Posts

Showing posts from July, 2016

SOCRATES

PUISI PATIDUSA BIAS ********************** SOCRATES (Akhir drama filsafat hidupku) Aku pikir beginilah akhirnya Kepergian racuni nantinya Seperti Socrates Tewas Kealpaan Suatu kemenangan Kebenaran terusir pergi Menyerah pada sang menguasai Telah kureguk cawan kepedihan Tanpa penawar kesedihan Membawa kaki-kaki Laki-laki Jauh Semakin jauh Tanpa pernah berpaling Terbang beda arah masing-masing Menempuhi masa terbawa angin Menuju antah berantah Mengejar ingin (R)entah Jika Suatu ketika Tanpa batas waktu Kita tersadar senja tersedu Ibnu Nafisah Kendari, 31 Juli 2016

SANG MUSAFIR

SANG MUSAFIR Kaki-kakiku lelah Tubuh serasa ambruk Melewati padang berpasir Menempuhi matahari berhangat Jalan tidaklah mudah Berliku, mendaki penuhi cobaan dan dosa Ya Allah... Aku pasrah di jalanMu Melangkah setapak di sisiMu Ini tidak mudah bahkan juga tidak sulit buatku Namun ini begitu sepi Temani aku Saat susah dan gembiraku Saat sakit maupun sehatku Bahkan ketika maut menjemputku Ya Allah... Temani Hambahmu... Ibnu Nafisah Kendari, 27 Juli 2014

PENIKMAT ROKOK

Kali ini hanya puntungnya ketemu Berserakan di ruang tamu Tiada yang peduli akan nya Pada asbak pun enggan bertanya "Ke mana bibir lembut itu pergi?" Setelah racun terhisap hilang bersama pagi "Di mana tangan membelai mesra?" Ketika tersedut bara ia pun menyerah Hanya udara bercampur asap penuhi Bungkus tergeletak hambur mengotori Tiada penikmat yang kemarin Pecandu cinta kematian Mungkin saja ia sudah jerah Lalu pergi dengan wajah merah Meninggalkan wangi juga sesak Bahkan lipstiknya pun masih tercetak Ibnu Nafisah Kendari, 24 Juli 2016

SEBUAH LAGU

Aku ingin nyanyikan satu lagu Lagu cinta abadi selama masa Aku ingin syairkan satu rindu Puisi kasih cerita hati sejati Kala hari tanpa kata Malam hening menyapa Hanya kita berdua Melantun di antara nada Membingkai melodi doa Hingga mendalam rasa Bila Engkau rela Aku kan bersujud dihadap Mu Sampai terbalas dosa merandu Menyeru menderu mengadu Ibnu Nafisah Kendari, 24 Juli 2014

WORKAHOLIC

Harus katakan kali ini padamu Aku muak mual dengar kata rindu Bibir mendesiskan cinta Sorotan mata manja Senyum tipis undang tanya Tingkah laku serta tawa Semua itu terjadi berulang-ulang Hingga tak bisa pulang-pulang Dua puluh empat jam sehari semalam Tiga puluh hari sebulan kau mendekam Menyita pikir dan waktu Mengambil kebebasan membatu Tidur pun engkau terngiang Malam menjadi siang Makan jadi hal yang langka Hiburan suatu keanehan belaka Apakah harus memberi kantung mata Sebuah anemia hingga kau berhenti di sana? Atau mungkin saja menunggu tubuh rubuh Lalu kegilaan mendera menyerah!? Ibnu Nafisah Kendari, 23 Juli 2016

SESEMBAHAN YANG KAU PERSEMBAHKAN

Mestinya menjadi darah dalam daging Sum-sum tulang di intinya Akar penghidupan pucuk dan daun Sari-sari penuh nutrisi makanannya Otak dari segala perilaku Pengolah pikiran hakiki nantinya Kalbu perasa peka dan sensitif Penyaring segala gejolak hasratnya Kendali menjadi sumber penentu Pengontrol ucap dan laku akhirnya Ibnu Nafisah Kendari, 23 Juli 2016

SEBUAH PANGGILAN

Tak terlihat di mana Namun suaraMu jelas nyata Berkobar-kobar jilat membara Menderu-deru di kalbu meraba Tangan gaib menarik maksa Kaki-kaki seakan bergerak saja Seudara merambat merambah Berdesir menyisir ke sana Bermuara pada Engkau yang Maha Menuntun langkah jatuhkan sembah Ibnu Nafisah Kendari, 22 Juli 2016

RISAU

Sepagi ini kau mengetuk pintu rumah Memasuki kamar tidur Ikut masuk ke dalam selimut: mendengkur Dalam mimpi kau gelisah Memutar badan kiri ke kanan Kanan ke kiri lalu terbangun lagi Kau menghambur ke kamar kecil Lalu ke dapur membuka semua lemari "Lapar," katamu sambil meminum segelas air "Tak ada apa-apa di sini," kataku Tiba-tiba kau marah menatap sinis Melompat menerkaaaaam ji... waaaakuuu Ibnu Nafisah Kendari, 22 Juli 2016

APALAH NANTI RASANYA

Gemuruh merubuhkan air dari langit Dari bibirnya yang liar mengalir Seluruh tubuh terusir dari awannya Jatuh berdebam di atas bumi Meneteslah di sela-sela atap selokan Terbawa jauh melewati sungai lautan Hingga tak satupun menggapai langit : Membelai anak-anak burung yang belajar terbang Berhilir mudik saling berkasih-kasihan di antara awan mendung lainnya Jika mungkin Tuhan menguapkannya ke atas Apalah jadi nanti rasanya Ibnu Nafisah Kendari, 21 Juli 2016

SEPIRING NASI GORENG

Siang itu kita berdua: aku dan bayang Memasuki warung pinggir jalan Sepiring nasi goreng dan es jeruk pesanku Kau hanya melihati seekor lalat di meja cokelat Uap makanan menyembul diantara kita Kau masih melihat-lihat beberapa ekor lalat terbang Ketika ia menepi di sebutir nasi dalam piring Kau muntah lalu terbang keluar warung tanpa mengajakku Hingga kini tak kulihat lagi bayang dirimu Hanya muntah yang berceceran dalam sisa hidupku Ibnu Nafisah Kendari, 21 Juli 2016

NEGERI TEMPATKU BERNAPAS

Dari tanah gemburnya tumbuhlah aku Ibu bumi dengan sabar dan tekun menetaskan setitik benih Mentari sepanjang hari bersinar memberin makan jadikannya pepohonan Kini pucuk muda itu merangkai dahan menjangkau langit Bertahan dalam hujan dan badai hingga kuat akarnya Ia tak ingin rebah begitu saja kehilangan buah dan daun dalam taufan Negeri tempatnya hidup begitu rentan akan cacing hewan liar lainnya Menggoroti setiap jengkal akal dan pikiran Hingga suatu saat daunnya habis disikat ribuan ulat tak berbulu Tikus-tikus berperut buncit dan berdasi siap menyikat habis lahan halaman Anjing-anjing hitam merongrong tiada henti segala damai Berkoar-koar burung pemakan bangkai di udara sekadar meneror ketenangan Negeriku di mana aku hidup hanyalah tanah lapang yang luas Rumah segala benalu ilalang dan rumput teki yang saling menginjak Tempat segala jeritan dan erangan tak ada habis-habisnya Hingga waktu menguningkan dedaun Mengeringkan ranting Membusukkan akar dan buah Saat itu

ANAK-ANAK PESANTREN

Bersarung dan berkopiah Berkemeja serta beralquran di tangannya Perginya hanya sesampai masjid Berebut alas paling depan Berlomba sujud paling banyak Membaca kitabnya sesering mungkin Suaranya tanpa gentar menggelegar Keramaian adalah kesepian panjang memahamiNya Kecintaan merupakan kerinduan misteri padaNya Rasa kenyang jua hausnya terobati saat merapalkan doa-doanya Menghafalkan nyanyian sunyi pada pedalaman jauh tak terjamah Merintihkan tangis pada Dia yang menciptakannya Mereka asing dalam keterasingan hidup Menjadi benih hilang dalam kekosongan dunia Pulau terpencil di hati yang selalu ingin dicari dalam peta harta karun Pula kehilangan yang ingin kau cari dari keroposnya sendi-sendi lelah Orang-orang aneh ingin kau dekati namun   cinta duniamu begitu besar Lubang yang akan kau masuki demi pelarian dari jeratan belitan Hingga mereka pergi tanpa jejak Meninggalkan sepasang sandal putus Yang tersisa gema azan entah di negeri mana Ibnu Nafisah Kendari, 21 Juli 2

WAJAH BAPAK

Pagi ini di cermin kulihat wajah bapak Berdiri bercukur kumis dan jenggotnya yang mulai belajar tumbuh Mengusap pipinya kini masih lurus tanpa kerutan Rambut itu belum lagi keperakan Pikiran dan kata-katanya masih selaras dijabat hati Kesabaran serta ketekunan tergambar dalam diamnya Bukan batik kesukaan atau acara tv kegemaran yang sedang ia lakukan Tempe goreng ala bapak yang tercium saat mengusap rambut Atau bahkan suara berat dan riang yang terdengar dari gesekan kaca lemari Bukan. Bukan bapak yang sedang berdiri di depan cermin Hanya sebuah raga dan jiwa yang menyerupainya Tersenyum seramah dan sedamai embun tertimpa mentari setelah hujan Mencoba menjadi bapak di cermin dalam kehidupannya Belajar mengikuti segala laku lalu dari orang yang dianggapnya terbaik Mencontoh jadi bapak yang mungkin ia tak mampu tandingi Atau mungkin tak bisa ia jalani? Ibnu Nafisah Kendari, 21 Juli 2016

HUJAN BULAN JULI

Hujan kali ini seperti dirimu Dingin beku berjatuhan dari langit yang tak tentu Mendung seakan mengandung air tapi juga membiarkan mentari menari Sekali jatuh segala duniaku tersungkur mendengkur di rimbanya Kaulah air bening seakan tak hentinya mengalir di dua belah mataku Berdiam diri dalam baju kerja saat lelah meminta menyerah Membuat ragaku gentar gemetar oleh seduh sedan Memercikkan segumpalan sesak di kubangan genangan Segala tanah lumpur menyeret serta noda di roda-roda motor serta kaki-kakiku Segala gigil di jiwa bahkan dekil di wajah merobek seketika Hujan Juli kali ini benar-benar dirimu Berusaha memberi basah dan kelesah di waktu-waktu yang tak tentu Berusaha merdeka dari awan demi selokan meluap menguap Membanjiri tanah pedalaman rumah tanpa ampun terus mengepung Lalu kau hilang dengan titik-titik air di rerumputan halaman batin Bekasnya masih nampak di tembok dinding Warna kecokelatan pada lantai rumah yang dulu kita huni Ah, kau memang hujan bulan Juliku

KUMENCIUMMU DI SINI. DI LANTAI INI

Aku menciumMu di lantai ini Kemarin kemarinnya lagi dan lagi Pagi ini pun itu terulang Di karpet, di ubin, di mana saja ku mau Menjamahi adalah hal tersulit dan pelik Mencoba merasakan hadir meski kau tak hadir Meraba segala khayal wujud meski Kau ada tapi tak mampu kuadakan Menganggap segala cinta berserakan kadang tak cukup kumengerti Menciummu lagi kali ini lagi lagi lagi dan lagi Inginkan surga itu kenikmatan itu kenyataan itu Kedamaian itu sekaligus pengampunan itu Tapi sayang Kau ada tapi sekali lagi tak mampu menghadirkan itu Hingga kumulai berpikir Apakah aku tak cukup tahu tentang Mu Segala cinta juga harapan-harapan Atau bahkan tentang diriku sendiri? Ibnu Nafisah Kendari, 20 Juli 2016

SESUNGGUHNYA

Kukatakan berulang-ulang pada tembok Pada langit pada cermin pada waktu Pada diriku sendiri Sesungguhnya kecantikanmu terletak pada cermin saat kau bercermin Pada make up saat kau berdandan Pada senyuman saat kau melirik Pada amarah saat kau mulai bermanja-manja Padaku seorang Berkali-kali terpadamkan api dalam mata Dalam kepala dalam hati dalam jiwa Dalam sanubariku Namun kau selalu hadir bak sekam tergerus angin rindu Bara tertimbun ilalang kering Lava segar dalam kerak bumi Gelora yang berkobar jadi sesal di kalbu Meski berjuta kata sangkal kulempari Bibir menyemburkan makian Lidah meludah belaka Selalu titik kecil di dasar hati menolaknya Meraung memberontak tak searah Mengobrak-abrik kedamaian semu Kau akhirnya membuatku jadi pembohong belaka Seorang munafik sahaja Yang bodoh dan dungu Penuh sesal dan dendam Ibnu Nafisah Kendari, 19 Juli 2016

YA. KAU BOLEH SAJA

Sudah pasti kau boleh saja menjadi udara Melewati lubang pintu atau jendela yang lupa tertutup rapat Memasuki rumah, ruang tidur bahkan paru-paruku Menempel pada tembok kusam berjamur tanpa lukisan atau foto keluarga yang menggantung Mencium hawa aneh atau anyir karena kotoran si meong di samping rumah Mengendus ubin batu yang mulai berdebu oleh sepi Tentu kau boleh menjadi air Menetes di lubang atap yang bocor Merembesi tembok jadi noda merah di sana Langit-langit menjadi tanda kecoklatan menerawang Bahkan menambah kebekuan jiwaku jika hujan merapalkan doa-doanya Ya. Tentu saja kau boleh menjadi apa yang kau inginkan Selama kau tak mencoba bertanya Atau mengeluh tentang serei di depan rumah yang mulai rimbun Rumput yang tak lagi enak dipandang Mesin air yang tak mampu mengalir deras Atau bahkan jidat ini yang mulai hitam oleh waktu Karena setiap jarak kau buat adalah hasil mantera yang terucapkan sebelumnya Ibnu Nafisah Kendari, 19 Juli 2016

SEMISAL?

Kita misalkan saja sekarang : Ranjang panjang ini adalah kau Sementara aku pula udara Ketika hujan berbaring di atas atap Kudengar dengkuran menetes tes tes tes Tapi tak ada suara menggigil gil gil gil Bahkan semisal anak kita pula selimut Ia hanya tergeletak diam Meski kau peluk ia dalam eram Ketika aku datang dalam lelah Kalian hanyalah ranjang beku Selimut dingin tergolek lemas; gemas Hingga suatu saat aku kan pergi Tak ada suara dalam kamar Karena udara bisu berhembus samar Ibnu Nafisah Kendari, 18 Juli 2016

Yang Tertinggal

Beginilah akhirnya : Sekehendak sunyi Tanpa bunyi Pergi. Sisa sepi  Pintu terbuka Kosong belaka Tak jua damai Renggut ramai Ibnu Nafisah Kendari, 06 Juli 2016

Hari kematian

Dan akhirnya jadi kenyataan Bagai bintang kecil kau mengucil Awan jadi lawan mengaburkan cahaya Makin lama kabur tak lagi bertabur Tiada suara yang kukenal  mengental Wajah sama dulu mengaca terbaca Bahkan tawa dan amarah segala asmara Sekejap terlelap dalam ilusi puisi Dan suatu saat jadi nyata Kau berdiri sendiri tinggalkan bayang Wangi kini tersesat pun tiada berada Seperti cerah jadi gerah mengarah