LIMA PUISI

Lima Puisi

I. Pemuda

Aku tak punya kekuasaan pada dirimu. Karena engkaulah peluru yang terlanjur dimuntahkan. Darinya menerobos segala sekat meski pekat terasa.

Engkau pula badai yang terperangkap dalam rumah. Jika engkau melangkah segala petir dan hujan bersatu. Jalan-jalan dan selokan tak mampu menampung keluh kesahmu.

Engkaulah di mana segala penyesalan bermula. Ketika tembok runtuh oleh kepalanya tangan, kekesalan pecah di kaki yang masih hijau. Wajah dan badan selayaknya gendang yang coba dibunyikan dengan hasrat yang paling liar.

Hingga engkau sampai di kaki sebuah bukit. Lalu senja memanggilmu sebagai lelah dan lemah. Ketidakberdayaan adalah namamu terakhir saat puncak itu engkau raih.

II. Sehat

Denganmu segala rasa mampu kuucapkan dengan lantang. Luka terbuka dari pedihnya dunia mampu kutampung. Akulah lautan tempat muara segala harap. Tempat kapal-kapal angan berlabuh. Camar  berkepak cita-cita yang menukik di atas samudra gairah.

Denganmu akulah gunung yang tinggi. Beribu-ribu pohon tumbuh liar dan bebas. Bersama air yang kerap jatuh di batu-batu cadas jiwaku. Menjadi anak-anak sungai gelora hidupku.

Denganmu, aku mampu menjadi khayalan jadi nyata. Menggantung bagai awan yang tak mudah tertebak kapan bergumul bak halilintar.

Denganmu akulah hidup terasa luas dan waktu begitu singkat. Sedikit tempat yang  sempat aku jamah. Malam begitu cepat tersampaikan sedangkan siang begitu rela berbagi hari dengannya. Lalu terasa ini begitu tak adil.

III. Kekayaan

Aku bisa saja jadi mutiara di lehermu. Membuatmu jadi bangga dan bahagia. Mengantarmu ke mana saja engkau mau tanpa merasa kepanasan dan kepayahan. Menjadi kain berlapis benang emas di dadamu. Hingga tak habis-habisnya kau pandangi bayangmu di cermin.

Mungkin saja aku membuatkanmu rumah bertingkat-tingkat. Hingga nyenyak tidur dan nyaman ragamu. Meninggikan pagar halamanmu dengan kebun-kebun yang luas di sana.

Menyediakan makanan yang lezat lagi mengenyangkan. Minuman penghilang dahaga dari piala-piala perak kesukaanmu. Meski musim kemarau datang bergelombang engkau tak akan kelaparan dan kehausan karenanya.

Bisa saja hartamu tak habis hingga keturunan yang ketujuh. Cucu-cicitmu tak perlu lagi bersusah payah untuk bekerja keras karena semua sudah tersedia.

Mungkin saja engkau memiliki istri tercantik yang sangat menggetarkan  jiwamu. Anak-anak sehat lagi kuat dan gagah. Keturunan yang sangat  berbahagia di sisimu. Itu semua mungkin saja terjadi padamu. Namun yang pasti kekayaan kita hanya pakaian yang terpakai, makanan yang berada di perut dan kekuatan yang berada di tubuh, selebihnya adalah milik entah siapa.

IV. Waktu Luang

Tanpa kita sadari kita telah memasukkan raga dan jiwa ke dalam sebuah jam. Setiap ia berdetak maka bergerak pula detak jantungmu. Waktu hanyalah detik ke detik yang tak akan kembali.

Masa merayap bagai kereta dari gerbong ke gerbong. Saat ia berada di stasiun di saat itulah waktu senggangmu. Kesempatan untuk menaikkan dan menurunkan penumpang untuk perjalanan selanjutnya. Setelahnya segalanya bergerak cepat saat engkau berdiri di peron.

Suatu saat sebuah koper berisi bekal terlupa di stasiun. Tapi kau hanya menepuk kepala karena kereta telah berjalan sekitar satu jam yang lalu. Itulah pertama kalinya sesuatu engkau sesali. Kau katakan dirimu ceroboh dan pelupa.

Sembilan ke dua belas engkau masih saja santai di kursi penumpang. Ketika pintu kereta terbuka engkau bawa serta tubuhmu bersantai di ruang tunggu. Sementara adzan bergetar di gendang telingamu. Banyak orang sibuk dengan diri masing-masing begitu juga dirimu.

Akhirnya engkau memutuskan untuk pergi. Tanpa menoleh pada seseorang yang memanggilmu entah di mana. Hingga di suatu tempat yang aneh di waktu tertentu. Sebuah suara menanyakan tentang salat yang kau lupakan bukan tentang koper yang terlupakan. Itulah untuk kesekian kalinya kau menyebut diri sebagai orang ceroboh dan pelupa.

V. Kematian

Sepagi itu jenderal terbaik dari sebuah negeri berlari masuk ke bentengnya yang kokoh. Dipakainya baju zirah lengkap dengan helm dan pedang di tangan.

Ia katakan bentengnya sudah bertahun-tahun diserang musuh namun tetap berdiri megah. Pedang itu sudah banyak mengisap darah di medan perang. Tak terhitung berapa kali baju itu terjun ke peperangan. Lalu kemenangan selalu mendatanginya.

Segenap pasukan elit disiagakan disekitarnya. Pagi belum lagi bermentari namun kesibukan bagai menghadapi perang terbesar yang pernah terjadi.

Meriam telah lama di siagakan di menara-menara tertinggi di benteng itu. Kuda-kuda terbaik sudah siap dibarisan terdepan. Diiringi genta yang berbunyi terus-menerus pertanda persiapan harus segera karena musuh sudah dekat.

Di saat segala sudah siap seorang penasehat merasa heran.
"Wahai Jenderal yang gagah perwira, bukankah kita telah menjajah musuh - musuh kita? Musuh mana lagi yang akan menyerang?"
Sang Jenderal hanya membelalak dan berkata, "Musuh kita sudah kita kalahkan, namun ada satu musuh yang akan membunuhku dengan segera dan itu pasti!"
"Siapa dia?"
"Maut!"

IBNU NAFISAH
Kdi 31 2018

Comments

Popular posts from this blog

Di Meja Makan

PANTUN BUJANGAN

Pelabuhan