutkan "Bahwa agama atheis adalah yang terbaik dan tidak munafik Beda dengan agama kita sekarang yang hanya seremonial belaka" Kini kau datang dengan keyakinan baru pandangan baru meski tak sempurnah Kau duduk di tempat mu yang terakhir Dan berkata "Aku tak bisa mendengar adzan lagi, kepikunan sudah merasuki, dan kafan itu terlalu kuat mengikat tubuhku" "Aku sudah terlambat untuk kembali, tubuh rentah dan jasad beku" "Lalu apa lagi sekarang?" Aku terdiam hening Dan

Kenangan

Masih ada satu udara yang ku hidup sedari kecil Dalam udara itu asap dapur mengepul di langit-langit Sementara kepalaku berbantal paha gemuk ibu yang sibuk Udara itu terus ku hirup hingga kini ketika ke dapur ingin kembali Udara di pagi menjelang shalat ied dan kami berdua Banyak sudah kayu yang terbakar di sudut ruang Potongan bawang serta penumbuk berserakan di lantai Kita masak apa ? Mungkin ayam karena sedari tadi kudengar bunyi kokok dari belanga Mungkin juga ketupat kenangan karena baunya buat mataku terus terpejam Bunyi kretek dari kayu bakar memaksa terus bermimpi Tentang ibuku yang sibuk dan aku yang menikmati Lalu kuputuskan untuk terus tertidur dalam paha gemuk itu Mungkin inilah cara agar kita terus terhubung dengan masa lalu Membayangkan kabut asap menerangi pagi dingin yg sejuk Seakan medan waktu berlompatan dalam kepala Merakit jembatan masa lalu ke masa kini Tali-tali jembatan itu belum lagi putus Namun di bagian tertentu nampak berbulu dan awas Ibu pu

Hidup layaknya sebuah puisi

Hidup layaknya sebuah puisi Dan manusia sebagai kata-kata Kita lipat kata dengan kata hingga jadi sebuah kalimat Memberi pengandaian ketika kita tak lagi cermat Menambal imajinasi di sana sini biar lebih kreatif dan kaya makna Lalu semua berasa berlebihan dan hanya menambah rasa Suasana memberi latar belakang cerita Terkadang pengalaman terekspos sebagai berita Jangan lupa nada panjang pendek irama Agar jadi pemanis kenangan bernama rima Bait demi bait yang terbentuk menyajikan keelokkan tersendiri Karena semua dapat tempat semua dapat hati Percayalah larik-larik yang kita padu akan membentuk karya Semakin memperjelas siapa dan apa peranan yang kita cipta Kata per kata cenderung membentuk metrum dalam tiap kalimat Begitu pula kisah hidup ini selalu ada pesan dan kesan yang khidmat Baca dan renungkan sajak hidupmu yang mengharu biru juga mengundang tawa Sekeras selantang deklamasi menghiasi suka duka Karena lagu dunia takkan indah tanpa kata-kata puitis Sebagaimana ki

Kantuk

Ketika mulut membuka bagai Kaiman* hanya dua alasannya Pertama karena rasa lapar yang datang tanpa di undang meski waktu makan siang belum lagi tiba Dan yang kedua saat sinyal-sinyal alam bersekutu dengan alarm tubuh Kolaborasi yang sangat fantastik Alhasil dua pasang kelopak mata yang bersayap bulu perindu bah kelopak mayang bersemu semakin berat Roh ayam yang tiba-tiba menyeruak mengajak leher terkulai Seiring mata menutup secara perlahan Di sinilah proses awal yang sangat menentukan Pertemuan dua kutub yang saling mencintai Bagai Romeo dan Juliet yang hanya saling berpeluk di dunia kematian Sayap-sayap cinta yang akan saling berpanggut dalam damai Memeluk gelora asmara yang kian lama dibawanya ke samudera luas Dilepasnya layar mimpi ke deru angin yang makin menyala Dikibarkannya bendera pelayaran sebagai simbol dunia laut telah mulai dijelajahi Ketika bola mata semakin memutih dan bola hitampun menghilang dalam gelap Ketika itu ketidaksadaran bagai awan putih di langi

Hujan

Air yang berjatuhan dari langit mengingatkan aku pada malam dimana kita kebasahan Saat itu rambutmu yang hitam jatuh melekat di pipi serta leher jenjangmu Rasa dingin yang menggigil ini pun bukan dari tiupan angin di sela pepohonan Namun dari ingatan saat itu Ketika kita terjebak suasana kikuk saat tak sengaja bersentuhan tangan Berkali-kali kuusap wajah bukan karena air yang menetes Namun sekadar ingin menyadarkan diri bahwa aku sedang berkhayal lagi tentang malam itu Malam di mana kau dan aku berpeluk beku di atas motor menembus malam membelah hujan Kaki ini pun segera kularikan di atas genangan air hanya sekedar untuk berusaha melupakan kenangan itu Kenangan di mana kita mudahnya merangkai kata "sayang" dan bibir secara lugu berucap "untuk selamanya" Setibanya di pintu rumah kudapati dirimu berdiri di sana Namun ternyata itu hanya bayang semu karena yang kini hadir hanyalah pintu kosong dengan titik air merembes dalam pikiran Dunia apa ini, yang segal

Antri

Penantian sepertinya takkan pernah berubah Sering kali mengulur waktu yang kau sebut sebagai kesabaran Mengukir detik ke detik hingga jam bertambah banyak angkanya Kita mengular di sini siap menunggu mangsa yang kau pancingkan di ujung sana Ingin ku dorong jam di atas kepalamu yang sibuk dengan tangan gesit Agar langkah ku secepatnya bergeser dihadapanmu Nomor urutan semakin menambah jarak saja Lihatlah angka 220 jika ini adalah umur sudah 2 abad 2 windu 4 kali lebaran aku berdiri di sini Dan benar kata mereka, menunggu bisa buatmu berlumut Jangan katakan aku tidak sabaran karena semua pun sama tetap menunggu Namun otakku sudah lelah memutar-mutar isinya mencari celah agar kata "bosan" tidak bersarang di sana Pun agar jasadku yang dewasa tidak tampak konyol terlihat karena kaki dan tangan ini sudah pingin berguling-guling karena letih Jangan katakan ini berlebihan karena kata "antri" yang berarti "menunggu jika kau sabar", telah ada sejak aku d

Anak Lelaki Ayahku

Anak Lelaki Ayahku                        (Suatu malam bt:nanda) Ketika itu kita duduk di sini Membicarakan hal sepele Hal yang banyak orang katakan pembicaraan basa-basi Kau mulai mendendangkan irama hidupmu yang tak banyak orang tau Bagaimana susahnya hidup di tempat asing jauh dari keluarga Hingga kita sampai di pokok masalah semua orang "Tujuan Hidup yang sebenarnya" Bukan sekadar mencari sesuap nasi dan seteguk air Namun lebih pada sebuah prinsip Prinsip seorang ayah pada anaknya Yang kau pegang sekuat dekapan ayahmu saat kau bukan siapa-siapa Saat beliau melepasmu ke padang terasing agar kelak kau mandiri Katamu "Aku adalah anak ayahku, dan aku anak lelaki itu, dengan hanya berbekal sebuah belati" "Aku dilepasnya seorang diri", katanya "Kau adalah anak lelaki dan juga adalah anakku" "Kelak kau akan memberi makan anak orang dan memberi makan anakmu" "Usahakan mereka bahagia, bukan menjadi susah karenamu"

Imsoniak

Image
Mungkin aku lagi mabuk pada malam Bagai kutu buku yang maniak Kesadaranpun ku eja dalam-dalam Kulafalkan tiap senti hingga membiak Huruf per huruf agar jelas mahram Namanya pun terbaca : im-so-ni-ak Jendela mata terkatup bagai tiram Ketika terbuka kecewa pun menampar Dunia malam terentang seluas alam Dan aku hanyalah sang kelelawar Mengawasi tiap rentetan jam Yang berdetak menghantam Dengan sigap detik ku sulam Dan menit pun ku anyam Ini yang kuhindari malam yg hitam Hanya lampu kamar temaram Lidah keluh bagai mengunyah garam Hanya bisa mengkhayal masa silam Di masa kita sama saling hadang Di atas ranjang ini kau kudekam Hingga badan kita saling meradang Dan imsoniak datang berjam-jam Kini tak ada lagi jerit keringat Karena nafas melintas jeram Kala malam datang sbg pengingat Khayal datang bagai bayang seram Aku dan malam saling kelahi Bertaruh melawan kelam Bertarung melawan birahi Semakin pahit semakin suram Inilah akhirnya : terdampar Pada keadaan mata

Percakapan

Percakapan                              (Suatu sore bt : sigit) Suatu ketika di sore hari Kita terlibat percakapan Saat itu aku tengah sibuk berpakaian Menata rambut dengan model baru Ketika itu kau katakan "Senja, itu nama anakku" "Mengapa harus senja?" Kubalas heran "Nama itu bersifat situasional" Lalu kau menambahkan "Senja, seperti lembayung yang melilit di cakrawala, warnanya ungu, merah jingga" Lalu kau menarik nafas sedikit "Yang lelaki ku beri nama Mahameru" Ada yang menggelitik dalam jiwaku "Bukankah itu nama sebuah gunung?" "Ya benar, Mahameru terkesan monumental, gagah dan perkasa" Lalu akupun mulai penasaran "Lalu siapakah nama istrimu?" Ia tersenyum malu "Namanya Mimpi, ia tinggal dalam rumah khayalan yang ku sambangi saban lalu" Akupun jadi ingin tahu siapa gerangan dia, "Lalu kau ? Siapakah kau yang berbincang tanpa ragu?" "Aku adalah cermin tem

Mati

Image
Satu lagi jasad terkapar mati Lalu terbawa lupa nanti Di atas kerak bumi Terbujur kaku bah mumi Yang diam membisu dan sunyi Hanya derit angin berbunyi Kemana handai tolan hari ini Berjalan berbisik dalam tangis kini Ada yang bilang "ia telah terjatuh letih" Yang lain berkata "Ia kini takkan merasa perih" "Ba'dah ashar rumah itu ia akan tempati" Ku bergumam "Hanya seluas 1x2 meter", dalam hati Tak ada kabar berita sebelum pergi Atau ucapan pamit sekedar basa-basi Meski warisan sekian ribu tuk berbagi Atau bekal persiapan meski sejumput nasi Perjalanan ini adalah terakhir dan abadi Tak perlu lambaian tangan mengawasi Atau pelukan di pundak menghangati Keikhlasan tuk melepas sebuah kepergian telah mencukupi Dengan tanpa air mata serta histeria yang berlebih Atau sekedar doa akan menenangkan rohani Ia tak butuh dikasihani Siraman air serta kafan yang bersih Lalu shalat yang khusyu telah menggenapi Kemudian tinggalkanlah

Pelabuhan

Image
Di pelabuhan yang kita sebut saja airnya biru dan gelap Ombak berdenyut riang di permukaannya Tersiar kabar kapal-kapal tertambat lalu terapung di buai cinta Bukan cinta akan buih yang berbusa dan menggebu Namun cinta pada pelabuhan akan kenangan Yang dulu pernah kita injakan sepasang kaki yang damai Menunggu rindu yang berjarak akan tanah rumah tempat kali bertemu Suara yang dulu kita ingin sekali dengar Atas percakapan pribadi yang menentramkan sukma Pada handai tolan serta keturunan yang lama terasing Kapal-kapal itu kini masih ada namun terkemas kusam Tiram-tiram itu begitu tajam menggores Lalu lumut laut bermain di pinggirnya Hingga semua terasa berat untuk berlayar Karena kapal-kapal kita telah rusak berbenturan dengan tambatan Kita biarkan kapal-kapal itu dimainkan ombak dan angin Meski kita masih di pelabuhan dengan hati yang resah Tas juga langkah bergegas meninggalkan kita Meninggalkan kenangan lalu yang sama jadi sesak Kali ini untuk sekian kalinya kita m

Berita Hari Ini

Tiada guna lagi berkaca Hanya memamerkan borok di wajah Hanya menajamkan bisul di mata Lalu hati gelisah ditimbun dijajah Tiada guna bersuara lantang Jika halilintar ditantang Lalu kehendak langit ditentang Akhirnya nelan ludah terpantang Membakar nama sendiri Dengan berita koran hari ini Merapalkan sejuta kesalahan pagi Meski subuh awal dini Kita terbiasa melantunkan semut Yang berada di seberang laut Sementara gajah berontak menyundut Ujung mata kita berkedut Mendewakan kabar angin Meski otak menerka meraba Kita jadikan selimut dingin Hingga gigil merasuk raga Tiada guna semua patung Yang memaki bagai belatung Karena panas membara berdiri Menghantam wajah sendiri Tiada guna lagi emas yang berdiam Menutup segala rahasia Menutup kesalahan masa silam Tanpa maaf akan sia Inilah derita terberat abad ini Mulai bercokol di saluran tivi Memabukkan seangkasa raya Dengan informasi super maya Membeberkan dosa demi dosa Lalu jadikan makanan pokok Yang lalu dicer

Arak

Image
Buka lemari hidupmu selebar mungkin Di sana akan kau dapati botol anggur Tidak satu namun berbotol-botol Ada yang berbentuk biola bagai pinggul sang perawan Gitar spanyol katamu membuat mati kepayang Bersuara lirih hingga desahnya menghipnotis Ada pula yang tersamar bagai kain yang menutupi malam Temukanlah satu yang buatmu mabuk Bukan yang setengah mabuk tapi benar-benar mabuk Hingga dunia terbelah tujuh dan kau bingung memutuskan jalanmu Kepalamu akan pening jika tak kau teguk sedetik pun Bahagiamu hanya bila mengecup bibir botolnya yang ranum Rindumu semakin dalam jika kau jauh darinya Kemanapun wanginya terbawa maka kesanalah engkau Sehingga tetesnya yang menggenangi meja adalah derita yang terdalam Wajah mu bersemu merah ketika mabuk memikirkannya Waktu hanya dia yang ada dalam benakmu Jika anggur itu telah kau dapati Dekaplah ia sekuat semampunya Jangan biarkan lepas dari dadamu yang hangat Teguklah ia sepuasnya hingga tandas Dan jangan biarkan botolmu koson

Rembulan

Sudah malam sayang Bulan pun sudah naik ke langit Dia hendak tidur Namun matanya masih nyala Kepala nya penuh bintang Juga venus dan jupiter Masih ingin ia benamkan tubuhnya ke dalam selimut gelap Karena lelah yang menggigilkan Serta penat akan rutinitas harian Ia inginkan hanya menutup mata Melupakan kejadian di bumi Tentang laut yang pasang dan surut Tentang mereka yang berjaga hingga hilang malam Atau mereka yang menangis sedih di balik ranjang Alih-alih terlelap ia malah menggeliat dari sudut langit yang lain Meski lampu langit telah padam Serta suara jangkrik bersahut pula dengan katak Sang rembulan tetap terjaga dalam malam ke malam seorang diri Tak ada kawan dan lawan yang sekedar menganggapnya ada di dunia Jiwanya telah ia jual pada kegelapan Hidupnya hanya sekadar berpijak dari langit ke langit Ia mengangkasa layaknya layangan Tinggi dan liar tanpa bisa lepas dari benangnya Lihatlah sayang Air matanya kini menjelma hujan Memenuhi atap rumah kita Halam

Olahraga

Ketika keringat menjadi mata air di kulit yang gersang Serta darah berdesir cerah dalam alirannya menuju jantung Melewati pembuluh biru di antara urat nadi yang berseliweran Ketika itu suatu dunia baru telah hadir dalam otot daging Menyegarkan jasad yang lama tidur dalam kedinginsibukan rutinitas Menggelorakan lagi cinta dalam sel-sel tubuh Menghidupkan kembali asa dari sakit yang telah lama meneror pikiran Memberi kesempatan pada roh untuk hidup dalam jasad lebih lama Selama mungkin ia kehendaki Baju yang penuh peluh serta badan yang bercampur kehangatan keringat Adalah bukti rasa sayang tubuh pada kita yang telah meluangkan waktu sedikit Demi rasa yang kita cari Harapan yang kita tuntut Hingga kau pun menyebutnya sehat Semangat yang kau teriakkan dalam setiap nafas mu Kebahagiaan yang kau usung dalam tiap lembar harimu Cerita indah yang kan membingkai aktivitas kerjamu dalam segala waktu Serta deru lelahmu yang letih seakan menjadi pelengkap tidur di malam-malam yang

Tidur

Alam yang paling indah dan nyaman adalah alam ketidaksadaran Tak ada rasa takut keluar dari jasad dan mengejar hingga berkilo-kilo meter jauhnya Bagai anak bayi yang lelah bermain lalu terkulai lemas di tetek ibunya Sekali-kali meracau tak jelas namun kembali tersenyum malu dengan bulu mata yang saling terkait Jasad yang dulu bergerak penuh makna kini bagai tak berisi dan lemas Bibir yang selalu berkata-kata menyuarakan kehendak tiba-tiba hening Layaknya mentari yang seketika berubah menjadi rembulan anggun di langit yang gelap Mati. Ya, kematian yang sementara mati dari waktu dan peradaban Roh kita sedang melanglang buana di dunia antah beranta Melewati pegunungan es Jaya Wijaya dengan monster nyamuk bersayap daun pinang Tiba-tiba saja kita tercebur dalam kepulauan Raja Empat lalu suku-suku terasing memanggang ikan di atas gelombang Sabana-sabana yang luas berumput sayap cendrawasih tumbuh subur di sana Tiba-tiba saja jasad yang mati menyerupai diri duduk melingkar dalam p

Hati Damai

Hati yang Damai Tak pernah terbayangkan sebelumnya tentang Hati yang Damai Hidup yang tenang bersahaja tanpa merasa kurang dan sulit Hati yang rendah, serendah laut yang biru mampu mengapungkan kapal-kapal Membasahi bibir pantai tanpa pernah merasa rugi pada pasir Hati yang lapang bagai gunung Mekongga, yang mampu menerima desakan batu yang menggelinding Mampu menumbuhkan pohon harapan yang tak mungkin tumbuh oleh ego Hati yang memanjang bagai aliran sungai Konoweha membawa inspirasi pada jiwa yang lemah dan patah arang Hati yang di dalamnya hanya ada simpati dan empati Yang tak pernah merasa puas menolong siapa saja Merasa kaya akan jiwa meski miskin dalam harta Terasa gagah dalam bertindak meski penuh kekurangan materi Keanggunan yang sangat mahal meski selalu sederhana Hati yang terus abadi dalam kefakiran di dunia yang semakin kompleks oleh kecemburuan Hati yang takkan mudah kita tiru karena nafsu yang membara Hati yang ada hanya pada mereka menolong tanpa upah Berk

Teman

Tak ada yang sejati selain percakapan antara dua orang yang sudah saling kenal Terpisahkan oleh waktu yang lampau Tak ada yang lebih indah selain pertemuan antara masa lalu dan masa kini Dan tetap saja menyisahkan kenangan kecil tak terlupakan Takkan pernah ada yang bisa mengalahkan manisnya tawa saat kita menguraikan kekacauan atas kebodohan di masa-masa dulu Saat kanak-kanak yang lucu saling dorong di depan rumah tetangga hanya sekedar masiarah* Atau ketika kita kecil berlomba memetik mangga tetangga dan berakhir dengan amarah dari dalam rumah Adapula cerita saat kita membunyikan musik sekencang-kencangnya alhasil semua orang pada komplain Ah, masa yang penuh imajinasi anak-anak Masa-masa celana pendek yang penuh gairah kekocakkan Sekarang kita berada di beranda rumah mengevaluasi segala kelakuan kita yang konyol Cerita masa silam yang kembali menggenangi udara Suara-suara kecil kita kembali datang Permainan-permainan yang sempat terlupakan kembali melengkapi pokok pembi

Usia

Ada yang berlari layaknya anak panah lepas dari bilah busurnya Bergerak cepat ke sasaran tanpa menoleh ke belakang Dan tiba-tiba saja semua tampak menua Sebilah tongkat menjabat tangannya yang rapuh Kaki-kaki yang dulunya nampak kokoh berangsur lapuk Bukan karena dimakan rayap hingga menua Ada pula rambut yang dulunya hitam cerlang berkilat oleh cahaya surya Kini nampak kelabu, memutih di tiap lembarannya Kulit yang semula kencang berisi dan sintal akhirnya kalah oleh waktu yang kian hari mengikis Tulang-tulang itu sekarang bergelutuk jadi keropos dan reot Semua menuju sasaran tembaknya Sebuah dunia yang lain sekali dari awalnya Bukan sebuah rahim atau kamar plasenta dengan cairan ketubannya Namun sebuah kamar dengan penuh foto akan anak cucu Kamar di mana mereka datang silih berganti dan berkata-kata tentang sesuatu namun kita hanya melongo karena suara mereka mengecil Lalu ada anak kecil memanggil kita dengan nama asing lalu ia mengaku "cucu" Di mana kaca ma

Apel Malam

Lampu sorot yang menatap menyilaukan itu adalah matahari malam ini Sinarnya sebagian terang dan redup dalam beberapa bagian malam Bayang yang terbentuk itu adalah siluet kehadiran di atas aspal yang memanjang Kaki-kaki kokoh yang menapaki barisan kali ini merupakan kedisiplinan yang telah berakar dari rumpunnya Berdiri dalam seragam kelam beratap bintang berselimut dingin Demi sebuah kepastian akan janji yang dulu pernah kita ikrarkan Gedung inilah saksi segala kepastian itu Berdiri mengangkangi, gagah dan kokoh menagih janji Sebagian dari kita patuh layaknya tugu di tengah-tengah kota Hadir dalam keramaian seketika sepi dalam kata Namun tetap saja hadir dalam kebersamaan Sebagian seperti tiang pancang tegak berdiri di atas tanah Berdiri kaku menghujam bumi hingga mentari memutar-mutar bayangnya Yang lain seindah teratai merah merayap di atas air bermekaran diantara suara monoton katak Apel Malam kali ini tidak seperti kemarin Malam ini terasa sejuk dan kelam Mungkin ka

Satan

Makhluk macam apa pula yang sedang berada dalam jiwamu Meski kau tersenyum, namun bibirmu seperti seekor henna Tatkala kau bersedih air matamu layaknya buaya Ada bayang hitam di keningmu begitu pula dalam sinar matamu Bibir manismu berkilauan namun tetap saja menyisahkan kengerian terselubung Tingkah lakumu sopan namun bayang tubuhmu bergerak berlawanan Ada apa dengan mu Bukankah namamu sepi saat malam Lalu berganti manis saat embun turun di antara rambut hitammu Ayolah, kau kah juga romantis itu saat senja di padang sore Kau adalah segala keceriaan siang yang bersinar di pucuk-pucuk pohon Sampai kini belum bisa tertafsirkan bentukmu Mungkinkah kau makhluk dari segala serangga Berbunyi ceria di pohon pagi Menderu-deru kala malam di celah rumput Bayangmu adalah nyata namun jasadmu suatu misteri Segala tentang mu suatu penyangkalan Yang akan membuat otak bekerja keras merumuskan dirimu Jika suatu waktu kau menempel ke tembok maka dirimu adalah ia Dan jika kau melayang

Di Meja Makan

Semua dosa tersedia di atas meja: Semangkuk sayur dengan tetesan minyak curian Seekor ikan segar yang berhasil kau beli dengan uang tipu kecil kecil Butiran nasi karya suap dari klain agar mudah urusan Bahkan air putihpun kau dapatkan dari jasa judi di pos ronda Sambil nguyah kita bicarakan topik yang lagi panas Katamu artis anu akhirnya ketahuan juga belangnya Tidak jauh beda dengan tetangga sebelah yang pura-pura lugu Ternyata haji anu berutang sana sini buat naik haji Anaknya pak anu sekarang sudah rusak bagai rongsokan "Hahahahaha, nikmat sekali makanan malam ini" katamu senang "Iya, inilah nikmat dunia, bagai menelan racun, kita akan mati dalam kesenangan"balasku, setelah kau terdiam dalam tawa, kita pun mati kekenyangan.

BALADA CINTA

Tenggorokan membara ingin katakan sesuatu Ketika sso mengatakan arah jam 3 Ketika itu kau duduk di sofa hitam memakai rok merah bata, sibuk menekuni kertas kertas Masih liar mata saat ku pura pura melihat liat rumah contoh Saat bibirmu membuka melantunkan tembang Wajah tirus itu seakan nyangkut di leher hingga terasa terbakar Ingin katakan sesuatu Namun yang terucapkan hanya basa basi mengenai maket rumah Ingin mengatakan sesuatu Namun auramu membuat bumi bergetar Yang terucap hanya sebatas basa basi rumah dan rumah Apakah kelak ketika aku membeli rumah itu kau layaknya berada di dalamnya? Ku rasa tenggorokan ini bagai menelan bara Benarkan mba Ra, itukan namamu Kata sso itu namamu Dan katanya lagi itu singkatan dari mba Ra...hasia Ingin katakan sesuatu Namun, mungkin lain waktu Saat berbuka nanti tiba kan ku teguk segelas air dingin buat meredam tenggorokan yang membara ini Dan saat itu mgk akan mengatakannya Bahwa aku pernah bertemu denganmu di t4 siomay, namun sa

KONTEMPLASI

Aku berpikir : Tentang malam yang penuh peluh Di mana kita sama nikmati mati Melewati deretan angka yg merangkak Tanpa pernah kita tahu masalah lahir dan berakhir Hingga sampai sini bulan masih mengangkasa ber-asa Berharap langit tetap ada Agar mencintai sepenuhnya Malam bagai kain seprai membentang Berharap selalu gelap merentang Aku selalu berpikir: Akankah gunung yang terjal raih punggung Belai malam terlena dan karam Usap tangan maya lewati pundak berundak Hingga tibalah di kaki lembah dan teriakkan nama setan Katamu kita bagai hantu di padang Bergumul dgn bayang Aku hampir hampir berpikir: Ingin tenggelam dalam dalam Lalu hilang secara misteri Berada di antaberanta Terasing pada bibir laut Sekadar tersesat di ujung hutan Mungkin terhanyut pada sebatang sungai Akhirnya : Ada nafas yang panjang Pelan dan lama Di ujung entah dimana Pernah mengenal Mungkin aku baru bermimpi Tentang gunung berpeluk bulan Seketika malam bersibak siang Tinggal padang sepanj

PRAJURIT PIKET

Laras hitam terjaga di lantai diselimuti keheningan Bedil terikat tegang di dada Baret biru itu termangu diam di puncaknya Sementara portal menatap penuh awas Jalan ini dulunya semak belukar baret baret di wajah menebasnya dengan rentetan peluru Gedung ini dulunya gundukan tanah "loreng pelopor" meratakannya dengan sangkur Halaman ini dulunya medan laga tangan tangan terlatih membuatnya jadi kolam darah Parkiran ini dulunya hutan belantara namun pasukan menyamar hilang di baliknya Untuk semua yang telah diperjuangkan Mereka yang tinggal tengkorak Darah yang telah kering Untuk setiap jengkal tanah yg dibebaskan Cinta yang terkoyak pd merah putih Serangam yang berpeluh darah keringat Untuk tangan tangan yang teracung dan bibir berkata merdeka Untuk semua ; Semua pasukan pengabdi Mereka menidurkan baret di kepala Menenangkan bedil di dada Melekatkan seragam di badan Membaringkan laras di lantai Serta merindukan gerbang di perbatasan Mungkin tubuh itu tak se

PENGHUNI RUMAH

Ketika ku ketuk pintu rumahku sang pintu menyuruh masuk saja, anak anak kunci menyambutnya dengan bergelantungan di tangan Ketika pintu kamar terkuak sang ranjang berbisik mesra "Naiklah ke atasku, aku butuh kehangatan serta cumbu rayu mu", lalu ku singkap selimut serta bantal yang menutupinya Ketika lapar kutemukan kulkas, ia menyapa dengan manis "Bukalah, aku menyiapkan kedinginan buatmu", aku tertawa mendengar candanya Di dapur aku mondar mandir, lalu ia menyapa "makanan telah siap di meja, namun tutuplah matamu", lalu akupun berkhayal Setelah seharian keliling ruangan akupun ingin bersantai, si kursi berkata "Maaf aku kotor, duduklah di karpet dan disitu kau akan santai dan berselonjor" lalu aku membolakbalikkan badan seperti ulat kepanasan Sementara anak anak buku melompat kepangkuan mereka memelas "Ayo, lanjutkan cerita yang kemarin", lalu ku mulai bercerita yang ku ambil dari lembar lembar halamannya Aku ketiduran, Dan ter

HIKAYAT JARUM JAM

Ada Jarum jam yang bergerak melewati angka angka kehidupan Gema langkahnya tak nyata dan terlupakan Suara gletak glutuknya bagai diam dalam udara hempasan Suatu hari Tuhan menciptakan sebuah menit sebagai teman harapan Merekapun saling diam dalam lingkaran Kemudian angka angka itu terlewati lebih monoton dan menekan Setelah beberapa waktu mereka saling berkelepasan Maka Tuhan memberikan detik untuk mewarnai hari hari ke depan Waktu pun berputar melewati udara ganjil yang tak terkatakan Hingga suatu saat ketiga jarum berhenti di angka tigaan Berhenti bergerak bagai benda mati berhenti dari poros putaran Tak akan ada yang tahu sampai baterai itu tergantikan

AKU MALU

Aku malu Pada cermin diri yang kini memantulkan cahaya keluh Pada masa purba kala kebenaran peluh Pada bayang hantui kepongahan dulu Pada hari hari dimana kesombongan penuh Pada segala deretan waktu jenuh Pada apa yang terjadi kemarin dan kini terasa biru Aku malu Pada kemaluan yang kubawa Pada daun yang ingin jatuh karena menguning namun tak jua angin menggerayanginya Pada ilalang berdiri tegak tak jua udara membelai mesra Pada tanah menuai tunas tak berbiji Pada mentari memberi sinar tak jua hangat Pada langit yang maha luas tak kunjung gapai Pada air yang menyucikan Pada udara yang terhirup Pada api yang membakar Pada hewan yang hidup Pada diri Mu yang penuh kasih sayang Pada kalian yang diantaranya aku ada Aku malu Dan kemaluan ini terus kubawa saat termenung Kupanggul saat sepi Kuseret ketika mengingat Mu Aku malu Aku malu Aku malu Karena kini aku berjalan telanjang memamerkan kemaluan Aku berbaju namun tak berkain Menutupi wajah namun msh membugil Be

AKU INGIN

Aku ingin menjadi matahari pagi hangatnya memeluk lekuk tubuh bumi, digerayanginya pepohonan yang tertidur pulas di bawah selimut kabut, dikecup si burung kecil di udara sejuk Aku ingin menjadi matahari pagi binar matanya cerah menerangi langit biru tanpa resah akan hilangnya kehangatan Aku ingin menjadi matahari pagi disinarinya tanah lembab dan rerumput berjaring laba laba menjadi gembur dan bergoyang Aku ingin menjadi matahari pagi yang dinantikan karena indah dan kejujurannya Aku ingin, tapi aku bukan matahari pagi yang selalu ada yang selalu begitu Aku coba berdiri tegar bagai matahari pagi namun kaki goyah sebentar lagi patah Aku berusaha memberikan kehangatan namun  cuaca dingin menggugurkan harapan itu Aku berlari di udara pagi lagi lagi kakiku kaku terantuk embun Aku selalu ingin seperti matahari pagi namun aku hanya secercah pelita di malam sepi yang akan selalu berharap bisa menjadi matahari pagi Aku ingin .....(hanya doa dalam hati)

DOA REMBULAN

Tiada yang lebih indah rembulan di bulan juli : disembahnya langit yang maha luas tanpa sedikitpun ia berpaling Tiada yang lebih khusyu sinarnya di malam tengah ramadhan disibaknya helai helai awan yang ragu di benaknya: telanjang dalam kesucian Dalam ketenangdamaian ditasbihkannya bumi di luar sana bagai ritual sepanjang jaman, di biarkannya venus dan jupiter menari di langit bagian barat dengan cahya kilau lagi menyilaukan Dibisikkannya doa melalui bintang berkedip kerlip di udara hampa seperti doa daun pada ranting menjadi pucuk, sepertinya doa biji pada tanah menjadi tunas Tak akan ada yang dapat mencintaiNya sebahagia dan sesetia rembulan malam ini dibiarkannya udara cerlang menghembuskan kefasihannya pada ayat ayat ketekunan Dibiarkannya awan pelan pelan merengkuhnya menjadi kabut namun cahyanya semakin melingkar terang dalam jiwanya seraya menyebut nama Nya dalam dalam Tiada yang lebih taat rembulan di  bulan juli diperanginya gelap agar terang berkuasa dalam takbir, agar

RANJANG

Malam bagai ranjang yang lelah akan tidurnya, sedang kau adalah seperai yang membungkus ke dunia antahberanta : hilang dunia hilang diri Dilemparkannya jiwa khilaf itu ke dasar kolong sedang dirimu tergolek tak berdaya pada motif bola bola merah merangkul bantal cintamu semata wayang Kamar ini bukan lagi gudang tempat mata menutup diri meletakkan asa asa yang msh sayang buat dibuang, namun hanya serpihan medan perang antara dunia nyata dan ketidaksadaran Dilambung malam pada gelapnya langit lalu diperangkap ke dalam dimensi ungu tempat segala kenyamanan egois biasa berjalan jalan santai dengan mata tertutup dan badan membeku Derit juga jerit jarum jam kadang mengangkasa pada lantai putih menambah latar monoton yang hanya sempat meneriakkan lagu nina bobo dan dunia pun terlelap dalam gelap Gelap takkan pernah sadar atau benar benar sadar pada ketidaksadaran hingga jam tubuh membunyikan rasa kehampaan yang maha dahsyat di setiap hari pada setiap jengkal tubuh yang rubuh, sampai di s

TAK TAHU

Tak tahu harus meneriakkan apa pada angin yang menderu kencang hingga menafsirkan desir desir daun serai menjadi damai pada sebidang tanah harapan atau pada cahaya menyilaukan mata di pagi bugil karena polosnya menari agresif di bulu bulu mataku yang telanjang Tak tahu harus mengatakan apa pada malam yang selalu mengganggu ketenanganku karena burung burung kecil bertebaran di bohlam pijar, menanduk keheningsepian seakan akan iri akan jiwa pertapa yang bersemedi pada goa goa terdalam hati Harus berbuat apa pada keadaan yang katamu "situasional" karena senja yang merah merekah menurutmu cantik namun itu terlalu "emosional" menurutku, sebab terlalu mewakili sebuah perasaan, perpisahan mungkin atau bahkan terlalu dramatikal karena segi melankolisnya, sementara kabut pagi yang menurut sebagian orang terlalu "transisional" karena merubah tempat ku terlelap menjadi kepungan mimpi di atas awan yang memutih sedang bangun terjaga hanya halimun terhilang di ujung t

ANAK KIJANG

Anak kijang katamu berlari dalam semak belukar, berlari dan terus berlari meski kaki penuh luka hingga luas padang tak terkira Anak kijang itu anak kijang jantan lahir di akhir tahun awal musim hujan, beberapa tombak dan anak panah ia telah lewati meski perih tak jua terhenti Di saat lelah dari luka dan tak tau arah, puncak gunung adalah ranjang rumput terindah atau sekadar mandi embun di sepanjang sungai dan bibir pantai nan berombak tak kuasa menghapus jejaknya Anak kijang itu anak kijang jantan yang tak ingin di bilang liar karena jauh dari rombongan, yang tak ingin di bilang tersesat karena tak tau arah pulang, tak ingin dikatakan lemah karena prinsip yang dia pegang, dan tak ingin apa apa karena tak lagi berharap apa apa Anak kijang itu anak kijang jantanku akan terus berlari hingga waktu yang  akan menghentikan atau ia menyerah karenanya, menyerah pada Dia, bukan pada jalan setapak yang terjal dan berliku

SENJA

Senja itu bagai lelaki tua yang meski tegak namun perlahan membara merah di ujung barat Tak ada yang peduli dengan matahari yang akan tenggelam namun kau akan terkesima jika kukatakan lembayung itu segera merona di ufuk barat Maka dengan lihai kau persiapkan kamera tuk mengabadikannya tanpa kau sadari esok kau akan berdiri di depan senja sambil menatap penuh arti hari hari yang tak akan pernah kau jalani lagi Senja itu semakin hari semakin lelah saja, letih letih tergurat nyata pada punggung yang semakin pudar atau jejak cakrawala yang tak sehebat pagi dulu : penuh urat melingkar menuju sore Burung burung meski terbang namum mereka hendak ke sarang kembali ke tempatnya yang damai di balik pohon besar itu Bunga bunga meski berwarna namun menguncup entah esok kan mekar lagi atau layu di taman Senja dengan pesona rentahnya berjalan pelan pada kepastian akan malam yang membayang, dari sini bayang bayang itu semakin memanjang ke timur : pohon pohon meski tegak namun berbayang panjang

MATAHARI DI PANTAI

Aku sudah sampai di ujung pantai namun tak ketemukan jua tepinya kecuali pohon kelapa dengan semak belaka di sana, sedang deburan ombak berkejaran di kaki kecilku sambil berdiri ku tendangi pula pasir itu, ku merasa telah dipecundangi oleh pantai, ia janjikan matahari yang indah di ujungnya : antara tepi laut dan kaki langit namun apa yang ku dapat hanya pohon kelapa dimana mana Pagi itu aku datang lagi ke sana dengan membawa serta harapan menggumpal di hatiku, karena matahari itu ada di sana saat langit menyerupai burung burung yang terbang di angkasa biru dan laut biru setenang kapal nelayan yang merapat ke daratan karena penuh ikan hasil semalam, namun lagi lagi aku kecewa pada pantai karena matahari itu tdk kunjung datang Senja itupun kuhabiskan di sana dengan berbotol botol keraguan di hati akankah ia : si raja langit turun di ujung pantai dengan jubah merah jingga kebesarannya atau mahkota lembayung bertahta di kepalanya yang damai dan benar ia tidak ada di sana, karena malam a

PANTAI, PASIR, SEPI

Pantai, seperti bibirmu yang tipis dibasahkannya gelombang lidah air di tepinya biar senyummu tak lagi kering, kataku kau lebih manis saat bibirmu merah dan lembab, jauh lebih segar nan cantik Pasir, seperti suaramu yang halus, berbisik bisik di telinga meniupkan desah nafas mu yang mungkin kini kau lupa tuk mengingatnya kata apa yang terkatakan saat itu hingga akupun mengatakan hal yang sama Sepi, seperti itu pula langkahmu makin jauh dan menghilang hanya ada jejak jejak kaki di pasir dan bibir pantai menutupinya dengan enggan, mungkin ia resah menjilati jejak tak bertuan itu karena pantai tanpa jejak bagai bibir tanpa kecupan, rasanya hambar lagi sepi Pantai takkan pernah meninggalkan pasir juga gelombang dan jika malam tiba bintang bintang akan bertaburan di atasnya sedang kunang kunang akan berbaris di sudut tepi seberang yang jauh itu, menatap ke pantai tempat aku menantimu Pantai, pasir, adalah dirimu yang bergerak seirama deburan ombak sesekali membawa hanyutan, sesekali pas

POHON KAMBOJA

Jika malam serasa makam hening tanpa jangkrik ringkik, daun kamboja serupa mati di atas peti sedang bintang tak kerlip terselip di bawah mendung, mungkin saat itu arwah sedang bersemedi pada raja arwah meminta nyawa sekali lagi untuk hidup pada raga Jika sekuntum kamboja berjatuhan kuntumnya yang lima memutihmenguning menyelimuti seranjang liang menabur sejuta merbak di udara malam dingin lagi pening karena misteri, mungkin roh sedang bersujud pada Dia yang maha roh Jangan mencari dia yang telah sepi berdiam dalam kelam membelai mesra pada karam lalu bisu di sudut gelap, mungkin saja ia sedang membulatkan niat membangun hati agar tetap patri pada sang khalik Jangan cari dia yang lelah raganya lemah jiwanya sedang imannya terombang pada gelombang terambing pada lembing hingga remuk remas niatnya pada Dia yang Maha pandai membolak balikkan hati Inilah dia kini merayap sewarna tanah bergumul peluh merambati jejak tapak demi tapak keilahian yang kian lemah lemas karena di dera nasib su

ADZAN

Allahu Akbar, Allahu Akbar Syahdu Allah Ilaaha Ilalaah Syahdu Anna Muhammadar Rasulullah Adzan subuh begitu syahdu berjalan diantara atmosfer bumi raungannya mental dari rongga mulut sang muadzin merambat dedaun menjulur pucuk pucuknya hingga bermekaran di ranting merambah sampai di puncak masjid lalu memantul ke segala arah layaknya bola liar memenuhi udara hening melewati embun serta sisa sisa malam yang menggantung Di kamar gelap lagi pengap nampak ketidakkesadaran begitu nyenyak terbaring berselimut mimpi berbantal ceracau akan indahnya kenikmatan subuh, kamar seakan pandai melindungi sang pemimpi dibuainya ia dengan mesra dan lembut seperti sang kekasih setia menjaga dari nyamuk nyamuk nakal agar sang tercinta terlelap ia semakin jauh dan khusyu pada ranjang ayunan Hayya'alash Shalah Hayya'alash Fhalah Ashshalaatu Khairum Minan Nauum Ketika helai demi helai adzan mengetuk pintu sang pemimpi, maka tak ada jawab dari dalam kamar, diketuk pula jendela dengan lebih kua

AMARAH

Amarah mungkin hanyalah rasa yang ingin meledak melesak barangkali Rasa yang menggelegar membahana hingga tak ada satu Tuhan pun hadir yang dapat memadamredupkan gejolak gelegaknya Melalui tarian mata hingga tarikan wajah semua terangkum dalam pahatan kata di udara, semburan api ke dalam mulut membuat pelakunya nampak seperti leak yang sedang tidur lalu dibangunkan menggunakan kaki sang mandor Desakan gelisah begitu saja berpusar berputar di dasar hati menggesek percikan bunga api di dalam jiwa hingga akhirnya semua mengendap dan terlontar terpental bagai peluru lepas kendali, mencari sasaran yang entah mengapa tanpa tebang pilih seketika itu lahar panas menyembur Amarah mungkin ekspresi aksi sekaligus reaksi barangkali, atas apa yang terespon di luar sadar karena rasa yang dimalukan, harkat yang terinjak, cinta yang tertolak, kebaikan yang terkhianati hingga kejujuran yang nampak menghitam-membiru di dasar hati tanpa ada kuasa meredam Amarah mungkin namamu saat kau kecewa pada ha

JARAK

Ad baiknya mungkin kita berjarak : terbentang samudera luas atau pegunungan yang maha tinggi Jarak buat kita lebih menikmati hangatnya sinar matahari bukan lari berlindung karena jilatan bola api raksasa menghanguskan tulang-tulang sang penikmat yang berjemur di pantai Dengan jarak kau akan lebih pandai mengutarakan indahnya sang juwita malam serta kunang kunang yang berkelap kelip di angkasa dibanding menceritakan bopengnya permukaan mukanya atau hinanya ia karena kecantikannya menipu Mungkin kita perlu bermil mil jarak agar bisa merasakan membuncahnya rindu yang menggunung, kangen yang bergulung, cinta yang mendera, menohok dada yang menggebu, hingga sebuah miscall yang hanya sedetik itu sangat berarti untuk didengar tanpa berbuat apa apa tanpa mengucapkan apa apa Mungkin jarak akan lebih indah jika berada dalam rintangan, seperti daun yang berguguran jatuh ke bumi: terasa romantis saat daun kuning itu berputar putar tertiup angin sepoi sebelum akhirnya menyentuh hangatnya peluka

Genova Internal Endova

Pernahkah merasa sembilu di dera gelitik Daging yang entah dimana dalam dada dielus pisau tajam Terbesit darah di pembuluh memancar aliran entah kemana Sepihak hati tergerus silet di lain hal sebuluh halus menari genit Coba kuasai diri karena gejolak tak jelas Semakin teredam semakin lucu-sadis saja rasanya Sebagian ingin lupakan sebagian datang bagai angin Meniup pikiran terkenang lalu merasakan desiran kecil di sepanjang aliran darah Aliran itu dari pikiran menuju hati melalui pembuluh rindu purba Kemarin telah terfosilkan serapat mungkin di bawah sadar Namun saat sinar mata bertemu rasa itu melonjak tak tentu Kacaukan ritme ketenangan terjaga Sudah kuludahi masa masa silam di tembok sejarah Telah terbangun tugu peringatan di atasnya sebagai penanda kenangan Lalu hantu itu tiba-tiba saja keluar Melayang di alam pikiran Berenang di danau es beku oleh waktu dan kejadian Namun inilah yang terjadi Bagai sejarawan otakku bercerita tentang masa lalu Tahun dan hari hari d

TOPENG

Topeng, ya itu yang ada di wajahku, saat hatiku tidak ingin menyinggungmu atas apa yang ada di dasarnya Saat senyum ku buat seindah mungkin agar nantinya kau tidak marah atas apa yang tertulis di pikiran atas kejanggalan apa yang kau ungkapkan Saat aku hanya terdiam dalam bisu dan kau merumuskannya sebagai kesepahaman atas pendapatmu yang kau anggap spektakuler Saat tak ada kata yang mampu menandingi penglihatanmu atas segala hal yang menurutmu yang maha benar namun ku tak kuasa tuk merubah itu Topeng, ya itu yang selalu kukenakan saat kau bertanya "apakah aku salah?" Dan aku hanya mampu memasang topeng sekali lagi padamu dan dalam hati kujawab "ya, kau cukup salah!"

Anak Kecil

Ad anak kecil yang bersembunyi dalam tubuhku Yang ketika ke sekolah masih butuh ditemani oleh ibu atau kakaknya Ad puluhan air mata menetes ketika diledek teman sekelasnya atau sekadar ditunjuk untuk menyanyikan sebuah lagu di depan kelas Baju putih-merahnya takkan ia kenakan jika belum disetrika oleh ibunya atau ia takkan ke sekolah jika tali sepatunya tak disimpulkan sama panjang Ad anak kecil yang mau tidak mau harus mengulang ketakutan demi ketakutan yang dialaminya tanpa tak tahu caranya keluar dari lingkaran gila itu Ad anak kecil seperti itu disetiap bayang bayang tubuhku, setiap pantulan di cermin, bahkan dalam setiap nafasku Ad anak kecil yang tidak ingin menjadi besar, hanya ingin tetap kecil dan mengerucut, kerdil hingga membonsai kehidupannya yang hanya sebesar pot Ad anak kecil yang sampai kini terus menarik-narik tanganku dan merengek dalam sedih dan bersikeras memanggil ku "ayah!"