Posts

Showing posts from September, 2015

SAJAK RINDU

PUISI PATIDUSA ************** (Terinspirasi oleh: Lagu Rindu ;Kerispatih) Bintang Malam penuhi Kirana* rindu belintang** Menggelimantang*** rasa sendu hati Ingin lukis langit namamu Pada dingin bumantara**** Erat pelukku Se-udara Angkasa Tahukah engkau Siapa sang pemuja Berdiri kaku ingin menjangkau Embun kelam itu; aku Bermimpi belai kenya***** Meski beku Olehnya Sajak Cinta melonjak Tercipta buat dikau Belahan jiwa kian memukau Catatan Kaki: *sinar **terletak melintang ***memancar ****angkasa *****gadis Ibnu Nafisah Kendari, 22 September 2015

HIBAT*

(Sesuatu Yang sederhana) Tahukah kau? Mengapa kumbang terbang di taman? Itu karna bunga memukau Wanginya terbawa angin menawan Bahkan hujan menetes Pada daun ilalang Membawa kabar ngomes** Rindunya melanglang Pada embun di tingkap dahan mencit Masih pula senoktah air bertahta Memeluk sejuta bukit Hamparan kabut terhempas semata Pelan-pelan malam yang tak mau berganti Memerah di pusat akanan, lalu pergi Burung terbang di jendela langit Meraih cinta pada udara azurit*** Begitulah cinta melimpas**** Sederhana dan alami Semudah menarik napas Dan dihembuskan kembali Catatan Kaki: *cinta **selalu basah ***berwarna biru muda ****terlalui/terlampaui Ibnu Nafisah Kendari, 25 September 2015

BUYA*

(Orang yang selalu terkenang) Di lenganmu tersimpan darah Putih tulang bersarang daging Tetes keringat banjiri baju-kerah Terbayang lelah hingga setungging** Jungkir balik keluarga kita Ratap-tatap penuh tresna Kau sumbat-tutup sepenuh tenaga Korban nyawa demi senyawa Hari yang terkejar Semangat hidup kau tempuh Takkan pernah pudar Serupa gading tajam dan ampuh Kini tetulang telah rapuh Seiring waktu memutih rambut Kau masih berdiri sikapi sepuh Menjadi rangka tubuh cerabut Meski mata tak awas Kerut marut kulit lemas Pribadimu tetap kokoh kuat Pantang surut terus cuat Ramanda***, darahmu kini mengalir daku Menganak sungai kian liku Semangat juang terwaris Terpendam-karam seumpama historis Gubahlah aku yang terpilih Doakanlah terus di nadi Tempat segala cita beralih Temurun jadi tunas abadi Catatan Kaki: *ayah **jungkir balik kepala di bawah ***ayahanda Ibnu Nafisah Kendari, 25 September 2015

KABUT

PUISI PATIDUSA *************** Ibu Kulihat kerudungmu Berkibar terbawa asap Cadarmu mengepak bah sayap Matahari tak mampu mengecup Pundakmu berdiri kuncup Terbawa kabut Kalut Ilam-Ilam* Menebar akanan** Menelungkup segenap sebam*** Hilangkan dunia dan luruhkan Halimun pekat remang mendesak Terhirup pedih sesak Menekan dahak Ruak**** Ibu Kainmu meratap Alam kering merandu Dan ayah terbakar merayap Catatan Kaki : *kabut **cakrawala ***kelabu, suram ****merata kemana-mana Ibnu Nafisah Kendari, 14 September 2015

MALAM INI BULAN TAK NAMPAK

Sepi Lalu senyap meliputi Ada yang berbisik di sela ilalang "Malam ini ia akan mati, hilang" Dua peluru membuat rumah-rumahan Dalam daging murahan Darah berceceran Seperti bintang berhamburan Pecut keringat Laksana butiran bulan bulat Ah, sayang jejak tak napak Dan malam ini bulan tak nampak Ibnu Nafisah Kendari, 15 September 2015

BUKIT CINTA

(Rasa jalang yang tak bertuan) Rumput berdiri Layaknya lelaki Bergoyang bersiul Dengan kopi mengepul Angin menggoda Serupa wanita Bersuara syahdu Indah mengadu Ketika bukit terdaki Nyanyian alam berbunyi Gemerisik ilalang Terbuai angin nyalang Kuhirup udara liar Antara kita Suara angin biar Goyangkan cinta Kita berkecamuk nafsuh mengamuk Ingin penuhi Kolam sepi Ibnu Nafisah Kendari, 15 September 2015

RINDU

(Satu kata yang kubawa sebagai buah tangan) Sayang Aku datang Membawa sejuta rindu Dalam koper penuh merayu Ingin segera memeluk dirimu Menerobos jarak pintu cintaku Penuhi sms, telpon, dan segala panggilan manja Kau lihat, senyum terkembang Dan juga sungai air mata Turut merembang Sayang, sudah lupakan semua Bayang dan mimpi buruk tentang kita Orang yang kau nanti berdiri di sini Menunggu pelukan serta cerita diri Lepaskan segala kangenmu Juga dendam cintamu Yang kau timbun Semakin rimbun Kau pendam Semakin dalam Sayang kemari Dekap jemari Yang lelah Melangkah Sayangku ILU Ibnu Nafisah Kendari, 15 September 2015

CINTA

(Sesuatu yang pulang menemanimu) Hari ini aku datang Dari perjalanan diri yang dalam Serupa darah meradang Menempuhi pembuluh rindu teredam Layaknya arteri* membawa cinta Dari jantung hatiku kini berada Menerobos bilik-bilik** menuju aorta*** Di mana dirimu tepat berada kaulah paru-paru hidup dan kisah Tentang desah nafas yg bergelora Saat aku 'kan pergi dan pisah Kau ucapkan, "diri 'kan selalu mendamba" Itulah alasan kepulangan kali ini Menagih rasa yang dulu kau puja Saat yojana****  menengahi diri Agar kau tahu kita sama rasa Kini, aku telah pulang Dari segenap waktu yang hilang Menyahuti panggilanmu Memberi darah cintaku Catatan Kaki: *pembuluh darah dari jantung **ruang dalam jantung ***pembuluh darah besar ****jarak Ibnu Nafisah Kendari, 15 September 2015

MARTABAK love TERANG BULAN

PUISI PATIDUSA *************** Kencan Bertabur jua Kacang susu ketan Terang bulan lahap berdua Malam hanya milik kita Penjual dan lainnya Cuma numpang Doang Bintang Pun melintang Berharap gabung bersama 'Tuk nikmati hati berbunga Di wajan ada martabak Bermandi ciuman minyak Hangat gerobak Merebak Biasa Atau spesial Mungkin jumbo bisa Lebih menggugah selera akal Ketika kuliner umbar cinta Di pinggir jalan Semua pecinta Kerasukan Ibnu Nafisah Kendari, 16 September 2015

MUSIM KEMARAU

Sebelum Revisi PUISI HAIKU *********** Musim nan panas Daun pun berguguran Angin berhembus Rumput tak hijau Pohon randu meranting Jadi cokelat Burung mengepak Terbang jauh di langit Awan pun cerah Si gadis manis Berjubah merah sedih Senyum menghilang Hutan terbakar Asap terhirup sesak Alam berkabut Sesudah Revisi MUSIM KEMARAU Musim nan panas Daun ranting meranggas Angin mengganas Rumput tak hijau Pohon randu merantau Jauh meracau Burung mengepak Terbang tinggi berontak Awan terkoyak Si gadis sedih Berjubah merah pedih Senyum meletih Hutan terbakar Asap mengepung samar Kabut berpendar Ibnu Nafisah Kendari, 16 September 2015

HARI KELAHIRAN

(Hari peringatan pertama kali kita berjumpa : Xaviera Nafisah) Sayang, Ini hari kelahiranmu Hari di mana kau datang Membawa sejuta rindu Ketika itu rasanya tak karuan Resah bertukar tangkap bahagia Demi melihatmu penuh keharuan Wajah yang imut lucu dan ceria Kau adalah Srikandi jagoan Ayah Montok berisi dan tidur sepanjang hari Tangis dan tawamu adalah berkah Sehingga Ayah selalu senyum sendiri Ah, masa itu tak bisa terlupa Kini engkau telah beranjak dewasa Tak suka lagi bermanja-manja Atau menangis mengiba Sayang, Hari ini tepat hari kelahiranmu Awal mula engkau bertandang Hari seperti pertama kali bertemu Datang kemari Dekap dan peluk ceria Sebagai hadiah yang Ayah beri Atas keberhasilanmu kenal dunia Sayang, Anakku tersayang Engkau akan tetap jadi cinta di hati Rahmat yang tak akan terganti Meski waktu berlipat Dan hari tak lagi lihat Ibnu Nafisah Kendari, 16 September 2015

LANGGAR

PUISI PATIDUSA *************** (Suatu jejak di udara gelap) Kaki Napak meniti Terobos subuh pagi Angin berlalu dan pergi Suara itu tuntun tubuhnya Ia pecahkan gelap Nyalang matanya Sigap Sarung Berkibar lambai Seiring langkah mendayung Debu melesak ditimpa, merandai* Ia Jalan sepi Hasratnya tak sia Rontak menerjang badai tempuhi Di sinilah ia meradang Ratakan kepala sujud Berapi-api kadang Mengujud** Catatan Kaki: *jalan melalui **menjadi sesuatu yang dikehendaki Ibnu Nafisah Kendari, 18 September 2015

DEDAR

(Ketika hati terasa panas) Siang itu matahari kalap. Matanya nanar natap. Tembusi  Hati yang ratap. Aku dikejar rasa bahang*. Turuti jiwa beringsang**. Demi sebuah cinta yang berbayang. Amarah layaknya bara. Saling panggang di hati nara***. Lalu jadi debu di udara. Di sinilah aku berteduh. Pohon rindang tempatku mengeluh. Yang daunnya serupa kubah galuh. Memanggil jiwa haus cinta-Mu. Seumpama air tetesi rinduku. Obati dahaga kian meramu. Catatan Kaki: *panas dari api/suhu tubuh **panas ***orang/manusia Ibnu Nafisah Kendari, 18 September 2015

MAMA, AKU, DAN PASAR

PUISI PATIDUSA ************** (Suatu hari di akhir pekan) Mama Siang itu Sayur mayur menyapa Di pasar, ikan merayu Mereka ingin terjual terbeli Saat belai rayu Sentuh jamahi Kulitmu Rambut tertiup tergerai Seiring suara mubut* Saat menawar penjual ramai Aku hanya sebuah bayang Temani tubuh sepuh Semakin sayang Rapuh Mama Aku ingin Hadir di dada Jadi tameng bah rangin** Menginjak segala tanda jejak Bertahun lalu terpijak Hingga nanjak melanjak*** Catatan Kaki: *rapuh **perisai panjang ***mencapai usia tinggi Ibnu Nafisah Kendari, 20 September 2015

KOTA MAKASSAR

(Hilang kata di kota ini) PAGI HARI LARI PAGI KAKI LARI CARI KAKI KATA KOTA KAYA KATA RASA KAYA KITA RASA DEBU HARI RABU TABU HATI RABA PAHA KAKU JARI RASA PILU  BEKU LARI PAGI JADI SERU BIRU RATU BATU BIRU BAJU BARU SATU BAJU JARI LARI KOTA BARU PAGI HARI KITA SARU* *Samar Ibnu Nafisah Asrama Pabaeng-baeng, Makassar, 05 September 2015

PIKET JAGA

PUISI PADMA4444 **************** (Suatu hari di kantor yang lengang) JAGA MATA HARI BUTA PALA BAHU JARI KAKI LESU SEPI RASA PEKA KOPI SUSU MATA HATI PAGI PAGI MATA HARI KITA JAGA HATI SEPI BILA MATA HARI SORE KITA JAGA JUGA RAME TAPI JAGA HARI BUTA KITA SEPI JUGA LAMA PALA MUKA KAKI KAKU HARI HARI JADI LESU HARI PAGI HARI JAGA SUKA KOPI PAKE SUSU JIKA SUKA PAKE GULA JADI HARI JADI SERU Ibnu Nafisah Kendari, 13 September 2015

SURYA

PUISI PATIDUSA *************** (Kaulah yang kutemui saat pagi bergumul dengan embun) Mentari Pagi menari Senyum lirih menyinari berdendang laksana burung kenari Kerudung wajah sang gadis Melambai antara awan Berdegup sadis Rupawan Rawi* Kaulah jelita Beraksara jadi perawi** Melukis langit jadi juwita Kaulah bunga penuh warna Pepohonan anggun meraut Memadu cinta Merajut Srengenge*** Pula-lah engkau Bagai bintang rame Mantul air silau menjangkau Catatan Kaki: *matahari **periwayat hadis ***matahari Ibnu Nafisah Kendari, 13 September 2015

MASJID

(Tempat hati menemukan-Mu) Aku hanya seorang anak di hadapan-Mu. Tak tahu apa-apa akan semua hal. Berlari di sepanjang saf dengan ceriaku. Menyentuh sujud, ruku', dan dosa secara masal. Namun di hadapan-Mu, tak ubahnya bocah cilik. Memeluk sang ayah dalam doa panjang. Masih mendamba kasih terpetik. Di sela-sela bisikan hati merajang. Aku-lah anak kecil yang menangis ketika salat. Merasa sendiri dalam keramaian. Terkucil mencari jalan pulang dan sesat. Hingga tangan-Mu menuntun dalam lambaian. Masih ada langkah-langkah kecil di surau. Tempat kita bermain saat adzan  hilang merantau. Pun tawa kecil saat takbir pertama terpantau. Namun Engkau Maha Penyayang. Selalu meletakkan jari di bibir. Senyum indah di wajah tersayang. Sekadar menutup liar di ujung tubir. Selalu begitu, selalu buatku terkagum. Sebesar itukah cinta-Mu? Pada hamba-Mu yang buta meraum. Yang selalu merasa kecil di kaki-Mu. Ibnu Nafisah Kendari, 10 September 2015

RUMAH

PUISI PATIDUSA *************** (Tempat dua hati selayaknya tinggal) Ini cerita sebuah hati Terbuat dari ilalang Dua Sriti Terbang Datang Terpa hadang Musim panas berbisik Udara hangat kian gelitik Ini pula sebuah tubuh Diri dan rubuh Tak daya Lara Layang Pergi hilang Kisah sejumput udara Noktah cinta sang embara Ini pun sebuah rumah Bersarang debu tanah Di tampah* Terpanah Rindu Sarang Sriti Kembali panas merandu Ilalang kering riang menanti *alat rumah tangga terbuat dari bambu untuk menapis Ibnu Nafisah Kendari, 10 September 2015

TOILET

PUISI PATIDUSA *************** Muak Campur mual Pada segala tuak Kau bumbui segala bual Seribu alasan kata cinta Papar tuang seketika Penuhi dunia Cerita Sambal Kau colek Tukar ganti tambal Resah galau kau ulek Egoisme pribadi pun umbar Sesuka hati sesumbar Keluguan menampar Hambar Kebohongan Ludahi semata Jilat semua kejujuran Demi kata puas belaka Ketika semua itu datang Perut mules kebelet Lari nerjang Toilet Ibnu Nafisah Kendari, 09 September 2015

SENJA DI PANTAI AKKARENA

(Kisah 2 anak yang memuja laut dan mereka terhanyut di tengahnya) Katakan isi hatimu, wahai laut Riak gejolak dan pasir mengumpat Pun senja di dermaga kayu terbaut Dan matahari sewarna jingga tumpat Kita seperti anak-anak berenang Terapung saling mengagumi rindu Bercerita pada  mereka yang terkenang Mengabadikan angin yang menderu Hentikan saja gelombang Tinggalkan cinta yang berlubang Kita awali sore penuh tembang Antara kau dan aku berbagi senang Kita masih terlalu muda Mudah kecewa pada samudera Lain waktu memuja dunia Merasa idealis pada laut yang rata Tapi kita lupa kitalah asin dalam keterasingan Garam yang dibumbui lika-liku kehidupan Tetaplah menjadi air dalam lautan Meski menolak menjadi asin dalam pengasingan Wahai anak laut yang berada dalam pasang surut cinta Tetaplah seperti senja Meski kan padam di cakrawala Tetap membara memancarkan cahaya Ibnu Nafisah Asrama Pabaeng-baeng, Makassar, 06 September 2015.

DOA

PUISI PATIDUSA *************** Tuhan Dalam sesembahan Ijinkanlah aku memuja Meletakkan raga serta jiwa Dalam Sujud panjang Hingga dunia temaram Tinggal belaka tubuh terpajang Kesombongan Keserakahan dunia Pun segala kecintaan Bukan milik kami, manusia Namun Ketamakan pun Kelalaian selalu menghimpun Memaksa kami terjatuh tertimbun Tuhan Jika dosa Serta semua kesalahan Tak jua mendekatkan Kita Maka Hukumlah jiwa Di dunia fana Agar terlepas semua derita Jangan! Jangan biarkan Kepergian mendadak kehilangan Membawa rasa bersalah penyesalan Tuhan Jika saatnya Aku harus meninggalkan Sucikanlah sukma dari pengekangnya Agar, Kembali keharibaan Di bambu belukar Tempat dulu ditiupkan kehidupan Ibnu Nafisah Kendari, 08 September 2015

KEMBALI

PUISI PATIDUSA *************** (Hati yang ingin terus berpaling pada Mu) Rindu adalah kata terakhir Dari hati terukir Bibir terlahir; Mandir* Sedangkan Kau, seindah kekasih Memberi ciuman pedih Pada jiwa; Jemawa** Kemana lagi menghadap wajah Sedangkan cinta mewabah Sujud merambah; Tabah Bila tiba saat bersama Kau kudekap lama Sekadar merasa; Tuba*** Peluklah aku yang menyapih**** Seumpama hati letih Dekaplah diri; Ini Kan kudekap lebih erat Hingga jiwa berapi Lebih dekat; Lagi Catatan kaki: *berulang **congkak, angkuh ***tak berdaya, karena teracuni ****menghentikan masa menyusui Ibnu Nafisah Kendari, 07 September 2015

CINTA MU

(Ketika siang berkata "Cinta") Sesungguhnya aku bersiang hari dari Mu. Mentari menyinari semesta. Langit bertasbih pada Mu. Segenap makhluk hidup semata. Makanan siang ini pun suatu kesyukuran. Menambal kelaparan. Menyulam kegelisahan. Dengkuran ilalang mengambil tempat di sisi bukit. Paruh bersahutan bersiulkan burung pepohonan. Kurasakan cinta Mu menerpa kulit. Terdengar kasih Mu menjadi hutan. Buluh beterbangan seangkasa ria. Bunga-bunga menghirup segenap warna. Umbul bersiar menguapkan dahaga. Masihkah aku menduakan Mu? Mencari hati yang lain. Sedang bumi ini serupa rindu. Meneduhkan jiwa yang bermain. Ibnu Nafisah Kendari, 07 September 2015

RUMAH SAKIT PALEMONIA

(Hidup dan mati berada dalam satu atap) Kata sesak Botol infus Tembok desak Tumbuh mampus Derit darah Jalan pekat Kali jeda Mata rawat Sakit ucap Cium hati Wajah nancap Kita mati Ibnu Nafisah Asrama Pabaeng-baeng, Makassar, 05 September 2015

SENJA DI PANTAI AKKARENA

(Kisah 2 anak yang memuja laut dan mereka terhanyut di tengahnya) Katakan isi hatimu, wahai laut Riak gejolak dan pasir mengumpat Pun senja di dermaga kayu terbaut Dan matahari sewarna jingga tumpat Kita seperti anak-anak berenang Terapung saling mengagumi rindu Bercerita pada  mereka yang terkenang Mengabadikan angin yang menderu Hentikan saja gelombang Tinggalkan cinta yang berlubang Kita awali sore penuh tembang Antara kau dan aku berbagi senang Kita masih terlalu muda Mudah kecewa pada samudera Lain waktu memuja dunia Merasa idealis pada laut yang rata Tapi kita lupa kitalah asin dalam keterasingan Garam yang dibumbui lika-liku kehidupan Tetaplah menjadi air dalam lautan Meski menolak menjadi asin dalam pengasingan Wahai anak laut yang berada dalam pasang surut cinta Tetaplah seperti senja Meski kan padam di cakrawala Tetap membara memancarkan cahaya Ibnu Nafisah Asrama Pabaeng-baeng, Makassar, 06 September 2015.

KOTA SARU

(Hilang kata di kota ini) PAGI HARI LARI PAGI KAKI LARI CARI KAKI KATA KOTA KAYA KATA RASA KAYA KITA RASA BIRU RATU BATU BIRU BAJU BARU SATU BAJU JARI LARI KOTA BARU PAGI HARI KITA SARU* *Samar Ibnu Nafisah Asrama Pabaeng-baeng, Makassar, 05 September 2015

JEJAK KAKI

(Beberapa debu yang masih tertinggal) Banyak jejak tertinggal di Yogya. Seperti debu lengket di telapak kaki. Saat menapaki jalan bernama namun tak kusebut jua. Seperti keringat yang meluber ketika mendaki. Seumpama Pasar Ngasem, dengan latar belakang benteng yang rapuh. Pasar Niten hanya menimbun rasa masa lalu. Malioboro takkan pernah berhenti meniupkan ruh. Angkringan di mana saja apa saja hadir selalu. Kau bagai gadisku yang memakai batik. Penuh corak, warna, alam dan bangunan yang antik. Semua terangkum pada deretan kampus dan candi masa purba. Memberi sejuta kenangan yang takkan terlupa. Jika nanti yogya datang padamu segumpal rasa. Mengulang cerita jadi berita kita. Temukanlah aku pada jendela kota. Biarkan kita bermesraan selayaknya Rama dan Shinta. Ibnu Nafisah Asrama Pabaeng-baeng, Makassar, 04 September 2015

BANDARA

(Kata sedih yang mengikuti kepergian) Jangan pernah menatap mataku Ada sendang bening Airnya beku Geming Lirih Arusnya netes Mengikuti giri-giri Dari umbul kian rembes Sedih tak pernah lawat Kapan harus datang Seperti pesawat Terbang Mengangkasa Membawa rasa Serupa hantu menyapa Takut mendesak selasar jiwa Ketika sampai di muara Hanya lambaian tangan Tak bersuara Berpandangan Lalu Kau-aku Berbalik mengulang kaku Masing-masing pergi berlalu Ibnu Nafisah Bandara Adi Sucipto, 03 September 2015

SAHABAT

(Manusia yang berjiwa malaikat) Sahabat Layaknya kerabat Peluk pundak erat Sehangat tangan kuat terjabat Tongkat kayu jadi sandaran Tali jadi ikatan Seumpama jembatan Pijakan Tangis Tawa manis Kau usap ringis Sentuh bahu bah magis Susah dan derita berenang Ubah jadi tenang Lalu senang Menang Sahabat Tetaplah mendekat Bersama ukir buat Demi masa maha hebat Ibnu Nafisah Bantul, Sembungan, 02 September 2015

DI WARUNG YU TEMU

(Pecel lele, tahu tempe bacem dan teh anget) Sekali lagi ikan lele berenang. Menyelam dalam lautan kuah, senang. Tarian pagi  hari ini lele ekor panjang. Gemulai siripnya menawan, nendang. Di tepi Sungai Bedog yang rindang. Pohon bambu berbonggol tua melambai. Angin semilir meneduhkan mayang. Pondok Yu Temu penuh, ramai. Ikan lele masih saja berenang. Saat lambaian tangan terucap sayang. Masih adakah pondok itu ketika esok datang. Walau sekadar mengingat aku dengan mata yang nyalang. Dan ketika kita tak lagi saling menyapa. Terselip dalam lipatan waktu. Masih terlihat ikan lele mendamba. Meminta menari sekali lagi, mengadu. Ibnu Nafisah Bantul, Sembungan, 03 September 2015

CANDI BOROBUDUR

(Temukan aku yang menanti dirimu di sana) Seharusnya aku tabah serupa pertapa di Candi. Meski angin dan debu bertiup kan tetap sendiri. Penghuni setia stupika purba kokoh berdiri. Tak tergoda wisatawan yang selalu memuja. Lanskap Pegunungan Menoreh tak cukup palingkan doa. Kau hanya bercerita lewat relief di langkan karmawibhangga. Bagiku kaulah Mandala sejati. Meski berpola rumit tapi kaulah semesta. Berundak-undak memberi arti. Meniupkan ruh di hati dan cinta. Jika nanti mataku terpejam dan mengingat dirimu. Itulah diri yang sesungguhnya, serupa Kamadhatu. Saat bayangmu hilang di Nirwana, akulah Rupadhatu. Dan ketika aku menghilang bersama angin akulah Arupadhatu. Jangan mencari aku yang tak lagi jelajah. Datanglah di Stupa ini karena aku arca Mudra. Bersikap sabar seindah teratai sempurnah. Menanti teguh dirimu selayaknya Dharmachakra Mudra. Ibnu Nafisah Bantul, Sembungan, Warung Yu Temu, 02 September 2015

UMBUL PAJANGAN

(Mata air yang tak ingin dilupakan) Sendang Ladang jagung Barisan hijau menghadang Suara kita bergema mengaung Keriuhan bagai mata air Dalam, hitam berair Serupa syair Mencair Kau Pematang desau Membawa buih risau Jauh pergi dan meracau Di sana masih berenang Tubuh rindu setenang Damai berdendang Senang Ibnu Nafisah Bantul, Sembungan, 02 September 2015

PUNCAK MENOREH

(Senoktah jejak di pundakmu yang terjal) Kali ini kau adalah sepenggal kenangan. Melipir di sesela bukit yang terjal. Di sana terlihat Gereja Ayam dalam tenangan. Hamparan Ladang Mbako subur terkenal. Kudaki hati yang meranggas di antara jurang. Kau berdiri seumpama tebing. Berharap tangan ini meraih karang. Merayu sedih dan mengusap langkah terbimbing. Kita bertemu di Curug Miri Ombo di mana gunung batu semayam. Tetesan air mata kuusap dalam tegukan. Belaian angin pegunungan semilir mengayam. Kau-aku saling buai bertukar kesejukan. Alam semesta hanya ada kita. Pepohonan, cadas, sepi dan kedamaian. Selebihnya barisan hijau menghadang mata. Memaksa cerita tak ingin lambaian. Ibnu Nafisah Bantul, Sembungan, 02 September 2015