Posts

Showing posts from October, 2015

SIREP

PATIDUSA BIAS ************** (Saat senyap menyapa, malam bisikan mantra tidur) Rumah Jendela pintu Resah saling jamah Pun kaki beranjak berlalu Di teras suara hilang Jejak rumput sirna Otak bayang Maya Suara Raung gema Sesak napas hampa Ruang dua kali tiga Tubuh gulat lantai putih Guling ranjang letih Teriak nyenyat Kenyat Diri Tiada petandang Cium bibir sendiri Kamar berulah serupa radang Ibnu Nafisah Kendari, 29 Oktober 2015 ---------------------- Catatan Kaki : Nyenyat: Sunyi senyap, hening Kenyat: Berdenyut Sirep: Sunyi senyap

MANTRA CINTA

Kau adalah hantu Dipikiran malam dingin Datang tiup udara beku Pulalah setan Bisikan kata rindu Di dada kelu Rasa takut kehilangan Jijik ditinggal pergi Hampa sepi berkepanjangan Wajah manis Gelantungan layaknya jelaga Akulah laba-laba rumah tua Rangkai cinta Sulam harap Pada tembok ratap Dan tiap sesajiku Terucap mantra "Aku cinta padamu" Ibnu Nafisah Kendari, 29 Oktober 2015

28 Oktober

PATIDUSA BIAS ************** Langit Merah putih Lambai kepak jengit Robek udara tisik kantih Di bumi pemuda-pemudi belia Tanam sumpah darah Satu tanah Indonesia Mayapada Gejolak muda Gema padu nusantara Rekat seluruh jiwa  bangsa Ikat bahasa aksara negeri Dari sabang merauke Jati diri Komunike Bendera Kian kibar Tantang segala dera Demi ibu pertiwi akbar Ibnu Nafisah Kendari, 28 Oktober 2015 ---------------------- Catatan Kaki : Jengit : Bergerak-gerak turun naik atau maju mundur. Kantih : Benang tenun Komunike : Pengumuman atau pemberitahuan resmi dari pemerintah

Jika

#Event_Motivasi_PSM Jika memang harus Hidup Hiduplah seperti ilalang Meski tanah tandus tak jua putus harapan Jika memang harus Mati Matilah seperti kupu-kupu Meski singkat namun cukup warnai keindahan dunia Ibnu Nafisah Kendari, 28 Oktober 2015

SEJATINYA

Sejatinya adalah tanah yang pandai menyimpan duka atas segala air mata sang pepohon. Menimbun daun dalam belainya yang gugur oleh kecewa. Disandarkannya akar resah dipelukannya penuh hangat. Sejatinya adalah api yang membakar amarah di puncak-puncak kecemburuan sang pengunungan. Akan rindu hujan yang tak kunjung tersampaikan pada ilalang. Hingga beribu kata tanpa maaf terangkai di langit-langit kabut berasap. Sejatinya adalah angin yang pandai memainkan drama ketakutan dan kesakitan lalu membunuh keduanya dalam derita pada bencana yang menjadi buah bibir umat manusia. Sejatinya adalah bumi yang bijak bersemayam dalam doa-doa terdalam. Memanjatkan kidung kedamaian melalui laut yang maha luas serta langit yang maha jembar. Tak pernah henti berharap melalui tangan-tangan tak kasat mata hingga menjadikannya ibu bagi seluruh cinta di kehidupan. Ibnu Nafisah Kendari, 24 Oktober 2015

SABAR

(Seharusnya itu yang kulakukan pada cintaku) Memang kiranya harus lebih sabar menanti hujan, layaknya jati meranggas menunggu belaian air dari sesela jemari lembutnya. Memang perlu lebih sabar menanti hati berubah, seperti kapuk merandu buahkan asa ditiap ranting cintanya. Ibnu Nafisah Kendari, 24 Oktober 2015

HARUSKAH?

Haruskah aku menjadi tanah; menahan jerit panas di atas debu terkepul. Sementara kerongkongan kering tandus membisikkan namamu; air. Haruskah aku menjadi ranggas; menanti kepastian awan menggugurkan tangis cintanya. Sementara hati jerit mendambakan peluk-cium-belaimu; hujan. Ibnu Nafisah Kendari, 24 Oktober 2015

CINTA MUSIM PANAS

Telah kugugurkan daun hijau serta kata-kata rayuan dari tangkai bibirku yang gersang. Demi melihat senyum di wajah manismu wahai dara kemarau. Pun telah terperas keringat jua rindu dari lembah-lembah mata air yang kering di dada lapang. Hanya untuk senandung asa yang kian runtuh, wahai dewi kekeringan. Namun kita sama termangu dalam diam. Bukan karna ini berjalan berkepanjangan. Tapi, darah sudah menguap meninggalkan aliran di nadi dan urat hidupnya. Sepi menandus-tandaskan ingauan tentang cerita cinta kita yang hampir kandas wahai dinda kerontang. Ibnu Nafisah Kendari, 24 Oktober 2015

KATURANGGAN

PATIDUSA CEMARA ***************** Bongoh Seperti rembulan Bulat penuh kokoh Puas rasa luas pandangan Piongeh Satu asmara Kekasih merebah leyeh Puspita nan mewangi semata Ndumenake Seumpama aubade Memuaskan telinga pagi Hingga embun kejaran entropi Sumeh Menggoda sepian Asmaranada pun cengeh Seindah tarian semerdu nyanyian Merakati Menarik hati Layaknya sekuntum mawar Putik bibir merah tertawar Jatmika Sabar membelam Bintang bersinar jiwa Puspa seliar secantik malam Susila Semerbak bunga Penuh keikhlasan pasrah Pada embun mengecup gairah Kewes Hangatkan rasa Kembang terangkai luwes Pun maknai aksara renjana Ibnu Nafisah Kendari, 25 Oktober 2015 ********************** Catatan Kaki : Katuranggan : Penilaian tentang wanita Entropi : Keseimbangan termodinamis mengenai perubahan energi Leyeh : Berbaring untuk melepaskan lelah Aubade : Nyanyian cinta pada pagi hari Cengeh : Manja, centil, genit Renjana : Rasa hati yang kuat (rindu, cinta kasih, bir

TAMAN PAHLAWAN

#PUISI_PATIDUSA_BIAS Bedil Mimis lengkap Semangat pun andil Terjejak pada musim merayap Lentum bahana pekak sukma Menakuti seisi mayapada Suaramu hilang Menjalang Peluru ... Tembus kepala Kau tertawa menderu Menyambut akhir, maut melanda Satu-satu jungkal jatuh gugur Hujan darah melebur Medan gempur Tempur Pesara Kini berada Hanya diam berdiri Kenang kedigdayaan pahlawan negeri *** Catatan Kaki : Mimis : Peluru (senjata api) Lentum : Tiruan bunyi meriam Bahana : Gema / suara nyaring Menjalang : Keliaran / kebuasan Pesara : Makam Kedigdayaan : Perihal kuat dan sakti Ibnu Nafisah Kendari, 08 Oktober 2015m

PERANG

PATIDUSA BIAS *************** Lembah Senjata rebah Lereng bukit terjal Pucuk muda gairah jajal Baris laras lipir Penanggungan Sembunyi balik semak Tempuhi pegunungan Tanjak Baret Sebiru dongker Bedil sanding bayonet Penuhi ruang dalam bungker Nanti lawan juga musuh Siap sedia rebak Taksir perusuh Tembak Ilalang Mata nyalang Tembus gelap bayang Sinar malam liar jalang Tunggu jerit darah kucur Saat kepala hancur Satu lebur Tempur Ibnu Nafisah Kendari, 16 Oktober 2015 ---------------------- Catatan Kaki: Penanggungan : Nama gunung di Jatim Biru Dongker : Warna baret Brimob

RESIMEN PELOPOR

(Hantu yang bersenyawa dengan hutan) Jika suatu saat kau tersesat dalam hutan Tak ada jalan keluar Segalanya hanya semak belukar Mungkin ketika itu tanpa sengaja Sepasang mata menangkup bayang Baris pasukan bergerilya Senjata penuh amunisi Penyamaran layaknya setan Lengkap dengan ransel penyaruan Tak perlu gentar Juga gugup dalam sunyi Bahkan mencoba sembunyi Mereka hanyalah ilalang Ranting dan juga dahan bergoyang Tertiup angin sepoi Jejak laras pada tanah basah Daun muda yang terkoyak Dan suara derap langkah Itupula penghuni rimba Atau bahkan nyanyian burung Karena riak air pada sungai merana Akhirnya terdengar teriakan senjata Tak perlu risau Mereka pun angin mendesau Atau mungkin saja hantu Melipir bukit merayap pepohonan Demi menjaga keamanan lelapmu *** Ibnu Nafisah Kendari, 10 Oktober 2015 Catatan Kaki: Mendesau : Tiruan bunyi dedaunan yang tertimpa hujan lebat Penyaruan : Penyamaran Resimen Pelopor : Pasukan elit Brimob

VETERAN

#LOMBA_PATIDUSA_01 Judul     :  VETERAN(Semangat yang tak pernah pudar) Tema     :  Perjuangan Bangsa Karya    : Ibnu Nafisah Format : Patidusa Bias Darah Semangat memerah Tubuh keringat bersimbah Mata bedil siap mengarah Hujan peluru bagai air Menerjang raga mencair Tercipta syair Mengalir Perang! Kita serang Angkat senjata garang Pedang, bambu, bahkan parang Inilah hari kita tunggu Tumpas hempaskan belenggu Padamkan rindu Menggebu Sekarang ... Diri terpaku Sangkala mengikis tulang Terkenang terbawa mimpi selalu Serdadu yang gagah berani Kini tinggal nyali Berlalu pergi Sunyi *** Catatan Kaki: Veteran : Orang yang secara aktif pernah ikut berperang dalam membela negara. Sangkala : Waktu Ibnu Nafisah Kendari, 09 Oktober 2015

ASAP KEMATIAN

Hari itu air mata tak lagi berlinang. Seperti mata air yang kering di dasar lembah. Luka hati semakin bergelimang. Sepilu jeritan sungai kerontang di bebatuan merebah. Kaki mungil ini terus saja menangis. Mencari ibunya yang terbakar di atas gunung. Serupa pohon, rumahnya membara meringis. Dan ia hanya dapati asap dipunggung ayahnya yang semakin menggulung. Hari itu air mata tak cukup memadamkan. Kabut berputar terhirup sesak mengerikan. Langkah terhenti pada satu waktu kematian. Hingga tangan tak lagi bergerak sekadar menutup hidung di liang kuburan. Bangkai anak-anak daun menjadi abu. Dibelai manja semesra tangan sang bunda dalam tanah gambut. Sembari mendengarkan dongeng sang buya tentang pangeran debu. Beristana tabun-menabun di negeri awan bergelayut. Sampai ia tertidur pulas hari itu. Dan air matanya tetap kering. Bibirnya membiru. Dukanya dari jauh begitu menyayat nyaring. Ibnu Nafisah Kendari, 17 Oktober 2015 ---------------------- Catatan Kaki: Tabun-menabun : Membubu

LANTUN KERING

Daun kering yang beterbangan adalah nyanyian kemarau. Ditabunya gendang angin pada giring-giring. Agar hujan menari di atas tanah rantau. Dan pepohonan lafalkan notasi syair ranting kering. Demi untukmu sang dewi air yang bersolek di atas awan. Tengoklah sebentar di bumi gersang. Tempat panas dan hangat berkawan. Tanah serta debu bercampur kasang. Apakah langit sudah murka pada lagu kami? Merinai kebakaran juga penebang liar? Penambangan bebas merajalela tanpa henti. Lalu senandung rindu akan hijaunya dunia tak lagi tersiar. Kemana lagi harus menembang. Menyerukan hati yang bimbang. Akan negeri kerontang kian mengambang. Terpeluk getun rasa gelebah semakin mengembang. Kiranya Tuan mau memberi angin. Sepercik sepoi belaian nyiur pada jiwa dahaga. Atau sekadar embun penyejuk sejenak rasa dingin. Tenangkan nurani, teruslah menari dan bernyanyi meski diam dalam telaga. Ibnu Nafisah Kendari, 18 Oktober 2015 ---------------------- Catatan Kaki: Merinai : Bernyanyi kecil Getun : Kec

PANEN

(Menanam Keserakahan, Memanen Kesengsaraan) Tanah terpijak; debu Beterbangan di langit biru Dahaga menagih; air Menguap bah awaair Udara berbisik; panas Pepohon tumbang meranggas Sekumpulan bangkai; mati Di jiwa dan hati Anak-anak menimba; lumpur Air mata tercampur Ke mana gunung; gundul Umbul mengalir mandul Hutan tertambang; liar Tandus Keliar Inikah buah dari keserakahan; dosa Tersemai seidah puisi tertuai sebebas prosa Ibnu Nafisah Kendari, 18 Oktober 2015 ---------------------- Catatan Kaki : Awaair : Penghilang air Umbul : Mata air Keliar : Berjalan kemana-mana, bertualang

SANG KHADAM

SANG KHADAM ------------ Ibnu Nafisah Di malam bulan kemarau Langit melantur dan meracau Sebuah piala berisi anggur Tercecap bibir sang penganggur Di tengah-tengah hari Lidahnya melafalkan hati Langkahnya sempoyongan Kian mabok keranjingan Ketika jatuh tersungkur Bangun berdiri duduk melantur Berkasih-kasihan pada Sang Kekasih Yang diajaknya tembok pengasih Ia hanyalah musafir di bumi ini Berkelana tanpa batas hingga mati Hijrah dari debu ke debu Hingga terpanggil menjadi abu Kendari, 18 Oktober 2015 ____________________ Catatan Kaki : Khadam : Pelayan, orang gajian

INGIN

Tak ingin cinta Seperti rindu kemarau pada hujan; Meranggas semata Tak ingin cinta Seperti amarah ombak pada karang; Lubang belaka Tak ingin cinta Seperti cemburu angin pada langit; Siut melanda Dan tak ingin cinta Seperti dusta rembulan pada bumi; Topeng sahaja Kuingin cinta bahagia Seperti embun; Menyejukkan damai pepohonan nan rimbun Ibnu Nafisah Kendari, 19 Oktober 2015

CINTAILAH

Cintailah tanpa syarat: Seperti siang mencintai terang Dan menerima malam dengan gelap Demi senja dan subuh yang berkejaran di antara keduanya Cintailah sepenuh jiwa: Seumpama ilalang kepada tanah; Tancapkan akar sekuat-semampu Lalu beri subur, hidup juga harapan Namun Cintailah Dia: Ganal kayu pada api; rela terbakar jadi debu Demi kehangatan malam yang beku Pun batu pada air; sabar menanti Hingga cadas berongga meski perih Ibnu Nafisah Kendari, 20 Oktober 2015 ---------------------- Catatan Kaki: Ganal : Seperti

MISTERI FILANTROPI

PATIDUSA CEMARA ***************** Cinta Lari tangkap Hilang jauh menggenta Datang duga pergi terperangkap Rindu Bebas melagu Kibas sayang merandu Tiup sepoi hati mengganggu Sesal Jadi gasal Gilir rasa kesal Sepi tukar ribang ganjal Ibnu Nafisah Kendari, 20 Oktober 2015 ---------------------- Catatan Kaki : Gasal : Ganjil Menggenta : Menyerupai genta Filantropi : Cinta kasih antara sesama manusia Ribang : Rindu

PETANG

Lamat-lamat buya merona lantunkan kidung cinta Di senjakala ujung magrib Suaranya guruh sukma Terbias bunda langit merebah Letakkan wajah lembayung Antara hijab sang layung Anak-anak mambang kuning mengawang Lebarkan sajadah di cakrawala Barisan bintang meniti bumantara Dari jauh tunggang gunung bersahut Memanggil gelap dalam kibaran sarung Dan biarkan kepalanya larung Hingga cadar malam merapal doa Dari jauh sayup-sayup terdengar Bulan tersangkut di tawang merua Ibnu Nafisah Kendari, 21 Oktober 2015 ---------------------- Catatan Kaki : Layung : Warna kuning kemerah-merahan di langit pada saat matahari mulai terbenam Mambang Kuning : Layung Tunggang Gunung : Petang hari ketika matahari di atas punggung gunung Bumantara : Langit Tawang : Langit Larung : Hanyut Merua : Melebar, meluas Buya : Ayah

ENTAHLAH

ENTAHLAH Entah apa namanya Rasa gelitik ketika sinar mata kita bersahut Seumpama sungai deras arusnya, kitapun hanyut Entah apa namanya Dada sungkur menohok pabila hati tak lagi sejalan Seperti gunung menjulang namun tak jua kaki hendak dolan Entahlah, apa namanya Karena sampai kini gelora yang sama masih membuncah Sekata laut beriak mengombang-ambingkan perancah Entahlah, apa ... Engkau sajalah yang beri nama sesuai aliran darah, pikiran, dan jiwa Andai kata cinta adalah buih tentu sudah hilang di laut tak bernama Ibnu Nafisah Kendari, 21 Oktober 2015 ---------------------- Catatan Kaki: Membuncah : Mengeruhkan, menggelisahkan Perancah : Bambu atau kayu yang didirikan sebagai penopang Dolan : Pergi bersenang-senang

RIBANG

#PUISI_KOLABORASI RIBANG (Sebuah kata yang ingin tersampaikan) Karya : Ibnu Nafisah dan Senja Barat Awan berarak di wajah rindu Kangen akan senyum paras Wahai permainsuri pujaan hati Sungguh aku terbunuh sepi Lembayung sewarna sendu Alam sadar panggil namamu Seumpama kemarau resahkan hujan Dan siang risaukan malam Sementara sangkala serupa dahaga Berkejaran ingin terpuaskan Sungguh inikah kabut asmara? Setiap saat datang mendera Penuhi relung air telaga Rasa ini ... Lebih dingin dari gumpalan salju Oh ..., dewi sang rembulan Melambai indah bisikan kerinduan Lihatlah pantulan cinta pada jiwa yg bening Terpancar jelas walau hanya dalam hening belaka Inboxfb, 21 Oktober 2015 ---------------------- Catatan Kaki : Ribang : Rindu

CINTA TAK BERTUAN

#PUISI_KOLABORASI Judul : CINTA TAK BERTUAN Karya : Zee Qarisa dan Ibnu Nafisah Terkekang rantai rindu Terpanggang sekam cemburu Lidah api terbakar memburu Bahkan jarak semakin bisu Serupa gunung bertahta sendu Terdiam, gamang pada ragu Sungguh hati teriak namamu Keheningan pun terjawab gagu Rasa cinta diterpa badai kelu Kau serupa tembok yang tinggi Gejolak ini bagai partisi Semakin terkejar pun pergi Siapakah pemilik lara kini Berjalan sepi sendiri Tanpa sandaran jiwa di sisi Jakarta-Kendari, 23 Oktober 2015

RENJANA

(Sesuatu yang berbau cinta) Wanita yang kupuja berada di sana. Telunjuk itu menerawang saja. Selarik awan melintas di langit. Kepalamu bergoyang jengit*. Kerudungnya berkibar mengawang. Senyum itu seindah embun pagi. Pelan-pelan menguap di celah tawang**. Namun sejuk nian di pucuk hati. Wanita yang kunanti berada di sini. Setumpuk telapak membelai dada. Memandang engkau yang kini di hati. Dan hanya tertunduk malu penuh cinta. Catatan Kaki: *bergerak maju mundur **ruang antara langit dan bumi Ibnu Nafisah Kendari, 22 September 2015

GELEBAH

PUISI PATIDUSA *************** (Rasa yang datang seiring kepergian) Langit Udara pecah Saat kau bangkit Menelapakkan kaki dan kesah Debu membekas di lantai Menuliskan namamu; gelebah* Kupungut sehelai Gelisah Kirana** Adalah engkau Dari pohon merana Timbul tenggelam hati rancau*** Tengok cermin wajah sepi Tak ada jiwa Hilang seisi Sukma Puisi Berulang terbaca Bersuara serupa partisi Dan berlalu tanpa kata Catatan Kaki: *rindu, gelisah, sedih **sinar ***tidak tentram Ibnu Nafisah Kendari, 23 September 2015

LARAP*

(Ketika jodoh melariskan  rasa) Cintamu takkan puas. Saat kau beri terasa kurang. Bukannya berjiwa buas. Tapi, sungguh rindu seumpama murang**. Ketika meriam meledak. Gemuruh rasa di dada. Dunia hanya dirimu, yg lain memekak. Membahana sejuta tresna. Senyum itu kuanggap ancaman. Serangan bagi hati yang rawan. Mudah terluka dan merasa. Meski sembunyi dalam hijab belaka. Tak perlu berkata-kata. Ataupun bertatap wajah. Jika tabu jadi dosa. Cukup suara adzan di mana hati telah dirajah. Catatan Kaki: *laku/laris **tali api pada meriam Ibnu Nafisah Kendari, 23 September 2015

RAMAYANA

(Kisah cinta yang tak sempurna) Mungkin akulah tokoh yang tak pernah dianggap. Ketika layar terkembang dan gamelan bertalu. Hanya berada di cahaya yang lindap*. Ketika para wayang berlakon, aku mulai menyaru**. Mungkin akulah jua yang akan menghentikan pagelaran seni. Ketika Rama menolak Shinta di sisinya setelah berhasil diselamatkan Hanoman. Cinta? Cuih! Cinta tak akan bersyarat dibakar api seperti ini. Cintanya palsu tidak tulus dan arogan. Adalah Rahwana yang tak pernah diagungkan. Namun cinta sang Dasamuka ini tak pernah dipandang oleh Dewi Shinta. Apakah cintanya pada Rama yang membutakan. Atau Dewi yang satu ini hanya melihat ketampanan semata. Akulah yang tokoh yang akan terus berdiri di belakang panggung. Dengan kepala yang semakin banyak. Dan senjata perang di belakang punggung. Akulah yang segera menghentikan omong kosong ini dan bila perlu berlinyak***. Dan kau, Dewiku, luruskanlah hatimu. Setelah pertarungan ini berakhir. Masih ada urusan pelik antara kau dan aku. Itu

MALAM PEMBUNUHAN

(Ketika kau berniat menghabisi nyawaku melalui sepi) Malam seperti ini Sepi  nyapa Serangga nyepi Ranjang nyala Bakar pula ngantuk Dan bentar terantuk Malam seperti ini Kau serupa bayang Berkejaran mimpi Sesat gentayangan Dalam pikiran Masih juga binal Berlari keliaran Ngigau banal* Malam seperti ini Kau serupa setan Datang dan pergi Tembus anginan Tak puas itu Kau bunuh aku Dalam gelap Jasad senyap Catatan Kaki: *kasar Ibnu Nafisah Kendari, 23 September 2015

QURBAN

PUISI PATIDUSA *************** (Al-Wala'* dan Al-baro'** Nabi Ibrahim As.) Loyalitas Tak berbatas Hinggapi denyut nadi Ikhlas terima titah mati Kesetiaan kau hirup pendam Tanpa rasa dendam Beri tunjuk Tunduk Tolak Segala kafir Bersihkan segenap akhlak Hingga berlalu serupa musafir Karena ketauhitan butuh qurban Bukan kata-kata semata Meski sorban*** Nyala Membara Sebagai api Beri darah luka Tetap di jalan ilahi Catatan Kaki: *kesetiaan/loyalitas **antiloyalitas ***kayu bakar Ibnu Nafisah Kendari, 24 September 2015

TRESNO KARO KOWE

Katakanlah cinta padaku Seperti kita lakukan dahulu 'Tika kerling mata saling puja Saat kita sama-sama rasa Masa dulu awal mula hati Umbar segala aksara Asmara  itu lagi Hanya untukku saja Kita memang bukan alay Umur pun sepanjang galai* Sudah dewasa untuk beginian Jadi usah malu santai nian Jika suatu hari kau tersadar Dan ingin terulang getar Tariklah napas hirup dan lepas Lalu sms ini, "aku tresno karo kowe, mas!" *perahu perang yang berukuran panjang Ibnu Nafisah Kendari, 25 September 2015

TANGAN

PUISI PATIDUSA *************** (Sebuah kehangatan yang telah pergi) Udara Menisik tulang Darahku beku jua Hampir sesak saat pulang Di rumah mencari tangan Yang biasa mereluk* Sehangat lengan Memeluk Atau .... Serupa dekapan Kata manja meracau Pun sekedar belai usapan Yang kudapat hanya ruang Udara hampa kosong Tak ber-urang** Melompong Mana? Entah mana Mungkin mencari tubuh .... Lainnya yang sama rapuh Catatan Kaki: *melekuk **orang Ibnu Nafisah Kendari, 25 September 2015

GAGAT RAHINA

PUISI PATIDUSA *************** GAGAT RAHINA(1) (Jiwa yang gagal menemukan subuh) Muksa(2) Kembali meranjang Gemerisik desak aura Antara napas buru panjang Lamat-lamat halimun tetamu jendela Udara beku tusuk Sesela raga Susuk(3) Entah Adzan / dingin Pun tubuh ejawantah Gidik kuduk diempas angin Dunia gelap serasa mati Subuh tersibak tiba Perlahan hati Nyala Nyawa Banyangi hidup Lari kejar bahana(4) Telanjur pagi baskara(5) susup Catatan Kaki: 1. menjelang pagi 2. terpisahnya raga dan roh 3. tusuk/pasak 4. bunyi/suara/kumandang 5. matahari Ibnu Nafisah Kendari, 26 September 2015

SENU

(Bukan samsak yang bisa kau peluk) Jangan panggil lagi aku Senu Tamparan kemarin masih ngilu Pekikan pun menggema Sibuk ngelap darah pula Apakah dinding ini buta Hingga tak bisa melihat air mata Atau bahkan tuli Tak mampu mendengar jeli Jerit di ranjang membinal Teriak injak jadi banal Malaikat atau setan tak kenal Serupa pelik kian bebal Cukup sudah ini berawal Kita ulangi dari pangkal Kau datang penuh cinta Lalu pergi tinggalkan luka Semalam kau memanggilku Senu Senyum gemas merayu Esok tanganmu menempel di pipi Rambut lengan cekam jemari Jangan panggil lagi aku Senu Serta kata-kata asmara mendayu Luluri segenap bibir birahi 'Tika puas tak layaknya ta*i Ibnu Nafisah Kendari, 27 September 2015

BRIGADE MOBIL

PUISI PATIDUSA *************** (Serupa lotus yang mekar di jiwa pembela bangsa) Lumpur Tempatmu berpangkal Hitam legam berpupur Menyaru dalam rawa berasal Lahir dari tanah kotor Namun semangat juang Ganal motor Pejuang Padma Adalah engkau Mekar serupa surya Merah putih kelopak memukau Seumpama darah marun membusa Tak henti bergejolak Demi bangsa Bergolak Tunjung Pula namamu Jiwa tak berujung Menjaga negara sebagai pengampu Wahai dikau sang seroja Dadamu segala cinta Menempa cita Sentosa Tanganmu Kau genggam Semangat patriot beradu Pembela segenap nusantara berderam Catatan Kaki: Lotus, Padma, Tunjung, Seroja : Teratai Ganal : Serupa Pengampu : Orang yang menjaga keselamatan orang lain Berderam : Bunyi tiruan seperti auman harimau Ibnu Nafisah Kendari, 03 Oktober 2015

BULAN PENUH

PUISI PATIDUSA *************** (Ketika amarah senapas nafsu) Bulan Purnama merah Menata langit mengawan Gejolak desir darah membuncah Seketika belati cium leher Malam pun bersaksi Bintang bergeser Sangsi Pekik Bahana meringkik Usir gelap sepi Sinar perak jadi api Ramai tangan mencari badan Wajah hangus gelagapan Tanah pekuburan Kelaparan Dan ... Kala esok Nyawa berseduh sedan Hanya bangkai tak bersosok Ibnu Nafisah Kendari, 28 September 2015

GARWA PADMI

PUISI PATIDUSA *************** (Kisah buat isteriku seorang) Istriku Duduklah sebentar Sini di hatiku Biarkan malam dingin menghantar Dan bulan bintang mengasihi Tentang permainsuri abadi Sang Yayi Pengabdi Kisah Pendamping wanita Yang pandai indah Dalam biduk rumah tangga Berpegang teguh pada gemi bertutur serupa wedi Menghargai suami Gumati Rayi Kekasih setiaku Tetaplah menepi Ingatlah cerita ini selalu Meski purnama tenggelam benam Langit terasa kelam Darah kaku Beku Catatan Kaki: Garwa padmi : permainsuri Yayi : adinda dari kata Rayi Gemi : memegang teguh segala sesuatu Wedi : tutur kata yg baik Gumati : memahami yg disukai suami Rayi : adinda Ibnu Nafisah Kendari, 29 September 2015

ANUMERTA

PUISI PATIDUSA *************** Hening Derita merayap Sinar perak bening Menyusup rimbun bambu senyap Masih juga kau meradang Membawa perih luka Darah menghadang Lara Peluru Kini bersarang Di dada beku Tempat terakhir segala perang Berpeluk bedil gelap mendera Sesak napas terputus Maut tiba Mampus Ibnu Nafisah Kendari, 04 Oktober 2015

GUGURNYA SANG PEJUANG

PUISI PATIDUSA *************** Subuh jadi sebisu cekam Serangan terus berdentum Gelegar bungkam Lentum Mayat Pisah terburai Terpercik darah menyayat Seketika teriak badan terkulai Anyir mengudara senapas mesiu Puing bangkai tinggal Nyawa baliu Tanggal Nama Hilang pergi Kalut peluk merana Keringat menguap pun mati Pagi itu kau pulang Dog tag utuh Tanpa tubuh ; Melayang Catatan Kaki : Lentum : Tiruan bunyi meriam Baliu : Memenggal kepala (pedalaman Kalimantan) Dog tag : Kalung prajurit Ibnu Nafisah Kendari, 04 Oktober 2015

BERKARU

PUISI PATIDUSA *************** (Pantai yang tak santai) Tubir Aku berdiri Menatap ombak mencibir Di atas cadas bergerigi Deburan hempas segala laut Juga hati kalut Diterpa udara Lara Burung Terbang seangkasa Menerjang angin beliung Seakan kuat menahan derita Pantai, gelombang, gunung, samudera Segala jiwa mendera Membalut pikiran; Berantakan Catatan Kaki : Berkaru : Pikiran kalut Ibnu Nafisah Kendari, 04 Oktober 2015

KEMUNCA

PUISI PATIDUSA *************** (Ketika waktu itu tiba) Tergurat jelas di wajah Segala siksa mengawas Menyilet merajah Menendas 'Tika Maut berkawan Nyawa layang seketika Teriak sekali akhir kebebasan Bila lepas dari dunia Meronta hentak sesal Mati sedia Kekal Toh! Hidup bersia Selayaknya seorang bebotoh  Karna beban derita 'nusia Terima sajalah sebagai anugerah Damai abadi memgarah Lalu nyerah Pasrah *** Catatan Kaki : Kemunca : akhir Menendas : memenggal kepala Bebotoh : bajingan, penjahat, penjudi Ibnu Nafisah Kendari, 06 Oktober 2015

SENA MULIH

(Ketika pulang tak lagi sama) Masihkah kau mengenali wajah ini? Bunga kecilku yang manis Lelaki yang berjalan terseok Meniti kampung lama terlupa Saat tulang tak lagi meruok Membawa segala luka Torehan baret di kulit dan daging Semakin rapuh nan ceking Ini bukan penyakit, sayang Hanya sebuah kenangan panjang Bahkan langit pun tak ingin menyapa Lalu berlari di bawah tatapnya Bila tidak beribu cebikan mendera Inilah hasil kemenangan Sebuah kebanggaan Ribuan peluru menembus Tak jua mampus Aku serahkan tubuh ini pada derita Tapi kalian menyerahkan nyawa Pun meringis ketakutan Hanya menawar kematian Masihkah kau mengenali wajah ini? Bunga kecilku yang manis Lelaki dulu kau kenal Sebagai hibat terhebat Yang dahulu bagal Kini hanya bayang berkelebat Masihkah kau mengenali wajah ini? Bunga kecilku yang manis Ah, setan pun tak tahu siapa diri ini Berdiri di antara hidup dan mati *** Catatan Kaki : Sena : prajurit Mulih : pulang (jawa) Meruok : berbuih, membua

SERDADU

(Semangat juang yang tak pernah mati) Musim gugur datang seperti badai Daun meranggas menerjang Segenap debu membangkai Kering tandus menjerang Terdengar sesak napasmu ... Tapi, laras itu tetap menjejak Tapaki jalan tak bertuan Bah angin menanjak Derap kaki masih berdendang Sementara terik bernyanyi Keringat menelentang Temani sesetia bedil sunyi Masih kudengar desahmu ... Kala tekad menghutan Wajah pun menyaru Semangat ganal militan Catatan Kaki : Menjerang : memanaskan Menelentang : terbaring, telentang Menyaru : menyamar Ganal : seperti Ibnu Nafisah Kendari, 05 Oktober 2015

KETIKA PAYUNG TIDAK TERKEMBANG

Angin hari itu membatu Hanya bayangmu datang menemani Semakin beku Sementara awan menggumpal Menderu-deru di telinga Mencekik maki merapal Tolong! Teriakku pada diri sendiri Suara melonglong Sementara parasut bisu Tangan tercekik payung kuncup Jiwa semati tugu Angin hari itu membatu Hanya bayangmu datang menemani Semakin beku Ibnu Nafisah Kendari, 08 Oktober 2015

TANAH TERSIRAT

(Janji yang tak sampai) Langit cerah Mentari bersinar Kemarau merekah Kasihku... Bunga Oktober merayu Bermekaran di bukit hati Tempat kita mengadu Masih ingatkah ikrar Terucap sebelum pergi Sebagai janji sakral Pohon ini jadi saksi Daun berguguran Menunggu hujan Dunia telah memisah Kesepian dan rindu membatasi Lalu jarak melintasi Kasihku... Masih teringat kaul dari bibirmu Menjelang Fregat berlayar Akan setia menunggu Adakah diri derita Bahkan cinta Dulu kembali Ah, kini hanya menangisi Namamu pun terpampang Pada pesara abadi *** Catatan Kaki: Pesara : Makam Fregat : kapal perang Ibnu Nafisah Kendari, 07 Oktober 2015

TAMAN PAHLAWAN

#PUISI_PATIDUSA_BIAS Bedil Mimis lengkap Semangat pun andil Terjejak pada musim merayap Lentum bahana pekak sukma Menakuti seisi mayapada Suaramu hilang Menjalang Peluru ... Tembus kepala Kau tertawa menderu Menyambut akhir, maut melanda Satu-satu jungkal jatuh gugur Hujan darah melebur Medan gempur Tempur Pesara Kini berada Hanya diam berdiri Kenang kedigdayaan pahlawan negeri *** Catatan Kaki : Mimis : Peluru (senjata api) Lentum : Tiruan bunyi meriam Bahana : Gema / suara nyaring Menjalang : Keliaran / kebuasan Pesara : Makam Kedigdayaan : Perihal kuat dan sakti Ibnu Nafisah Kendari, 08 Oktober 2015

INDONESIA HARI INI TIDAK BOLEH CENGENG!

INDONESIA HARI INI TIDAK BOLEH CENGENG! Pemuda yang berkeringat ... Meneteskan luka ... Sesekali menghirup duka ... Kalian jangan cengeng! Bila nusantara bukan lagi surga Katakanlah derita Apakah asap, korupsi, ketidakadilan Kalian jangan cengeng! Ayo singsingkan lengan baju Tunjukkan otot segarmu Keluarlah dari kenyamanan nurani Suarakan kebenaran dengan berani Ini negeri merdeka bung! Bukan milik segelintir orang kaya Bukan milik para penjajah berdasi Bukan, bukan, bukan mereka Pemuda engkaulah tonggak sejarah Penentu hari depan Jangan biarkan kekayaan dijarah Bila nanti negara ini bergejolak Maka dari lidahmulah itu Ketika harapan bermunculan Pun dari tangan dan buah pikiranmu Indonesia kau tidak boleh cengeng! Ribuan pemuda bersarang di bahumu Mengokohkan pondasi bangsa Demi kejayaan negara Dan ... Jika nanti ibu pertiwi meminta usia Dengan lantang wahai satria Katakan, "Aku siap!" Ayo! Pemuda, hari ini kalian tidak boleh cengeng! Usap se

YELLA

PUISI PATIDUSA *************** YELLA! (Sebuah kata bagi mereka yang terus berjuang) Jejak Kakimu menggelandang Telusuri kantor berundak Hanya kata, 'tidak' menghadang Ijasah sarjana tercetak rapi Kau apit kepak Terbawa tercari Sepak Hari Semakin panas Lowongan kerja menjari Guyuran keringat kering menderas Namun semangatmu tak pupus Tak jua mampus Terucap kata ; Yella-yella! *** Catatan Kaki: Yella : Ungkapan semangat dalam bahasa Arab Ibnu Nafisah Kendari, 04 Oktober 2015

SEMANGAT MUDA

PUISI PATIDUSA *************** SEMANGAT MUDA Kau Pemuda Gagah nan memukau Penuh gairah semangat muda Kibarkan darahmu pada prestasi Goreskan pada negeri Perjuangan sejati Menanti Kita Adalah bunga Mekar setaman bangsa Mewangi kau toreh karya Indonesia engakulah jiwa kami Sehangat ibu pertiwi Membara memadu bersatu Ayo! Generasi penerus Di pundakmu gongyo Tempat masa depan mengarus Gelorakan cita dan cinta Untuk kebanggaan mayapada Selaksa nusantara Jaya *** Catatan Kaki: Gongyo : doa Ibnu Nafisah Kendari, 02 Oktober 2015