Posts

Showing posts from April, 2017

TEMBOK

TEMBOK Ingin kutulis putih pada tembok Atau merah pada kepala Luka pada hati Teriakan pada udara Melonglong bak anjing Karena kelaparan oleh sepi Dihianati waktu Serta diperangi rindu Ingin kucoret goreskan hampa di dinding terjal Percikan amarah kepalan tangan Ludahi saja tinggal pergi Mungkin pula percikan darah di sana Sambil menahan luapan di dada Air pada mata Bukan karena sedih tapi pedih Merana meraba ruang kosong yang melompong ........ Selebihnya kau tahu sendiri Karena aku tak ada saat bayangmu semakin jauh di ingatan. Ibnu Nafisah Kendari, 16 April 2016

RANJANG

RANJANG Terbaring di sana hanya jasad Roh ini telah lama melayang; terbang Bagai layang-layang putus gentayangan Tubuh itu bukan tidur namun dingin membeku oleh belaian Berselimut gelap segenap lelah semakin kalap Dengkuran bertabu itu bukan nyenyak namun luapan kesedihan; menyedihkan Suara itupun bukan ingauan tapi teriakan kekesalan oleh derita di malam kelam Mimpi yang tak kesampaian Atau bahkan harapan tak kunjung berujung Dan ini bukan ranjang Ini hanyalah dunia tempatmu berlari Agar esok jika engkau terbangun telah siap tuk hadapi pedih; perihmu Ibnu Nafisah Kendari, 16 April 2016

SELIMUT

SELIMUT Hampir kulupakan ingatan tentang dirimu yang mampir menampar Layaknya semut melewati urat-urat aurat merengkuh aku bagai selimut Menggenggam dalam napas tak kunjung terbalas Menutupi resah mendesah karena gelisah mengasah Sebagai penghantar tidur mungkin juga melindur Ah, wajahmu saja sudah kendur di kepala Masih juga inginkan bunga tidur Tapi biarkan hari ini aku bebas Bebas dari bayangmu Dari wujud yang menghantui Dari kesumat ini Biarkan aku tenang Meski itu hanya mimpi Mimpi yang terbayar saat kita bertemu di dunia mimpi Ibnu Nafisah Kendari, 16 April 2016

LELAKI TUA KOLABORASI

#FiksiMini Hujan Deras Kami duduk di beranda dengan 2 gelas kopi hitam yang masih panas. Tiba-tiba melintas  sepeda tua dengan box putih di atasnya. "Wir, " tangan menunjuk ke seorang laki-laki tua berbaju merah. Alie tamuku, ekor matanya membuntuti orang itu. "Penjual es" kataku singkat. "Kasihan ya." Benar kasihan. Tapi kita tidak tahu berapa besar pahala yang dia raup. Ayah siapa pun dia semoga Allah melindunginya. S PRAWIRO Depok, 02 April 2017 #Puisi LELAKI TUA PENJUAL ES Ada apa di luar beranda; Seorang lelaki tua bersepeda Kakinya mengayuh hujan Terburu-buru di jalanan Dua cangkir kopi panas Seakan melirik gemas; 'Entah pahala apa yang dipikul' 'Hujan pun berusaha memukul' IBNU NAFISAH & S PRAWIRO Kendari-Depok, 03 April 2017

LELAKI TUA PENJUAL ES

LELAKI TUA PENJUAL ES Ada apa di luar beranda; Seorang lelaki tua bersepeda Kakinya mengayuh hujan Terburu-buru di jalanan Dua cangkir kopi panas Seakan melirik gemas; 'Entah pahala apa yang dipikul' 'Hujan pun berusaha memukul' IBNU NAFISAH & S PRAWIRO Kendari-Depok, 03 April 2017

TENTANG PANTAI

TENTANG PANTAI Mungkin ini puisi yang agak melankolis pada deretan pasir dan karang; di mana perahu-perahu beradu ombak di bibir pantai. Tentang cerita lautan berangin kencang, meniupkan layar-layar terkembang. Dan ikan-ikan memenuhi geladak bergetar. Selalu saja datang bersama angin pagi. Senyuman nelayan, juga jangkar-jangkar yang menancapkan rindunya pada pantai-pantai tak bertuan. Puisi ini sungguh terlalu melankolis ketika kusadari; angin selalu berlalu pergi membawa kapal, lalu jangkar menggores bibir pantai. Membuat luka di dasar yang akan tertutup asinnya garam lautan. Tapi kali ini puisiku terlalu melankolis. "Datanglah, kembali wahai jangkar. Jika kau hadir di lubuk jiwaku. Tolong tancapkan lagi kata-kata itu, 'cinta,' sedalam-dalamnya hingga kita menyatu," ucap pantai berombak. Ia terlalu mencintainya. Namun perahu-perahu kembali berlayar membawa serta jangkar di atas buritan. "Berjanjilah. Kau akan menjadi pantai yang tetap berpasir dan bernyiu

RERANTING YANG MERENTANG

RERANTING YANG MERENTANG Di sudut sebuah rumah yang mungil. Taman halaman tak seberapa luas, aku tumbuh sebagai pohon. Dedaunan rimbun. Subur dengan sulur-sulur ranting memanjang. Hingga halamanmu nampak dari atas. "Bila saja aku tumbuh di sana," kataku pada angin. Namun, ia hanya membawa dedaunan kering. Sebelum kausapu di penghujung hari. IBNU NAFISAH Kendari, 02 April 2017

ORANG PINGGIRAN

ORANG PINGGIRAN Di jalan-jalan sepi kotaku Di lampu-lampu merah kendaraan Tangan kecilmu menghardik, "Makan!" Bibir mungilmu berucap, "Sedekah!" Di tenda-tenda remang kotaku Di hingar-bingar lampu warna-warni​ Rokokmu bergincu merah menyala Tubuhmu bagai jalanan terpanggang Di tempat-tempat sampah kotaku Di barang-barang usang berbau pekat Gerobakmu menepi sedih Mencari jejak kehidupan yang terbuang Pada kemeja safari yang bermerek-merek Pada mobil-mobil mahal kita miliki Pada pajak-pajak yang kita tarik Tiada nama mereka di sana- IBNU NAFISAH Kendari, 01 April 2017