Posts

Showing posts from March, 2016

LELAKI YANG MENCINTAI LANGIT

LELAKI YANG MENCINTAI LANGIT Aku mencintai langit yang berwarna kelabu meski terasa meragu merayu dirasa Kadang ambigu pada angin sepoi di sudut awan menyulut gundah dengan mudah Aku mencintai langit yang menjatuhkan air dari tiap jejaknya membasahi pohon, rumah, tubuh, juga bibir rahimmu Hingga kau mengandung melahirkan mendidik anak-anak hujan yang selalu ceria membanjiri halaman ilalang Aku mencintai semua tentang langit awan yang tak lagi cerah rintik menggelitik rembesan di sela-sela tembok bahkan genangan air di jalan berlubang yang kadang menciprat teriakkan Atau bahkan desahan di selokan, rintihan napasmu diriak arus yang kian menguning hingga aku terdiam bagai laut menampung segala gejolak amarah sungai Sungguh. Aku sangat--sangat mencintai langit, udara lembab, tetesan terakhir di ujung atap, bulir-bulir sembab yang kini merayap di lantai teras hatimu Karena hujan suram semalam menempel pada kaca jendela membentuk lelehan di wajah buram sang tirai hujan Seperti hari

GERIMIS

GERIMIS Ia hanya ingin berjalan dalam rintik tanpa kritik sepanjang pandang Menghentak kaki di tanah basah berharap resah terciprat dari sana Celana berlumpur berlumur sesal pun kesal berkumpul menghimpun Ia hanya ingin menjadi air usap mata yang kini mengalir Bias di tembok putih hingga jingga lukanya ditebak duka Lalu lumut turut menuntut tempat di dada yang sesak Kali ini ia hanya ingin memaki meski suara hilang di udara Teriak kencang dan lantang pada gerimis agar hati tak teriris Memecah senyap membelah lenyap hilang menguap Ia tak habis-habisnya jatuh ke bumi berdenting pada ranting Tertawan dahan tertahan  daun agar tak terurai kata terbuai lara Melewatkan waktu sendiri berdiri dalam diam terbawa angin hingga ke entah Ibnu Nafisah Kendari, 24 Maret 2016

PETANG

PUISI PATIDUSA TANGGA ««««««««««««»»»»»»»»»»»»»» PETANG Engkaulah cangkang langit sore Mambang kuning rembang Ambang remang Menoreh Gigir gunung tersaput lembayung Meronta pucuk kemuncak Cahaya larung Lesak Di lembah punggung melindang Kulepas bebas nyalang Lindap bersarang Bayang Payung cakrawala ruah meraung Dikebas kepak burung Tinggal pergi Perigi Redup teduh melingkup runtuh Tubuh retak tumbuh Tulang menetak Pulang Bagai baskara tenggelam karam Kau gelap menghitam Genap mengeram Alam Ibnu Nafisah Kendari, 21 Maret 2016

INGIN

INGIN Aku tak ingin mencintai luka Karena air mata kan menganak sungai sewarna darah Dan tak pula membencinya Sebab ia mengadung racun melahirkan sepekat nanah Aku hanya ingin menjadi perban di hati pada hari-hari yang pedih; perih Membalut dendam terpendam Mengobati geram meredam Jadi ramuan dalam rayuan meski sekadar cerita dalam derita Atau bahkan sebuah lagu yang menenangkan ragu Aku hanya ingin jaga setiap raga Menatap erat tiap urat yang meratap Menghitung detak jantung yang berderak Hingga nanti luka ganti lupa jadi suka Darah terhenti amarah tersentil jadi asmara Aku inginkan engkau menjadi rindu karena terpisah berwindu-windu Aku inginkan engkau jadi cinta sesuatu yang lama kucita-cita Dan tak ingin engkau menjadi bayang dalam hidupku yang kini melayang-layang Ibnu Nafisah Kendari, 19 Maret 2016

KITA DAN HUJAN

KITA DAN HUJAN Malam itu hujan turun deras dalam mimpiku Ranjang tempat berenang menjadi sungai berarus Tembok kamar adalah butiran berjuta air dan syair Menelan bayang kita yang kini terapung terpasung Atap kamar seolah-olah langit mendung Menangkap; ungkap kita dalam hutan hujan Tenggelam dan karam di dunia tak bernama Namun sekejap hilang di badai meski bersama Hingga halilintar menghajar tubuh kita yang basah Lalu aku terbangun di tengah riak riam bayangmu Berharap kaulah hujan itu, selalu mendekap rubuh Menggigil runtuh dalam dadaku mengalir dalam darahku Tapi sayang kita terdampar ditampar kenyataan Dan masih mengais tangis dalam ramainya rinai hujan Ibnu Nafisah Kendari, 18 Maret 2016

AIR HUJAN

AIR HUJAN Ketika memutuskan jadi air mata di pipimu yang bening Aku mengkultuskan air hujan diantara kedua kening Mencari semangat di tiap rintik riciknya Menjadi hangat meski bibir getir ketirnya Selagi deras terus menggerus dari sungai kecil hingga muara merajuk Sekali itu kubiarkan dialiri lirih sepimu yang kini rentan merajut Ibnu Nafisah Kendari, 18 Maret 2016

MENDUNG

MENDUNG Engkaulah langit berkerudung Bermain ragu berkain kelabu Mencoba menahan sedih pedih Berpura-pura berseri-seri Air mata hanya gumpalan awan Sesak jadi kumpulan tertawan Tak jua tersedu-sedu Hingga basah merintih-rintih Semakin kelam rejam di cakrawala Semakin dalam geram di geladak jiwa Ibnu Nafisah Kendari, 18 Maret 2016

ANGIN SUNYI

ANGIN SUNYI Detak jam begitu nyata menggertak Pada suara angin membelai udara Berderai tidurkan ramai yang kini lupa akan luka Angankan aku adalah angin itu Yang tak merajuk meskipun lelah Hendak menuju lekuk daun telingamu untuk istirah Sebab aku ingin melipat jarak yang kini beranjak untuk berarak Menggulung waktu lalu. Semakin beku dan kelu Hingga tak terasa lagi sakit oleh pahit detik itu Pahit yang terbit usai diperam sedetik tadi Oleh bersit rindu yang bangkit dalam sedetak nadi Ketika membayangkan parasmu dalam semedi Yang ada hanya siut Yang nyata cuma kesiur Selebihnya udara kisut yang simpang siur Dan perihal sesal yang menjelma berjuta amsal Tetap tinggal, tak mau tanggal Janggal dan kekal Ibnu Nafisah & Sigit Jatikusumo Kendari, 16 Maret 2016