Posts

Showing posts from 2018

Di Meja Makan Kita

Di Meja Makan Kita (Buat Habibati) Bibirku mengunyah bibirmu Sejumput nasi masih di tangan Lelah terpaku. Menunggu Ikan, sayur kangkung Sepiring kecil lombok cobek Terhenti sejenak. Ditikung 24 September 2018 D_

Kampung Halaman

Kampung Halaman Jalan lapang dan berkelok ini adalah rambutmu yang panjang dan elok Ujungnya adalah rumah masa lalu yang telah lama tanggal dari waktu tak ingin tinggal lebih lama karena hari pun turut berlalu jadi dahulu Masa kekanak kini pudar seakan berenang di bola matamu datang bagai gelombang purba lama mengembara Masih terdengar suara anak-anak di sesela bambu masa lalu, lalu engkau mencari-cari, namun hanya ada aku di pangkuanmu. Anginnya masih sama seperti dahulu katamu namun kini lebih hangat karena  ada aku di sisimu Airnya setiris embun di pagi buta meski tak tak lagi meniris air mata di malam kelam karena kita menghapusnya dengan senda gurau belaka Suara adzan masih menyentuh dinding dinding kamar yang menggigil oleh kantuk Atau bunyi-bunyian besi yang dipukul oleh santri jaga malam kadang mengejar tahajud disenyap pohon cemara Aroma masa lalu bagai cerita mengulang di jam jam yang berdetak mundur seakan menolak berdetik ke depan Namun kenyataan tak pernah mau me

Perjalanan

Perjalanan (Buat E) Ketika roda berputar Hanya aku dan kamu Tangan melingkar Terasa hangatmu Bukan jalan gelombang Jemari cengkram kuat Namun hati kembang Karena bahagia mencuat Tiada sepasang merpati seperti ini Terbang di jalanan tak bertuan Susuri hutan kian kemari Seakan dalam lukisan Meniti hidup tak ingin redup Menancap asa segala rasa Hingga waktu tak lagi letup Digiring sore kian senja 24 September 2018 D_

Adinda

Adinda Biarkan aku bersemayam dalam gelung hitam rambutmu Bagai batu cadas di dasar telaga terlelap jauh dan menghilang Atau sekadar menidurkan lelah dalam curug lembahmu Adindaku sayang Diantara bukit terjal dan pepohonan cinta ada hamparan rindu yang kian menggunung Resah gelisah di sepanjang hutan belantara ini mengalir sungai berair jernih Jika engkau menelaah lebih jauh airnya berasal dari dua mata air asaku Kesemuanya akan bermuara ke laut di mana cintamu bermukim Jika engkau ridho beribu ekor ikan akan berenang bebas di dalamnya Beberapa nelayan dengan senyum yang amat manis datang ke pondok pondok mereka Anak-anak mereka akan tertawa bahagia dengan hasil tangkapannya Lalu istri-istri mereka akan menjatuhkan air mata cinta mendaratkan pelukan ke pundak-pundak sang perkasa Adinda oh adinda Biarkan aku menjadi pemerah bibirmu yang senantiasa kau kecup, menempel tanpa jemu Izinkan aku menjadi bulir-bulir keringatmu tergelincir di atas kulit putihmu yang ranum Senant

Menjadi Tanah

Menjadi Tanah Aku akan terus menjadi bayanganmu meski sebaris titik hitam pada tonggak kayu Menghunus kuat di perut bumi, mencengkram dalam dan mengakar Menjadi karang di lautmu bertahan di pantai tempat gelombang bermuara Meski terkikis asin dalam keterasingan pandang Aku ingin menjadi pohon rimbun tempat buah berbunga serta serangga bercengkrama bebas Meski hujan datang membadai menggoyangkan resah batangmu AKU. Aku ingin menjadi waktu tiap saat mengitarimu Meski raga lapuk termakan rayap hingga tak lagi berbentuk jadi tanah 27 Agustus 2018 D_

Habibatiku

Habibatiku Engkau adalah puisi yang belum sempat tertulis Lembaran kertas yang menanti aku sebagai pena 'tuk merangkai kata Sejarah masa depan yang akan menjadi masa laluku Tentang kisah kasih yang akan menjadi novel di masa lain Meski ribuan paragraf mengulang kata kesedihan namun engkaulah kebahagiaan di bab akhirnya Engkaulah sebuah koma, dalamnya berderet huruf tentang kita Berharap hadirmu keindahan itu sendiri terbaca meski tak terkatakan Bahkan dalam tiap halaman buku itu akan tertulis namamu namaku bahkan nama anak kita Kitalah karya Tuhan yang paling megah cerita sejati yang takkan pudar meski kita bukan lagi sebuah kata-kata ..., bukan lagi sebuah kata-kata .... 27 Agustus 2018 D_

Jemuran

Jemuran Entah berapa lama lengan ini menjadi gantungan baju Sementara engkau tak ubahnya abaya panjang dan baru Engkau dengan segala kisahmu, canda, manja dan rindumu Bergoyang seirama nyanyian angin yang datang tak ubahnya candu Hingga tali jemuran tak kuasa menahan cemburu Demi kita yang bergelayutan di udara bebas saling deru 27 Agustus 2018 D_

Uhibbuka Fillah

Uhibbuka Fillah (Buat E, doa yang kupanjatkan sepanjang waktu) Bayangkan aku rerumputan merayap menampung tiap kuntum merahmu. Beri warna hari yang tak pernah pudar di antara cokelatnya tanah lalu hijaunya dedaunan. Reranting kecil layaknya jemari rinduku yang takkan mampu melepas kebas rimbunan mekar bunga hatinya. Bahkan angin dan burung terkadang menggoda disesela sepoi teduhmu. Kudambakan engkau rumah berpintu merah berjendela biru yang selalu kutiupkan hawa segar di ruang-ruang sepimu. Akulah jejak yang akan meratapi segenap ubin dan tembok, menelusuri kamar bersprei biru. Lalu sajadah terbentang ke arah Barat ketika cintamu bersujud sepanjang waktu. Begitu pula cintaku terhanyut dalam lantunan surat yang kita baca bersama atas nama Allah. 27 Agustus 2018 D_

Di Dapur Kita

Di Dapur Kita (Buat Habibatiku) Selalu ada tangan yang melingkar dipinggang Merehatkan sejenak penat di lengkung lehermu yang jenjang Sementara jemarimu bergerak bahagia di atas piring dan gelas Kudengar dentingannya bernada cinta antara sabun dan air yang tak lagi cemas 27 Agustus 2018 D_

HANIF

Hanif Apa yang kau cari selain jalan yang lurus Tanpa tanda tanya di balok menjurus Engkau sudah tahu kompas mana yang benar Jarum di sana menunjukkan arah tempatmu bernalar Sebagaimana sungai tahu muara lautan Hingga arusmu nantinya bersatu bagai larutan Sejak kecil lisanmu telah merangkak membaca namaNya Hingga dewasa kau bisa menjawab dan bertanya Lalu kini tentukan arahmu seandainya kau tersesat menjalani Karena engkau sepandai-pandainya kaum yang terberkahi IBNU NAFISAH Kdi, 19 April 2018 03 Sha'ban 1439 H

BELAJAR NGAJI

Belajar Ngaji Alif--     baa--      taa--      tsaa-- Lidah terbata terasa Teraba asa Bahasa Jiim--    Haa--   Khaa--   Daal-- Bibir berucap gandal Huruf-huruf badal Mengganjal Dzaal--    Raa--   Zaay--   Siin-- Amsal lautan berasin Kekata kek awin Terjalin Siin--  Syiin--  Shaad--  Dhaad-- Meski sukar kuberdoa Pandai membaca Mengeja Thaa--   Dzhaa--  'Ain--  Ghain-- Berikan ilmu kepandaian Indahkanlah lisan Bacaan Faa--   Qaaf--   Kaaf--    Laam-- Bagai samudera dalam Timbul tenggelam Menyelam Miim--  Nuun--   Waau--  Haa-- Bak mencintai gerha Selalu rindu Merandu Lam   Alif--    Hamzah--   Yaa-- Allah maha kaya Berkahi doa Upaya IBNU NAFISAH Kdi, 18 April 2018 02 Sh a'ban 1439 H

JIWA MURSAL

Jiwa Mursal Suatu ketika aku bersujud tiada henti. Raga entah di mana begitu pula jiwa mursal. 'Sembunyikan jiwamu' meski sunyi terus berbunyi. Begitu pula malam menutupi hidup yang tak lagi penuh. 'Maka biarkan hatimu kosong' dalam lorong-lorong terasing hingga jera melolong. Tapi, aku hina-dina, celaka belaka! Tak ada tempat bagi kaum diryah di surga. Lalu ke mana mereka pergi? IBNU NAFISAH Kdi, 17 April 2018 01 Syaban 1439 H

MENYERAH

Menyerah Daun yang tabah takkan bertahan pada tangkainya_ Tempatnya tumbuh bermekaran Ia pasrah pada angin pada hujan pada tanah yang merengkuhnya_ Begitu pula aku pada Mu IBNU NAFISAH Kdi, 16 April 2018 29 Rajab 1439 H

LELAKI

LELAKI. Lelaki yang berkejaran di dalam benakku kini berdebat hebat. Ia bukan lagi jiwa liar di sudut-sudut jalan yang tersudut oleh persimpangan dan penyimpangan. Jalan hidupnya hanya mempertanyakan sebuah tanya tanpa jawaban yang pasti dan musti terungkap . Pikiran dan prakiraan memenuhi segenap harap sekaligus ratap. Kaki-kaki yang keras seakan menendang segala cadas meremas hingga tandas. Kepalanya tidak lagi berisi selongsong peluru yang kosong melompong. Seluruh hidupnya luruh pada satu perihal yang berputar di akal. Mengarah pada arah yang tidak mungkin tidak buat dipersoalkan. Hingga dibuatnya gamang remang meradang. Dalam sujud yang panjang dan tenang ia hanya meminta dan berdoa sebuah ampunan dan sebuah jawaban. 'Apakah ada khusnul khotimah diakhir perjalanan ini?' Bisiknya lirih dalam diri seperti pencuri yang takut ketahuan sedang beraksi di depan korbannya. (IBNU NAFISAH, Kdi, 20 April 2018, 03 Sha'ban 1439 H) 

APA HEBATNYA CINTA

Apa Hebatnya Cinta Apa hebatnya cinta ini Datang dan pergi Sesuka hati Berlalu Sedalam lautan luas terbentang Setinggi gunung terentang Sejauh memandang Menyayang Katanya tak akan meluntur Meski rindu mengucur Cemburu  melacur Menghambur Apa hebatnya cinta ini Manis saat kini Pahit sedih Nanti Adakah cinta yang sejati Memberi tanpa benci Tiada mati Abadi Adakah cinta yang paripurna Pemilik maha sempurna Selain Dia Allah IBNU NAFISAH Kdi, 15 April 2018 28 Rajab 1439 H

KANZAH

Tamadhar binti Amru bin al-Haris bin asy-Syarid Medan perang bagai membara Koarkan keringat darah Hidup sekali Mati Pergi Jemput pagi Jangan lari darinya Sembunyi bagai bunyi hampa Sekali 'allahuakbar' maka terjunlah Engkaulah debu menggila Pedang menyala Bahana Syahidlah Bagai shahabiyat Membela agama Allah Bagai maut kemudian wafat Meski tulang-tulang menjadi duri Tubuh-tubuh kita terhempas Tanah-tanah tercuri Terampas Terlupakan Bunga bermekaran Manis roti memabukan Bahkan air tiada terasakan IBNU NAFISAH Kdi, 14 April 2018 27 Rajab 1439 H

AL ASR (DEMI MASA)

‌Al Asr DEMI MASA Waktu Detik bergulir Segala juga sesuatu Membuat kita terlena. Terjungkir. Hingga bodohnya kita. Tersadar. Daun satu-satu melayang Senja bersandar Meremang Sia-sia Betapa kerugian Menggulung dada manusia Karena esok tampak bepergian Tinggal kenangan sesal kecewa Mengendap meraba derita Tangis tertawa Semata Sungguh Waktu bergulir Masa tak merengkuh Semua akan terus mengalir Tiba-tiba maut datang menyapa Malam hanya kegelapan Hitam menyala Penyesalan Ibnu Nafisah 25 Februari 2018

GUNUNG TIHAMAH

Gunung Tihamah Ketika panasnya menusuk kulit dan daging Kita sedang berlomba-lomba bak lumba-lumba Penuhi surau-surau yang parau jauh berdenging Di tengah malam sepi tak bertepi kita juga sama berjumpa Tatkala kau hilang dalam kesendirian entah di mana Gunung setinggi Tihamah pun beterbangan bagai debu Aku terjungkir dari puncaknya entah ke mana Layaknya musafir terhempas dan lepas jadi abu IBNU NAFISAH Kdi 26 Maret  2018

MUSIM SEMI

Musim Semi Di waktu di musim semi Helai jatuh bagai angan-angan Di ranting tangkai tertiup sepi Oleh wajah penuh bayang-bayang Maka tak tahukah kamu Segala getah akan luntur Di bawah sujud ikhlasmu Sebagaimana dedaunan gugur IBNU NAFISAH Kdi 28 Maret 2018

SUNGAI DI DEPAN RUMAH

Sungai Di Depan Rumah Entah ada atau tidak sungai di depan rumah Namun sekali waktu aku turut mandi  di sana Di pagi buta airnya begitu bening arusnya mengalir hening Nampak ikan-ikan berenang terpantul tenang Kala mentari menari airnya segar menetes di kening Seakan anak-anak berlomba lari dalam renang Tatkala sinarnya tergelincir ke arah barat suaranya masih syahdu Katak pun melompat ketepian saat remang mengadu Jangkrik seakan bertasbih di malam kakiku terakhir kubasuh Entah ada atau tidak sungai di depan rumahmu Tapi kuyakin suatu waktu kau takkan melewatkan Di lima waktu setiap hari yang kau rindu Seakan menyucikan dosa yang kerap tersentuh di jalanan IBNU NAFISAH Kdi 29 Maret 2018

DUA PUISI YANG TAK AKAN DITEMUKAN DI SURGA

Dua Puisi yang Tak Akan Ditemukan Di Surga #Cemeti Bila manusia diberi hidup Kekuatan yang tak mudah redup Di tangannya berubah besi Juga setangkai cemeti Serupa ekor sapi Di matanya membakar bara api Dengannya kenikmatan bersarang Membekas di kulit seseorang Luka darah luka darah menetes Membekas bahkan setetes Luka di kulit akan mengering Luka di hati duka menjaring #Perempuan Dalam bola mataku tertawa riang Rambut panjangnya terngiang Di sepanjang reka tubuhmu gelora menghujam Membanjiri setiap jengkal kesumat dendam Bila bersuara nampak menawan Jika berpakaian laksana bulan tak berawan Berjalan dari ujung mata ke hatiku yang binal Berlenggak-lenggok bak unta dahaga yang banal Hingga aku tertawan dalam penjara dunia Lalu bumi tempatmu surga 'nusia IBNU NAFISAH Kdi 30 Maret 2018

LIMA PUISI

Lima Puisi I. Pemuda Aku tak punya kekuasaan pada dirimu. Karena engkaulah peluru yang terlanjur dimuntahkan. Darinya menerobos segala sekat meski pekat terasa. Engkau pula badai yang terperangkap dalam rumah. Jika engkau melangkah segala petir dan hujan bersatu. Jalan-jalan dan selokan tak mampu menampung keluh kesahmu. Engkaulah di mana segala penyesalan bermula. Ketika tembok runtuh oleh kepalanya tangan, kekesalan pecah di kaki yang masih hijau. Wajah dan badan selayaknya gendang yang coba dibunyikan dengan hasrat yang paling liar. Hingga engkau sampai di kaki sebuah bukit. Lalu senja memanggilmu sebagai lelah dan lemah. Ketidakberdayaan adalah namamu terakhir saat puncak itu engkau raih. II. Sehat Denganmu segala rasa mampu kuucapkan dengan lantang. Luka terbuka dari pedihnya dunia mampu kutampung. Akulah lautan tempat muara segala harap. Tempat kapal-kapal angan berlabuh. Camar  berkepak cita-cita yang menukik di atas samudra gairah. Denganmu ak ulah gunung yang tinggi. B

TIGA HAL

Tiga Hal Siang itu di bawah rimbun pohon durian, rambutan dan kelapa Ada yang mencoba ingin melupakanmu Mereka tidak ingin berpikir seperti itu tapi akhirnya waktu jua berkata Awalnya dibuatkan sebuah rumah buatmu Tempat tidur yang nyaman dan sejuk dengan jendela yang langsung menatap pepohonan Halaman yang sangat lapang hingga bisa berladang Jika malam tiba atapnya akan menampakkan bulan yang rupawan Dengan binatang-bintang menempel bagai manik-manik saling melintang Ketika waktunya untuk pergi dua lainnya meminta pamit  tanpa bisa engkau cegah Dengan berat hati mereka berlalu begitu saja dan berjanji akan datang lagi Lalu satu dari ketiganya berada di sampingmu seraya berbenah Menatapmu seolah-olah ia meminta ijin agar kau membawanya sampai mati IBNU NAFISAH Kdi 01 April 2018

TAMU YANG TAK INGIN KAU SAPA

Tamu Yang Tak Ingin Kau Sapa Tamu Seorang kawan Minta untuk bertemu Di ranjang tempat kutertawan Ia katakan ingin menjenguk Mendoakan yang sakit Hatiku remuk Pahit Kejang Tubuh bergetar Menahanku dari ranjang Meski senyum seringai  melatar Kaki-kaki seakan ingin berlari Namun raga membeku Ia menghampiri Terpaku Kosong Wajahnya meringis Jiwaku serasa gosong Seperti batu yang menangis Ketika ia berkata,  "Pergi!" Aku terpojok sendiri Tatapan sepi Abadi IBNU NAFISAH Kdi 01 April 2018

TIGA RATUS PEDANG

Tiga Ratus Pedang Sesaat aku akan pergi Langit berwajah kelabu Sesekali gerimis di atas perigi Mengalirkan sesak di dada kian menggebu Juga guntur yang mengguruh Desahan lirih napas kian tersesat Saat itu kau bisikan kalimat indah pada ruh Namun itu bukan hal yang mudah, itu berat Sesaat aku akan pergi Sesuatu menusukkan pedang ke tubuh Perih dan nyerih berulang kali Sekali lagi lagi lagi hingga menyerbu Tiga ratus tusukan mata pedang Menghujam dalam sekali waktu Tak henti hingga napas meradang Juga terhenti jadi beku IBNU NAFISAH Kdi 03 April 2018

KESENANGAN YANG MENIPU

Kesenangan Yang Menipu Jangan percaya pada Dunia Jika janjikan abadi Hanya fana Sejati Jangan terlena hingga terlupa Hiburan tak bermakna Kadang hebat Sesaat Saat merasa inilah surga Hidup damai bahagia Penuh tawa Sahaja Ketika itu ujian dimulai Khuldi nampak lezat Ranum gemulai Nikmat Sekali engkau tancapkan gigi Maka terhempaslah ia Pada gerigi Dosa Begitulah mawar nampak indah Mekar marak bersemi Sembunyi luka Berduri IBNU NAFISAH Kdi 03 April 2018

BAGAI BUNGA YANG DIPETIK KEMUDIAN LAYU

Bagai Bunga Yang Dipetik Kemudian Layu Aku tak punya kekuatan padamu. Bumi tempatmu berjalan dan kegembiraan serta rumah-rumah di atasnya hanyalah perempuan yang menari di atas gendang. Sekali terpikat olehnya dunia seakan surga buatan. Aku tak punya daya mengubahmu seperti benih. Ia bebas berkecambah sesuka hati menjulurkan pucuk muda ke mana matari bersinar. Ke mana akar mengarah untuk mencapai air hidupnya. Aku tak punya kekuasaan atasmu. Layaknya awan gelap bergumul dan di mana saja ia mampu menurunkan tetesnya. Membanjiri sungai dan jalanan yang hendak kau jalani. Aku takkan pernah mampu memintamu menjalani jalan yang tak kau sukai. Karena kampung dunia begitulah menggiurkan. Menawarkan setangkai bunga mekar yang hendak kau petik. Tak seberapa lama iapun layu di tangan. IBNU NAFISAH Kdi 04 April 2018

EMPAT PUISI BUAT KAUM ADAM

Empat Puisi Buat Kaum Adam #Kecantikan Kadang kita menjatuhkan diri ke dalam lembaran paragraf seorang asing dan setelahnya menuliskan kata-kata yang bukan kita. Mengagungkan paras sebening porselin yang kadang dipajang di atas lemari dan dibersihkan jika berdebu. Diri kita telah lama sekali dicuri dari badannya. Awalnya dijajah oleh pikiran yang sama sekali bukan kita. Otak kita dicekoki, dipaksa dan akhirnya dicuci oleh pergaulan dan pandangan. Hingga akhirnya seorang perempuan dinilai bak bunga. Dicium semerbaknya dan dipandangi warnanya. Tanpa peduli mereka berduri atau beracun. Sekali mengenali kemolekannya lalu kita mencapnya sebagai ratu yang harus menguasai sebuah kerajaan. Meski sang ratu menghadiri pesta-pesta tanpa apapun. Lalu semua mengaminkan keindahan tubuhnya dan kita hanya termangu tanpa bisa berkata-kata. Karena kecantikan yang ada dalam kepala kita hanya apa yang terlihat. Apa yang terbaca oleh mata dan dirasakan oleh kulit. Karena kita adalah anak-anak zaman ya

SEKUMPULAN

Sekumpulan Ketika waktunya adzan tiba Suara seterang kandil Mengalun purba Memanggil Terkasih Membujuk rayuan Merindu layaknya kinasih Membuka raudah seluas buaian Ketika waktunya telah lewat Sinarnya berlalu senja Warna semburat Mengeja Wajahmu Dinding membeku Hatimu membatu terpaku Serupa gunung himalaya tergagu Bukankah engkau sebagian darinya Orang-orang menolak cinta Kasih sayang-Nya; Surga Sekumpulan Segolongan mereka; Fir'aun dengan kekuasaan Haman, Qarun dengan hartanya IBNU NAFISAH Kdi 08 April 2018

JIKA AKU BELAJAR MENCINTAI

Jika Aku Belajar Mencintai Jika aku belajar mencintai maka seluruh indraku mengeja. Kepala bertumbuh rumput di padang-padang yang tertiup angin membawa aroma alam di pondok kayu beratap daun kering. H atiku menggali lubang-lubang dikedalamannya dan akan kutemukan pasir, bebatuan dan mata air yang nantinya menyegarkan mata batinku. Ragaku merangkai tiap gerak bersama tulang belulang dan otot daging di dalamnya. Kakiku akan ringan melangkah karena cinta yang ditawarkan tak lebih jua tak kurang. Tanganku menggapai-gapai seakan cinta adalah awan yang nampak maya tapi kaya rasa. Bila aku belajar mencinta, kau akan memandangku sebagai anak yatim di pojok-pojok toko atau tangan-tangan yang memegang tamborin di lampu-lampu merah. Akulah mesjid-mesjid yang lapang namun tak jua memasukinya. Pun lemari berisi musyaf yang tak akan  kaudekati bahkan sekadar menyapa, ''Apa kabarmu hari ini?'' Jika aku belajar mencintai, kau akan memandangku sebagai puncak menara di mesjid-mesjid.

TETAPLAH TERSENYUM

Tetaplah Tersenyum Kita telah lama jadi debu, asap, darah, dan air mata. Mereka menghadiahi kita dengan peti-peti kosong. Tapi kita cuma mengambil kain kafan. Untuk anak tetangga yang kemarin sore, kakak atau adik dan kerabat. Aku sengaja tak menyebutkan nama orang tua kita, karena wajahnya pun mereka hapus dalam hitungan detik. Kita telah lupa rasanya tidur nyenyak dan bangun dengan membuka kaca jendela di pagi hari. Karena mereka telah mengambil kamar kita. Lupa rasanya makan dengan perut kenyang, minum dari mata air yang jernih. Karena mereka telah bersusah payah meratakan daratan. Kita telah bosan melihat darah dan airmata. Lalu mereka jengkel melihat senyum yang masih bertahan meski napas tiada lagi di rumahnya. Hanya Dhouma masih mereka beri buat kita. Itupun berbaik hati dengan mengganti udara buatan, hingga beberapa dari anak dan dewasa lebih cepat bertemu Tuhannya. Mereka bisa saja mengambil ingatan tentang orang-orang yang kita sayangi. Harumnya bunga, rasa roti di pagi

14 JUMADIL AKHIR 1439

14 Jumadil Akhir 1439 Suatu subuh kautemui purnama Bulatan penuh berpendar melayang Sewarna perak gerakan hati pertama Hingga bibirmu bertasbih mengembang Ia hanya sejarak mata memandang Tapi tak jua mampu tergapai Hanya bayang memantul meradang Di pekat fajar bagai manik cerpelai Cahyanya banjiri tubuhmu Kauhirup dengan penuh keagungan Sejenak kauterpukau membeku Tersadar diri penuh keremangan IBNU NAFISAH Kdi, 02 Maret 2018

AKU BERADA DI DALAMMU

Aku Berada Di DalamMu WajahMu ribuan titik sinar menghujam dari sesela pohon Aku hanyalah keremangan dedaun bergerak liar di antara dahan yang rapuh Bila tangan tak mampu menggapai apalagi pandangku tak kuasa menahan gemerlap bias Bila cahya begitu terang lagi membutakan mungkinkah kesadaran menerawang hingga akhir Engkau panas lampu tempel dalam pondok berjelaja bambu dengan sulur-sulur benang minyak yang pekat mengeluarkan asap dan aku hanyalah seekor laron kecil mencoba melihat lebih dekat tanpa sadari sayap telah terbakar dan mati Di dapur beratap daun kering dan bertungku batu Engkau pula api yang meretas di antara kayu bakar dan setelahnya tinggal aku menjadi debu beterbangan Bagaimana pula menggapaiMu sementara aku berada di genggamMu Bagaimana harus mencariMu Sementara aku berada di dalamMu Kdi, 28 Februari 2018

Demi masa

‌Al Asr DEMI MASA Waktu Detik bergulir Segala juga sesuatu Membuat kita terlena. Terjungkir. Hingga bodohnya kita. Tersadar. Daun satu-satu melayang Senja bersandar Meremang Sia-sia Betapa kerugian Menggulung dada manusia Karena esok tampak bepergian Tinggal kenangan sesal kecewa Mengendap meraba derita Tangis tertawa Semata Sungguh Waktu bergulir Masa tak merengkuh Semua akan terus mengalir Tiba-tiba maut datang menyapa Malam hanya kegelapan Hitam menyala Penyesalan Ibnu Nafisah 25 Februari 2018

Anak Ilalang

Kami adalah anak ilalang Tumbuh tanpa takut Rela terhalang Maut Kematian Hanyalah kata-kata Seribu ilalang bergantian Memenuhi tanah lapang cita-cita Sekali engkau mencongkel mata Sedetik jangan berpaling Mata hilang Mata Bakar! Injak-injak kami Setelahnya larilah! Menghindar Sehingga bayanganmu tiada lagi Karena musim tak tentu Tetes embun beku Satu dua Terbuka Bunuh! Cincang kami! Tunjuk pedang panjangmu Sekali menebas pastikan mati Kami takkan lari. Gentar. Demi sejengkal tanah Setetes air Kemerdekaan Yah! Engkau boleh Apapun engkau mau Engkau boleh. Buat semaumu Tapi waspadalah pada hujan Seribu ilalang menghutan Bagai militan Cekatan Pilihlah! Engkau mati Atau kami melakukannya Meski nyawa telah terpisah 17 Februari 2018

DUKA

Duka Mengapa harus ada duka Ada yang terluka, Darah tersayat Menyayat Perih Terasa nyerih Tertusuk amarah dendam Membasahi segenap diri meredam Bukannya kita seorang samurai Sehabis perang terlerai Hanya tersenyum Terkulum "Hebat" Ucapmu sekelebat Sementara cairan memerah Membasahi hakama tanpa nyerah Lalu berjanji mengulang kembali Bertemu saling menanti Menunggu mati. Lagi. Tidak. Kau - Aku Hanyalah mata pedang Berharap menebas pantang meradang Mengeliat sekelebat terpaku seketika Akhirnya  kesadaran datang Membawa lara Tersarang Kalah. Sebagaimana samurai Tertatih-tatih jatuh berderai Pulang membawa luka bersalah KDI/18/01/2018

Sita

Sita Di bawah bayang-bayang hari yang lalu Ia tumbuh serupa lumut paku Bermekaran di sesela pohon dedalu Kandaka semayam rasa dahulu Matanya adalah perigi mengalir Mengisi petak-petak sawah bergilir Lama. Lama sekali masih berair Tertulis di buku kalbu sang penyair Seruling entah dari saung mana Gemanya memantul di masa lampau Nyaring menggetarkan stalakmit jiwa Kadang di lembah bersama kepakan silampukau Dua curug di wajah gunung Serupa senyuman kembali merenung Kadang tawanya pecah di tebing rindang Terbawa suara burung kepodang Matanya dalam nan hitam Airnya jernih mungkin dulu nampak kelam Sekarang hanya gelombang kecil di sana Tenggelamkan aku di masa yang lama Kini hanya nampak punggungnya berjalan di pematang Bulir-bulir padi menguning mencoba menahan langkahnya Tapi bayangnya terus merebah semakin memanjang Hingga semburat cahaya barat semakin gelap di belakangnya Apakah ia mencoba mengatakan ini hanya sebuah lukisan Gambaran masa silam yang tak mudah

PERIHAL BATU-BATU BISU

Perihal Batu-Batu Bisu Alam telah banyak bercerita Tentang batu-batu yang tak bersuara Jika ia seorang lelaki maka ia diam Layaknya pengelana malam Di pantai di mana ombak berkejaran Buih-buih putih berlarian Tubuhnya bergeming tak terbantahkan Diterjang asin lautan Angin bergemuruh di daun-daun nyiur Membuatnya berontak terpekur Layaknya anak kecil dengan gulali Menatap tanpa mampu membeli Bilamana air pasang hingga kepala Diselimuti tubuhnya oleh hening belaka Sebagaimana mata remaja dikehampaan Terkurung dari masa kegundahan Di malam seputih perak Cahaya bulan bersinar terang Bayangnya tak bergerak Bagai tugu hantu yang menantang Pun surut hingga jauh tak berair Bongkahannya hanyalah gagu Tanpa tetesan air mata yang mengalir Nampak bukit-bukit mengadu Orang bilang ada pula mercusuar Berdiri di sela-sela pepohon Memancarkan sinar ke luar Namun ia pun tak peduli dan memohon Keadaan telah buat hatinya membatu Mengeras dan cadas Tak lunak seperti air membe