Posts

Showing posts from July, 2017

Akulah

Akulah Akulah bunga Memiliki warna Bersemayam dalam rumpun Akulah lebah Memiliki sayap Tapi kaki melekat pada madu Akulah udara Berisi oksigen Dalam sebuah tabung Akulah angin Kau biarkan masuk Tapi tak jua membuka jendela Akulah yang kau inginkan Tapi tak jua Kau butuhkan Akulah Akulah Akulah Segala Tapi Tak jua Kau penuhi Kendari, 30/07/2017

Lelaki dengan langkah tertatih

Lelaki dengan langkah tertatih Tujuannya masih jauh berpuluh-puluh kilometer bahkan lebih Keringat menetes beribu-ribu liter bahkan lebih Lelahnya bertambah berkali-kali lipat tiap saat Namun ia tetap berjalan Gunung, lembah, hutan dan lautan Semua ada tapak jejak kaki lelaki itu Mentari semakin nempel di kepala Debu semakin terbenam sampai lutut Napasnya tersengal tak karuan Tetapi terus berjalan Sesekali ia bersujud dan Berdoa Tetapi terus berjalan Sesekali ia bersujud dan Berdoa Tetapi terus berjalan Sesekali ia bersujud dan Berdoa Kendari, 28/07/2017

BANDARA HALUOLEO

PUISI PATIDUSA ASLI *********************** BANDARA HALUOLEO (Bagai Terminal Rasa) Kadang kedatangan berarti sesuatu Hasrat terlampiaskan melanda Atau penantian Putusan Cinta? Gelegak rasa Entah apa namanya Bergerak dari bawah sadar Mungkin terlalu dini mengatakannya Karena perasaan berubah Bahkan waktu Berlalu Halimun Bagai menyamun Engkau berputar sejenak Memastikan cuaca yang pasti Pesawatmu tak mungkin mendarat Jika landasan berkabut Aku menunggu Ragu Menanti- Sabagaimana dirimu Menetaskan rindu mencandu Atau menghidupkan jarak berarak? IBNU NAFISAH Kendari, 31 Maret 2017

Kemana Kita Setelah Mati

Kemana kita setelah mati Aku tak tahu kemana kita setelah mati. Tapi yang pasti bukan ke mall untuk menghabiskan waktu mencari baju lebaran. Atau sekadar mencuci mata dan menghabiskan waktu bersama teman. Begitu kita hanya angin  di udara. Mungkin takkan ada rasa ketupat saban hari kita makan sambil tertawa bersenda gurau di meja makan bersama keluarga. Mereka yang makan mungkin akan menangis memikirkan opor ayam kesukaan kita masih tersisa di panci. Atau angin itu tiba-tiba saja terasa dingin di kulit mereka yang peka dan nama yang berupa angin itu kini menggantung. Kemana kita setelah mati. Katamu seakan itu pertanyaan penting buatmu saat ini. Aku hanya tertawa dan kau menangis mengingat ini. Aku terdiam tapi yang jelas kita tidak ke kantor atau di rumah tetangga berbasa-basi di terasnya yang mengkilap lantainya. Mungkin ia akan hadir saat kita akan pergi dengan kemeja hitamnya dengan raut wajah tanpa makna. Kemana kita ketika mati. Itu tidak penting kataku akhirnya. Lalu dengan

Aku Ingin Membunuh Sepi

Aku ingin membunuh sepi Aku ingin membunuh sepi di matamu yang beku. Di mana tetes air jatuh di sajadah dingin oleh hujan tengah malam buta. Aku ingin membunuh sepi seperti lampu teras yang nekat menerobos masuk ke ruang gelap di rumahmu di sepertiga malam ketika bunyi atap bergemuruh oleh guntur dan kilat. Aku ingin membunuhmu, sepi, menikam jadi bercak darah di tembok dan lantai ketika kepala beradu kuat dengan lutut ditiap rakaatnya. Aku ingin membunuh sepi di mata bening. Di gelap malam di waktu yang tak biasa. Secara pelan tanpa suara  dan kata-kata. Bagai niat jahat yang bersemayam dalam hati yang busuk. Mengendap-endap di ujung jendela dengan waspada mengintip ke dalam. Menunggu kau lengah lalu kubunuh sepi di matamu. Cuma sebuah aba-aba dari langit dan awan. Sekali ini kau kan kubunuh tanpa suara. Ketika adzan di ujung langit yang entah datang bergelombang maka saat itu bibirmu akan kubungkam dan sebuah sabetan menembus leher. Lalu sepi akan mati saat itu juga. Aku? Akan ber

Bersama Kekasihku

Bersama Kekasihku Ketika pagi berselimut kejora di langit Aku bersama Kekasihku Dia entah dengan siapa Begitu pula dinding yang enggan bicara Masih kulihat aku bersama Kekasihku Entah apa yang Kekasihku pikirkan Lalu suatu ketika berjalan di entah Akupun bersama Kekasihku Tak tahu apa yang Kami bahas, yang jelas aku mencintaiNya Lalu pagi ini masih pula bersama Kutahu itu dan kuyakinkan selalu begitu Dia entah bersama siapa Kendari, 13/7/17

Apa yang Kau Cari

Apa yang kau cari Apa yang kau cari di sini Kadang kau  menangis pun tertawa Marah, sedih, pun bahagia Apa yang kau cari jiwaku Di jalan-jalan berdebu, di atas tanah-tanah lapang Di atas segala kesibukan juga waktu  kelompang Kita tidak sedang berlibur Menghabiskan waktu bercanda Bahkan bermain-main  saja Kita juga tidak melulu tiduran Mengkhayal atau tertegun akan sesuatu Bahkan bekerja sepanjang waktu Jadi ... Apa yang kau cari di sini Di atas semua ini Jangan kau balik bertanya padaku Aku bertanya padamu Engkau yang gelisah melulu Bila pagi mengintip di kabut pekat Ketika siang pening dan penat Pabila malam datang mendekat Apakah kau sudah memutuskan sekarang Apa yang akan kau cari hari ini Di sini wahai diri ... Kendari, 16/7/17

Kucing-kucing di Rumah Kosong

Kucing-kucing di rumah kosong Ada suara mengeong keras di dalam rumahku. Bunyi seperti rasa sepi yang dalam di dalam sebuah sumur tua. Bunyi benda jatuh lama terdengar kecipaknya. Seperti itulah suara mengeong itu. Suatu ketika bunyi terdengar lagi tapi tak ada kucing di sana. Hanya suara purba tentang kucing yang mengeong keras dan dalam. Bahkan kadang bukan suara kecipak sumur tua atau benda yang jatuh. Namun kadang terdengar bagai suara di sudut rumah yang kosong. Kucing-kucing itu terdengar lapar. Kadang sedih dan juga marah bahkan kadang ia capek mengeong. Namun mereka tak terlihat. Hanya suaranya saja yang terdengar di dalam hatiku yang kini tertidur. Tidur yang lama dan dalam di dasar sumur di dalam rumah kosong dan sepi. Tapi tak ada kucing di sana. Tapi, suatu ketika mereka terdengar bagai nyata. 25 Juni 2017 Kendari

Pengembara

Pengembara Tubuh itu penuh tulang berbalut kulit Meniti di jalan berbatu dan sulit Daun daun jatuh berubah warna Ditiup angin kering hilang kelana Jika debu berbalut sepi Maka kemana dinding yang ia ratapi Langit tempatnya mengadu Serta bintang bintang jadi pemandu Ia akan mabuk di antara tangis dosa Oleh segala nikmat dunia yang tercela Air matanya jadi peluh Pula segala jerit kian mengeluh Inikah kekayaan yang dulu ia inginkan Hanya segenggam tanah jadi pijakan Seperti pasir di udara Terbang dan jatuh bagai embara Bila suatu ketika ia sadar Ia telah lama tidur dan tersasar Kendari, 7/8/17

Hilang

Hilang Entah berapa lama ia tertimbun lupa Terbawa arus tergerus suka Hingga akhirnya hanya duka Dikunyah segala senang Dicarinya harta bergelimang Lalu tersesat dan menghilang Di waktu-waktu yang tak tentu ia sadar Namun napas mulai hambar Sebentar lagi memudar Ia teringat segala Ingin rasanya memuja Mengulang kembali dan berdoa Namun raga telah mati Roh telah pergi Tak mungkin kembali Ia tahu itu hanya mimpi Tidur sekejap di siang hari Sebentar lagi terbangun  dan berlari Tapi ranjang ini begitu panas Selimut begitu sesak kan napas Bahkan ulat-ulat mulai mengganas Satu-satu mulai terurai Menyatu tanah tak lagi bercerai Dalam liang dengan wajah seringai Kendari, 21/07/2017

Kepergian

Kepergian Kaukatakan akan pergi Tapi hari masih pagi Waktu kini tak banyak Itupun kau tulis disebaris sajak Sepatu telah disemir Perlahan kau lingsir Tanpa kata Pun sapa Kendari, 7/7/17

Malam

Malam Dalam kelemahan kelelahan Jiwanya lunglai berhamburan Sementara waktu tak pernah berteman Langit seakan menepis cahya Berkejaran pada satu garis tanpa daya Berlari di antara bayang Maya Masih pula ia melipat kemeja Mencuci kaki dan jiwanya Tanpa acuh menyeret segala rasa Seakan hari itu waktunya telah habis Umurnya telah cukup kian menipis Mungkin pula ia ingat dosa dan menangis Dalam keremangan sepi Keheningan abadi Ia meratapi diri Kendari, 20/07/2017

Sepatu Kecil Berwarna Merah

Sepatu kecil berwarna merah Entah kaki mungil mana yang melepaskan sepatu itu. Tergesa-gesa di sudut bandara. Di antara tiang-tiang beku dan lantai keramik. Mungkin ia menangis di tinggalkan atau meninggalkan seseorang. Derai-derai air mata atau mungkin tawa kebahagiaan di suatu saat yang terlipat waktu. Entah anak siapa mencari ibu siapa, bapak siapa mencari anak siapa atau sang kekasih siapa mencari siapa. Di sini di sudut bandara yang dulu ia singgahi, seperti duduk sebentar di hati seseorang dan begitu saja meninggalkan kenangan. Tapi ia meninggalkan jejak nyata di sana. Sebuah sepatu kecil berwarna merah. Kini orang lain datang dari entah dan kemana menemukannya. Bukan, bukan menemukan tapi melihatnya begitu saja tergeletak di sana. Mungkinkah ia mengira-ngira seperti aku saat ini? Entahlah sepatu itu hanya kulihat sebentar dan kupikir itu milikmu di tempat dan waktu yang sudah terlupa, kupikir. 25 Juni 2017 Bandara Haluoleo

Pagi

Pagi Wajahnya terbangun dan masih saja kejora Kematiannya telah lama pergi Ia bersyukur karena masih juga diberi Kaki-kakinya kaku beku Langkahnya terserak Dadanya tergerak Jauh di ujung timur Sungai suara bermuara Panggil-panggilannya Ke sanalah ia memandang Dengan deburan menganga Bagai rasa datang bergelora Bergelombang ombak menyapu Menenggelamkan lara Menderu jiwa membara Kendari, 20/07/17