Posts

Showing posts from September, 2018

Di Meja Makan Kita

Di Meja Makan Kita (Buat Habibati) Bibirku mengunyah bibirmu Sejumput nasi masih di tangan Lelah terpaku. Menunggu Ikan, sayur kangkung Sepiring kecil lombok cobek Terhenti sejenak. Ditikung 24 September 2018 D_

Kampung Halaman

Kampung Halaman Jalan lapang dan berkelok ini adalah rambutmu yang panjang dan elok Ujungnya adalah rumah masa lalu yang telah lama tanggal dari waktu tak ingin tinggal lebih lama karena hari pun turut berlalu jadi dahulu Masa kekanak kini pudar seakan berenang di bola matamu datang bagai gelombang purba lama mengembara Masih terdengar suara anak-anak di sesela bambu masa lalu, lalu engkau mencari-cari, namun hanya ada aku di pangkuanmu. Anginnya masih sama seperti dahulu katamu namun kini lebih hangat karena  ada aku di sisimu Airnya setiris embun di pagi buta meski tak tak lagi meniris air mata di malam kelam karena kita menghapusnya dengan senda gurau belaka Suara adzan masih menyentuh dinding dinding kamar yang menggigil oleh kantuk Atau bunyi-bunyian besi yang dipukul oleh santri jaga malam kadang mengejar tahajud disenyap pohon cemara Aroma masa lalu bagai cerita mengulang di jam jam yang berdetak mundur seakan menolak berdetik ke depan Namun kenyataan tak pernah mau me

Perjalanan

Perjalanan (Buat E) Ketika roda berputar Hanya aku dan kamu Tangan melingkar Terasa hangatmu Bukan jalan gelombang Jemari cengkram kuat Namun hati kembang Karena bahagia mencuat Tiada sepasang merpati seperti ini Terbang di jalanan tak bertuan Susuri hutan kian kemari Seakan dalam lukisan Meniti hidup tak ingin redup Menancap asa segala rasa Hingga waktu tak lagi letup Digiring sore kian senja 24 September 2018 D_

Adinda

Adinda Biarkan aku bersemayam dalam gelung hitam rambutmu Bagai batu cadas di dasar telaga terlelap jauh dan menghilang Atau sekadar menidurkan lelah dalam curug lembahmu Adindaku sayang Diantara bukit terjal dan pepohonan cinta ada hamparan rindu yang kian menggunung Resah gelisah di sepanjang hutan belantara ini mengalir sungai berair jernih Jika engkau menelaah lebih jauh airnya berasal dari dua mata air asaku Kesemuanya akan bermuara ke laut di mana cintamu bermukim Jika engkau ridho beribu ekor ikan akan berenang bebas di dalamnya Beberapa nelayan dengan senyum yang amat manis datang ke pondok pondok mereka Anak-anak mereka akan tertawa bahagia dengan hasil tangkapannya Lalu istri-istri mereka akan menjatuhkan air mata cinta mendaratkan pelukan ke pundak-pundak sang perkasa Adinda oh adinda Biarkan aku menjadi pemerah bibirmu yang senantiasa kau kecup, menempel tanpa jemu Izinkan aku menjadi bulir-bulir keringatmu tergelincir di atas kulit putihmu yang ranum Senant